tirto.id - Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, pada Senin (11/12) lalu memamerkan sebuah aplikasi bernama “Pantau Banjir”. Idenya sederhana, persis seperti nama aplikasinya, yaitu untuk memantau kondisi lapangan untuk antisipasi banjir.
“Biarkan teman-teman kerja. Saya enggak mau report karena saya udah punya 'Pantau Banjir,” kata pria yang biasa disapa Sandi saat ditanya laporannya ihwal kondisi banjir di Jakarta.
Aplikasi semacam ini bukan hal baru. “Pantau Banjir” merupakan aplikasi yang masuk kategori “weather” di toko aplikasi Google Play.
Pantau Banjir satu dari antara delapan aplikasi yang dirilis Pemprov DKI di Google Play. Aplikasi itu antara lain Jakarta Smart City Portal, Pajak Online DKI Jakarta, Jakarta Smart City Apps, CRM Jakarta Smart City, BPRD Mobile, CROP - Cepat Respon Opini Publik, serta CROP Mobile.
Menurut Teguh Hendrawan, Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta menyebut bahwa aplikasi itu telah lama tersedia. “Saya bertugas sejak Desember 2015 sudah ada (aplikasi tersebut),” ungkap Teguh pada Tirto.
Berdasarkan pantauan di laman Google Play, aplikasi Pantau Banjir terakhir kali diperbarui pada 12 Februari 2017, saat Basuki Tjahaja Purnama masih jadi orang nomor 1 di DKI. Saat ini versi aplikasi tersebut berada di angka 0.0.6. Dalam dunia teknologi, versi sebelumnya “1.0” umum disebut sebagai versi “beta.”
Ketika dijajal, aplikasi Pantau Banjir terasa menjanjikan. Di halaman muka aplikasi tersebut tersedia 4 menu utama mencakup Report, Pintu Air, Pos Pengamatan, dan Pompa. Dicoba pada Rabu (13/12) pukul 8.59 pagi, pada menu Pintu Air, terpapar informasi terkini soal kondisi pintu-pintu air yang ada di wilayah DKI Jakarta.
Pintu air Jembatan Merah misalnya, tampil data kondisi Jembatan Merah yang memiliki ketinggian 190 cm dan kondisi cuaca mendung tipis. Informasi tersebut memasukan Jembatan Merah dalam status Siaga 2.
Pada menu Pintu Air, pengguna bisa melihat lokasi-lokasi lebih spesifik diurutkan berdasarkan aliran, dari sisi barat, tengah, maupun timur.
Pada menu Pos Pengamatan, menampilkan kondisi lokasi-lokasi yang menjadi titik pengamatan banjir di DKI Jakarta. Pada saat dicoba di waktu yang sama, Pos Pasanggrahan misalnya, menampilkan data ketinggian air 70 cm, artinya Pos Pasanggrahan berstatus Siaga 4.
Pada menu Pompa, aplikasi Pantau Banjir menampilkan informasi kondisi pompa air di DKI Jakarta. Apakah berfungsi atau tidak. Data pada waktu yang sama, menampilkan informasi bahwa terdapat 24 unit pompa yang berfungsi dan 181 unit pompa mati.
Selain informasi menyeluruh, aplikasi Pantau Banjir pun menampilkan informasi spesifik di mana lokasi-lokasi pompa yang hidup atau mati. Titik Sunter Selatan misalnya, pada aplikasi Pantau Banjir memberi tahu penggunanya bahwa di titik itu terdapat 0 pompa yang hidup dan 6 pompa yang mati.
Sayangnya, pada menu Report, aplikasi Pantau Banjir tak memberikan informasi apapun.
Yang menarik, selain menampilkan data kondisi terkini secara umum di titik-titik pantau, aplikasi Pantau Banjir juga menampilkan data terperinci, jam demi jam pada suatu titik yang ingin diketahui penggunanya. Data terperinci soal kondisi pompa di Menara Topas misalnya, Pantau Banjir menghadirkan grafik jam demi jam kondisi pompa di titik itu. Pada jam 7.00 pagi terdapat 0 pompa hidup dan 5 pompa mati. Di jam 8.00 pagi terdapat 1 pompa hidup dan 4 pompa mati.
Aplikasi Pantau Banjir merupakan salah satu bagian dari program Jakarta Smart City. Suatu sistem layanan elektronik yang digagas Pemprov DKI pada Desember 2014 lalu.
"Aplikasi ini merupakan konsep yang mewujudkan model baru pemerintahan yang melibatkan warga dalam pembentukan kebijakan publik," kata Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Basuki Tjahaja Purnama.
Smart City dikembangkan oleh Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan (Diskominfomas) DKI dengan modal Rp3,5 miliar. Pada awal kemunculannya, Smart City menyediakan 2 aplikasi yakni Cepat Respon Opini Publik (CROP) dan QLUE.
Kevin, analis dari Jakarta Smart City mengungkapkan bahwa aplikasi Pantau Banjir dibuat oleh tenaga ahli yang tidak terlalu banyak. “Sekitar 3 orang. Satu front end, satu back end, dan satunya lagi untuk infrastrukturnya,” terangnya pada Tirto.
Kevin menerangkan bahwa Jakarta Smart City hanya bertanggung jawab pada aplikasinya, sedangkan implementasinya atau input data tergantung dari lapangan oleh petugas Pemprov DKI Jakarta.
“Kita dapat datanya dari dinas sumber daya air. Kita kasih akses ke mereka untuk input sendiri ke sistemnya,” tambahnya.
Menurut standar, data pada aplikasi Pantau Banjir diperbarui setiap satu jam sekali. Apa yang diungkapkan Kevin dibenarkan oleh Teguh Hendrawan, Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta. Ia mengatakan bahwa data untuk aplikasi Pantau Banjir disediakan oleh Unit Pengelolaan Data dan Informasi. Pemasok utama di ujung tombak lapangan, data-data ini disediakan oleh para petugas yang mendapat julukan "Pasukan Biru".
“Ada tenaga administrasi (Pasukan Biru yang bertugas mengirimkan data),” katanya.
“Per satu jam data (aplikasi Pantau Banjir) diupdate. (Bisa dilihat informasi terkait) Siaga 4, Siaga 3, Siaga 2, hingga Siaga 1,” kata Teguh.
Baca juga:Aplikasi Mobile yang Melampaui Batas
Pemda DKI Jakarta mengakui belum semua titik pantau memiliki data yang bisa diberikan pada aplikasi Pantau Banjir. Dari 145 rumah pompa, baru terpasang sekitar 50 persen CCTV untuk memantau dan kemudian datanya bisa untuk menyuplai laporan ke aplikasi.
Selain Pantau Banjir, sebuah aplikasi serupa dengan nama Peringatan Dini Banjir Jakarta juga tersedia di toko aplikasi Google Play. Aplikasi tersebut kini memiliki versi 2.2 dan terakhir diperbarui pada 30 November lalu.
Tertulis di Google Play aplikasi itu dipublikasikan oleh Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. Namun, Teguh mengungkapkan bahwa aplikasi itu diurus oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI dan bukan merupakan tanggung jawab dinasnya. Aplikasi tersebut mengambil data-data, salah satunya, dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Aplikasi Peringatan Dini Banjir Jakarta juga bekerja dengan memanfaatkan data-data yang dipasok dari berbagai titik. Tercatat ada 23 titik pantau yang menjadi basis data aplikasi tersebut. Mulai dari Sungai Ciliwung (8 titik), hingga Sungai Sunter (3 titik).
Aplikasi ponsel pintar memang bisa memudahkan untuk mengakses informasi dengan cepat, termasuk aplikasi pemantauan banjir. Namun, aplikasi-aplikasi itu tak akan ada artinya bila data-data yang dipasok tak akurat, dan Pemda DKI Jakarta harus terus memastikan proses menyajikan data soal kondisi banjir tak melenceng dari kondisi di lapangan.
Lagi-lagi akan kembali kepada para manusia yang bekerja di lapangan. Belum lagi bicara soal jangkauan data yang sudah tersedia, karena tak semua titik sudah dalam pemantauan, ini tentu masih jadi PR.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra