tirto.id - Pada waktu kota Betawi alias Batavia (yang kini jadi Jakarta) dilamun banjir tahun 1872, Hendrik van Breen belum lahir. Gara-gara banjir besar itu, menurut buku Ekspedisi Ciliwung (2009: 33), pemerintah kolonial mulai merintis pembangunan sebuah bendung di Katulampa, Ciawi, Bogor, pada 1889. Kala itu, van Breen masih bocah sekolah dasar di Belanda—negeri yang permukaan tanahnya lebih rendah dari permukaan air laut, seperti Jakarta.
Laki-laki kelahiran Amsterdam 28 Mei 1881 itu kemudian menempuh studi di Polytechnische School (Politeknik) Delft. Di sekolah tinggi tersebut, dia lulus sebagai insinyur sipil. Setelah lulus, dia mendapat pekerjaan di Burgerlijke Openbare Werken (BOW) alias jawatan Pekerjaan Umum (PU) zaman kolonial. Daerah penugasan van Breen pertama di Hindia Belanda adalah Jember. Kariernya tergolong cepat. Pada 1911, dia sudah jadi Kepala Kantor Pengairan Batavia.
Tak lama setelah jadi Kepala Kantor Pengairan Batavia, renovasi bendung Katulampa menjadi proyek yang harus segera dilaksanakan. “Kerusakan Bendung Katulampa setiap tahunnya menunjukkan semakin parah, karena penggundulan hutan di pedalaman terus meningkat sehingga arus air yang masuk ke Ciliwung semakin besar,” tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa (2010: 22).
Tiap tahun, biaya perawatan Katulampa harus merogoh kocek pemerintah kolonial sebesar 700 gulden. Kebutuhan membangun bendung yang lebih permanen menjadi perhatian van Breen.
Membuat Katulampa Lebih Permanen
BOW tentu tak mau dipelesetkan menjadi "Batavia Onder Water" (Batavia di bawah air), lantaran banjir terlalu rajin menyambangi kota itu. Semua tahu, air bah di Betawi pada musim banjir berasal dari air hujan yang turun di kota Bogor. Jadi, mau tidak mau air dari Bogor harus dibendung dan jangan sampai tumpah terlalu banyak ke Jakarta. Katulampa lah yang menjadi benteng utamanya. Jika Katulampa jebol, kota Betawi bisa kelelep.
BOW akhirnya mengajukan biaya pembangunan kepada pemerintah pada 10 April 1911. Untuk membangun bendung permanen dibutuhkan uang sebesar 66.200 gulden. “Pembangunan bendungan menggunakan pemlesteran dengan menggunakan semen,” tulis Restu Gunawan. Kala itu, harga semen perkarungnya sekitar 4,80 gulden.
Pada 13 April 1911, pemerintah menyetujui proposal BOW. Biayanya 66.090 gulden berupa uang dan 150 guldennya berupa barang. Di atas bendungan dibangun jembatan yang bisa dilalui manusia. Belakangan, jembatan tersebut juga dilintasi kendaraan roda dua.
“Bendung Katulampa keberadaannya sangat penting pada saat ini sebagai pos pemantau banjir,” tulis Restu Gunawan. Jika airnya mencapai tinggi lebih dari 310 cm, maka ditetapkan siaga satu. Jika di Jakarta sedang hujan ketika air-air dari Katulampa datang, maka Jakarta terancam banjir. Di musim Jakarta terancam banjir karena hujan di Bogor, maka Katulampa sering disebut.
Mencegah Banjir dengan Sistem Kanal
Hendrik van Breen tak hanya identik dengan Katulampa. Kanal Banjir di Jakarta juga dikaitkan dengan namanya. Setelah banjir melanda Jakarta lagi pada 1918, van Breen ditunjuk menjadi Ketua Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir. Air yang pada akhirnya harus ke laut itu diarahkan agar tidak masuk kota Betawi. Air itu akan dilewatkan ke kanal-kanal yang berbentuk setengah lingkaran di luar kota.
“Untuk itu perlu dibuat Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Kanal Banjir Barat sudah digagas oleh van Breen tahun 1923,” tulis Restu Gunawan (hlm. 373).
Sebelum ada ide dari Breen itu, beberapa kanal yang tidak begitu panjang sudah dibangun, salah satunya Kanal Banjir Kalimalang. Bersama Pintu Air Manggarai, Kanal Banjir Kalimalang ikut dibangun van Breen dari 1913 hingga 1919. Pada 1973, barulah Kanal Banjir di sisi timur ibukota diperluas.
Pengetahuan dan pengalaman kerja van Breen dalam mengatasi banjir tampaknya menjadi berguna ketika dirinya diangkat menjadi guru besar di Technische Hoogeschool, Bandung (saat ini Institut Teknologi Bandung). Jurusan teknik sipil, tempat Sukarno pernah kuliah hingga jadi insinyur, pasti membutuhkannya.
Tapi bagaimana pun juga, apa yang dilakukan van Breen tidak membuat Jakarta yang makin membesar itu bebas banjir sama sekali. Van Breen hanya membantu menanggulanginya.
Apa yang telah dirancang van Breen, termasuk soal pembangunan kanal banjir yang melingkari Jakarta, tak segera ditindaklanjuti pemerintah kolonial maupun penerusnya yang menjadikan Jakarta sebagai ibu kota. Hambatan dana selalu jadi alasan lambannya penanggulangan banjir. Tentu saja tak terhitung berapa kali banjir terjadi serta berapa jumlah korban dan kerugian akibat banjir.
Pada 1965, dibentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir). “Kopro Banjir mengembangkan konsep van Breen dan kawan-kawan dengan menyesuaikan pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta,” tulis Adhi Kusumaputra dalam Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa (2010: 22).
Tujuh tahun kemudian, pada 1972, Kopro Banjir berubah nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya. Proyek ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan