Menuju konten utama
1 Februari 2007

Banjir Jakarta 2007 yang Menguras Kantong Pemerintah

Kota tenggelam.
Geliat pembangunan
menjelma jeram.

Banjir Jakarta 2007 yang Menguras Kantong Pemerintah
Ilustrasi MOZAIK Banjir Jakarta. tirto.id/Sabit

tirto.id - 1 Februari 2007, tepat hari ini 11 tahun silam. Hujan lebat mulai merundung Jakarta. Selama satu pekan berikutnya, air seperti enggan berhenti turun dari langit. Banjir yang datang bak air bah menggenangi hampir seluruh kota.

Sejak 1 Februari itu, ibu kota Republik Indonesia lumpuh total seketika. Ribuan orang mengungsi. Aktivitas perekonomian mandek. Empat puluh delapan orang dinyatakan tewas. Inilah hari-hari yang membuka babak baru dalam sejarah banjir di Jakarta.

Muhammad Imam (34) masih ingat banjir besar tersebut. Ketika itu, rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, kelelep. “Saya ikut mengungsi,” kenangnya saat berbincang dengan Tirto, Senin (29/1) lalu.

Air merendam kediamannya setinggi lebih dari satu meter. Jalan-jalan di sekitar rumahnya juga tergenang. Kelapa Gading bak lautan. “Itu banjir terparah,” ujar Imam.

Banjir 2007 telah melumpuhkan 60 persen wilayah DKI Jakarta. Di jalan-jalan, tenda-tenda pengungsian didirikan. Ribuan orang mengungsi dan perahu boat tim penolong hilir mudik menjemput warga yang rumahnya terendam.

Di Kedoya, Jakarta Barat, sebagaimana laporan majalah Tempo edisi 12 Februari 2007, air merendam wilayah ini hingga ketinggian tiga meter. Dalam laporan itu disebutkan, air sempat mengepung 58 orang dewasa dan 3 bayi yang masih merah di lantai dua sebuah rumah dekat Pintu Air Pasar Kamis.

“Sesekali, tangis tiga orok berbaur dengan suara korban yang tengah mendoa dan mengaji,” tulis laporan Tempo berjudul "Ke Jakarta Banjir Kembali".

Setelah tiga hari bertahan tanpa pertolongan, beberapa pria di kampung itu kemudian mengambil inisiatif. Mereka mengikatkan ban besar, memasang tambang, lalu mengangkut satu demi satu korban ketika arus air mulai tenang. “Semuanya selamat, persis sebelum banjir susulan menyentuh lantai dua rumah tersebut.”

Banjir 2007 tak hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan laporan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, air juga merendam wilayah Tangerang, Bekasi, dan Depok. Kerugian akibat musibah ini diperkirakan mencapai Rp5,1 triliun. Sementara perkiraan kerugian ekonomi akibat banjir di wilayah Jabodetabek, menurut Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), mencapai Rp3,6 triliun.

Hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi sejak 1 hingga 5 Februari dan menyebabkan banjir besar ini menewaskan total 79 orang. Rinciannya: 48 di wilayah Jakarta, 18 di wilayah Bogor, dan 13 di Provinsi Banten.

Kesalahan Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta

Ketika berita banjir ini menjadi sorotan media massa nasional, semua telunjuk mengarah ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apalagi, sebelum bencana ini terjadi, Sutiyoso, Gubernur Jakarta saat itu, sempat menyatakan sesumbar tentang kesiapan Pemprov DKI menghadapi banjir.

“Kita akan lebih fokus lagi,” kata Sutiyoso di hadapan wartawan seperti dikutip majalah Tempo. Ia pun merinci upaya Pemprov DKI melakukan perbaikan untuk mengatasi banjir. Sebelumnya, banjir besar juga pernah melanda Jakarta pada 2002 dan menjadi sorotan publik.

Tapi, belum lagi Sutiyoso selesai dengan rencananya, hujan selama seminggu tanpa henti kembali merendam Jakarta. Jumlah korban, kerugian, termasuk pengungsi, yang angkanya dua kali lipat dari banjir 2002 menampar Bang Yos, panggilan tersohor buat Sutiyoso.

Antisipasi memang telah disiapkan Pemprov DKI Jakarta agar banjir tak berulang seperti pada 2002. Oktober 2006, lima bulan sebelum banjir menenggelamkan Jakarta, Pemprov DKI melalui Dinas Pekerjaan Umum memang telah menyiapkan anggaran sebesar Rp721 miliar. Uang itu digunakan untuk meneruskan proyek Banjir Kanal Timur (BKT), termasuk juga pengerukan kali dan pembangunan pompa air.

Namun upaya itu sia-sia. Air ikut menerjang upaya Pemprov DKI mengatasi banjir. “Banjir ini lebih besar dibandingkan tahun 2002,” kata Sutiyoso. Belakangan, mantan Pangdam Jaya ini pun mengeluhkan proyek BKT yang menjadi sorotan ketika terjadi banjir 2007 itu.

Upaya mengatasi banjir sejatinya tak hanya datang dari Pemprov DKI Jakarta. Pada 2002, ketika bencana serupa menenggelamkan 168 kelurahan di 42 kecamatan dan memakan 32 orang tewas, pemerintah pusat turun tangan untuk segera mengambil keputusan. Seperti dikutip harian Kompas (8/11/2007), delapan instansi pemerintah membuat kesepakatan bersama pada Juni 2002 dengan nama Program Penanganan Banjir.

Kesepakatan itu melahirkan tiga program mendesak untuk mengatasi banjir ibukota. Pertama, program jangka pendek dengan anggaran Rp731,95 miliar. Kedua, program jangka menengah berbiaya Rp4,334 triliun. Ketiga, program jangka panjang dengan dana Rp11,58 triliun.

Tapi sayang, pemerintah terlihat tak serius. Kesepakatan delapan instansi itu juga terkendala tanda tangan lantaran menunggu hasil Pemilihan Umum 2004. Banjir pun kembali merendam pada 2007.

Telunjuk kemudian mengarah kepada Pemprov DKI Jakarta yang dianggap tak becus mengatasi persoalan sampah. Pemerintah pusat juga dikritik karena tak serius membenahi penataan wilayah penyangga Jakarta: Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur), serta daerah hulu 13 sungai yang melintasi Jakarta.

Infografik Mozaik Sejarah Banjir Jakarta

Penanganan Air Butek Hingga Trilunan

Segera setelah banjir surut, menurut Julianery B.E. dalam artikel di harian Kompas (8/5/2007), "Buruknya Koordinasi: Kisah Tanda Tangan untuk Pengendalian Banjir", Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat dengan para menteri dan tiga kepala daerah, yakni gubernur Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Hasil rapat itu menyepakati alokasi dana antisipasi banjir untuk ketiga provinsi.

Anggarannya pun tak main-main. Buat mengatasi banjir di Jakarta, pemerintah mengalokasikan fulus triliunan yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Menurut Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum saat itu, dana yang akan digelontorkan buat memulihkan infrastruktur pascabanjir nilainya mencapai Rp6,5 triliun. Alokasi anggaran itu diambil dari APBN selama tiga tahun hingga 2009.

“2007 dianggarkan sebesar Rp2 triliun, sementara 2008 dan 2009 masing-masing Rp3 triliun dan Rp1,5 triliun,” ujar Djoko.

Sayangnya, dana triliunan itu tak pernah bisa membendung air butek yang saban tahun membanjiri wilayah Jakarta. Meski upaya keberhasilannya diungkapkan Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta, dalam Mengapa Jakarta Banjir?: Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010), nyatanya tiap tahun banjir tetap menjadi langganan warga Jakarta. Mereka yang tinggal tak jauh dari aliran sungai seperti tak pernah merasakan keberhasilan yang digembar-gemborkan itu.

Enam tahun kemudian, pada 2013, banjir besar kembali melanda Jakarta, merendam bantaran kali hingga kawasan elit. Bahkan, air juga sampai ke pelataran Istana Negara. Karena banjir itu pula, Presiden SBY pernah sampai gulung celana.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Ivan Aulia Ahsan