tirto.id - Petitih “sedia payung sebelum hujan” bisa jadi sudah tak relevan lagi atau sebaliknya meski di era serba digital saat ini. Kemunculan aplikasi-aplikasi prakiraan cuaca dalam genggaman ponsel pintar atau smartphone menampilkan segala hal soal proyeksi cuaca harian.
Pada toko aplikasi seperti Google Play maupun App Store ada banyak aplikasi prakiraan cuaca yang tersedia, antara lain Weather, AccuWeather, Weather Underground, hingga Info BMKG milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia. Namanya memang beda-beda, tapi fungsi aplikasi-aplikasi itu kurang lebih sama untuk memprediksi cuaca.
Secara umum, aplikasi-aplikasi prakiraan cuaca tersebut bersumber dari basis data yang hampir serupa. Mengutip The New York Times, di Amerika Serikat, tempat sebagian besar aplikasi prakiraan cuaca berasal, data dapat diperoleh melalui National Weather Service, NASA, National Oceanic and Atmospheric Organization, satelit, balon udara pengamat cuaca, stasiun pengamatan lokal, serta beragam lokasi sensor lainnya.
World Meteorological Organization, organasiasi kumpulan para BMKG sedunia, mengklaim memiliki lebih dari 10.000 titik stasiun pengamatan cuaca di seluruh dunia. Titik-titik tersebut menjadi fondasi utama pengumpulan data bagi pengumpulan informasi soal prakiraan cuaca.
Data dari berbagai lokasi itu hadir dalam rupa data soal temperatur, titik embun, kumpulan awan, kecepatan dan arah angin, curah hujan, dan beberapa rupa data lainnya.
Mulyono Rahadi Prabowo, Deputi Bidang Meteorologi BMKG mengatakan bahwa prakiraan cuaca yang diberikan BMKG, termasuk dalam aplikasi Info BMKG hadir dalam rupa-rupa data yang diperoleh dari berbagai lokasi.
“Pertama tentunya data asli, data pengamatan. BMKG punya 180 kantor BMKG yang ada di daerah, ada orangnya (untuk mengumpulkan data). Kita (juga) kerja sama dengan instansi lain, Pemda misalnya. Kita (juga) punya alat yang dititipkan di pelabuhan, kapal Pelni, rig pelabuhan minyak. Pada saat tertentu datanya masuk ke BMKG kemudian diolah. (BMKG juga memakai) Radar, satelit cuaca untuk daerah yang luas,” terang Mulyono kepada Tirto.
Meskipun aplikasi-aplikasi tersebut bersumber dari data yang hampir serupa, masing-masing menampilkan prakiraan yang cukup berbeda. Prakiraan daerah Kemang, Jakarta Selatan misalnya, pada Selasa (12/12), aplikasi bernama Weather memprediksi akan terjadi hujan dengan suhu maksimal berada di angka 31 derajat Celsius.
Pada Rabu (13/12), aplikasi tersebut memprediksi cuaca berawan dengan suhu maksimal masih berada di angka 31 derajat Celsius. Sedangkan, aplikasi AccuWeather, hasilnya sedikit berbeda. Pada Selasa, ia memperkirakan cuaca hujan dengan suhu maksimal berada di angka 33 derajat celcius. Rabu, AccuWeather memprediksi cuaca hujan dengan suhu maksimal berada di angka 32 derajat celsius.
Sementara itu, Info BMKG memprediksi cuaca pada Selasa secara umum berawan dengan kemungkinan hujan disertai petir akan muncul di siang hari. Suhu maksimal dipatok di angka 30 derajat celsius. Pada hari Rabu, Info BMKG memprediksi secara umum cuaca berawan dengan kemungkinan hujan terjadi di siang hari. Suhu maksimal dipatok di angka 28 derajat celsius. Kira-kira seperti itu perbedaan masing-masing aplikasi.
CNBC pernah mengadakan uji aplikasi prakiraan cuaca. Hasilnya mengatakan bahwa di AS, secara umum, Weather Underground, The Weather Channel memiliki keakuratan rata-rata paling tinggi secara nasional dibandingkan aplikasi lainnya. Namun, bicara konteks lokal, dua nama tersebut masih kalah saing. Di Miami misalnya, CNBC mengatakan bahwa MeteoGroup juara aplikasi untuk memperkirakan cuaca. Sementara di Los Angeles, aplikasi Dark Sky adalah andalan.
Soal keakuratan yang tak serupa antar aplikasi prakiraan cuaca, Mulyono mengatakan bahwa ada perbedaan antara konteks lokal dan kewilayahan yang luas soal urusan prakiraan cuaca.
“Jakarta berawan. Jakarta ini sebelah mana, karena ada Utara, Selatan, Barat, Timur. (Jakarta) Pusat pun kecamatan mana? (Kecamatan) Senen pun kelurahan mana? Skala wilayah bisa mempengaruhi tingkat akurasi. (Aplikasi BMKG sendiri memiliki) 80 persen tingkat akurasi wilayah,” katanya.
Namun, Mulyono menegaskan bahwa untuk pemanfaatan tertentu, akurasi prakiraan 100 persen adalah harga yang tidak bisa ditawar, misalnya dalam dunia penerbangan.
“Tergantung pemanfaatannya apa. Kalau untuk pesawat harus 100 persen akurat. Tidak boleh kurang dari 100 persen. (Ini bisa terjadi karena) itu untuk satu titik,” tegasnya.
Secara umum, ketidaksamaan prakiraan yang ditampilkan aplikasi-aplikasi prakiraan cuaca dipengaruhi terutama oleh bagaimana mereka, aplikasi-aplikasi mengolah data. “Prakiraan yang kamu lihat di aplikasi cuaca berbasis pada satu atau kompilasi model informasi. Keakuratan aplikasi cuaca tergantung pada bagaimana tiap organisasi menggunakan data yang mereka dapatkan,” ungkap James West, meteorolog WeatherBug pada Business Insider.
Yang paling menentukan dari pengolahan data tersebut ialah algoritma serta interpretasi ahli prakirawan. Beberapa penggagas aplikasi prakiraan cuaca malah membedakannya secara tegas, daripada menggabungkan kedua pendekatan tersebut.
“Kami mendapat banyak hujatan dari meteorolog yang mengatakan bahwa komputer tidak dapat melakukannya dan kamu selalu membutuhkan manusia di sana untuk menentukan cuaca,” ucap Adam Grossman, pembuat aplikasi bernama Dark Sky.
“Tapi manusia sangat payah soal memperkirakan. Ketika prakiraan cuaca akan dilakukan jauh lebih baik menyerahkannya pada komputer,” ucapnya kepada The New York Times.
“Algoritma membuat beberapa asumsi tentang atmosfer. Algoritma tersebut memberikan perkiraan di mana kondisi atmosfer tertentu akan terjadi,” ucap Chris Maier pada Business Insider.
Algoritma digunakan terutama karena sangat banyak data yang perlu diolah. AccuWeather, salah satu aplikasi ini memiliki algoritma sendiri bernama RealFeel.
Keyakinan memperkirakan cuaca pada algoritma tersebut dibantah oleh Dannis Mersereau dalam tulisannya di Gawker. Ia mengatakan bahwa “prakiraan cuaca berkualitas diciptakan oleh para prakirawan terlatih yang menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk melengkapi model data.”
Sehingga tak semata pada algoritma. Serta tak bisa dipungkiri bahwa tak ada algoritma yang sempurna dan tiap pengembang aplikasi prakiraan cuaca memiliki algoritmanya sendiri-sendiri. Ini membuat perbedaan hasil prakiraan tak terhindarkan.
Meskipun dua pendekatan tersebut terasa berbeda, kolaborasi keduanya sesungguhnya bisa saja dilakukan. Ini karena kombinasi keduanya menjadi sama pentingnya.
“Analisa bareng kita olah untuk menghasilkan gambaran pola angin, konsentrasi kelembaban udara, dan lainnya. Algoritma pasti (juga dipakai). Tidak bisa satu-satu semuanya harus (berbarengan antara algoritma, superkomputer, dan analisa ahli), karena data ada banyak dan tidak hanya dari Indonesia saja. Kita bertukar data dengan internasional,” terang Mulyono.
Apa yang diungkapkan Mulyono senada dengan keyakinan Kevin Doerr dari Weather Channel. “Kami adalah sebuah organisasi yang mempekerjakan ratusan meteorolog, ditambah dengan ilmu komputasi (algoritma komputer) yang dibutuhkan untuk menghasilkan prakiraan,” ungkapnya.
Perbedaan hasil yang ditampilkan tiap aplikasi prakiraan cuaca memang tak bisa dicegah. Para pengguna aplikasi sangat mungkin mendapatkan prakiraan yang tidak akurat atau meleset. Bagi yang menyandarkan informasi cuaca dari aplikasi, tentu saja tidak salah. Namun, bagi yang meyakini tetap membawa payung/jas hujan sebelum gerimis datang tentu itu pun sebuah pilihan.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra