Menuju konten utama

Tren Aplikasi Poligami di Tengah Beragam Kontroversi

Kendati statistik menunjukkan kekerasan terhadap perempuan langgeng dalam praktik poligami, tingkat persetujuan publik terhadap poligami dikabarkan meningkat.

Tren Aplikasi Poligami di Tengah Beragam Kontroversi
Ilustrasi poligami. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sebuah potret keluarga dengan sosok ayah, anak laki-laki maupun perempuan, serta beberapa istri (tepatnya empat orang) yang berdiri di sampingnya. Mereka digambarkan sebagai keluarga harmonis dengan mengumbar senyum ketulusan seraya menegaskan “semakin banyak anggota keluarga, semakin banyak rezeki.”

Kira-kira seperti itu wujud aplikasi poligami asal Indonesia bernama AyoPoligami. Aplikasi AyoPoligami mirip-mirip dengan Tinder, tetapi diklaim menggunakan pendekatan syariah yang dapat diunduh secara cuma-cuma lewat sistem Android (Google Play). Bagi pembuatnya, tujuan aplikasi ini kiranya begitu mulia: mempertemukan laki-laki dan perempuan yang tertarik membuat jalinan keluarga. Tak peduli mereka lajang atau sudah menikah.

Aplikasi AyoPoligami pertama kali diluncurkan ke publik pada April 2017. Hingga sekarang, AyoPoligami telah diunduh sebanyak 37 ribu kali dan memiliki anggota sekitar 50 ribu. Seiring popularitasnya meningkat, aplikasi ini kerap disalahgunakan dengan banyaknya perbincangan seks antarpengguna di samping munculnya akun-akun palsu.

Guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Lindu Cipta Pranayama pendiri AyoPoligami seperti dikutipBBC Indonesia, memutuskan untuk menghentikan sementara aplikasi AyoPoligami dan meluncurkannya kembali pada 5 Oktober. Dalam kemunculan keduanya, aplikasi tersebut rencananya akan memperketat penyaringan anggota. Dengan begitu, hanya orang-orang "serius" saja yang dapat mengakses aplikasi AyoPoligami.

Baca juga:Ketika Poligami Membikin Pelakunya Dipenjara

Beberapa syarat dan ketentuan yang sudah diputuskan AyoPoligami antara lain, diwajibkan menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mereka para lajang, menyertakan KTP serta surat cerai bagi para duda, sampai melampirkan KTP, surat izin RT/RW, dan tanda tangan persetujuan istri untuk mereka yang mau menikah lagi. Selain itu, AyoPoligami juga mengharuskan anggotanya untuk menikah di Kantor Urusan Agama agar memiliki legalitas di mata hukum.

Kate Walton, pegiat hak wanita dan pendiri Jakarta Feminist Group Discussion mengungkapkan pada dasarnya aplikasi biro jodoh tidak masalah asalkan semua pihak saling menyetujui dan memberi izin atas apa yang hendak dilakukan.

Meski demikian, kondisi di lapangan sungguh berbeda. Banyak suami yang tidak meminta izin kepada istrinya kala mencari istri baru dan sang istri pun merasa tak rela jika musti melepas suaminya ke pelukan istri kedua maupun ketiga.

Upaya Menghalalkan Poligami: dari Britania sampai Jalur Gaza

Jauh sebelum Lindu memantik kontroversi di antara masyarakat dengan AyoPoligami, usaha serupa pernah dilakukan Azad Chaiwala, seorang pengusaha asal Inggris keturunan Pakistan. Azad membuat aplikasi yang berbasis poligami bernama SecondWife.com pada 2014, lantas menyusul Polygamy.com pada 2016.

Perbedaan mendasar dari dua situs tersebut ialah SecondWife.com untuk pangsa pasar orang-orang Muslim dan Polygamy.com terbuka untuk semua kalangan. Azad mengaku, apa yang diciptakannya melalui kedua situs poligami itu adalah “yang pertama di dunia.” Sejauh in jumlah anggota situs Azad mencapai puluhan ribu. Mereka yang mendaftarkan diri berasal dari Inggris, Amerika, India, dan juga Pakistan.

Dalam perjalanannya, Azad berharap dapat menyebarkan nilai-nilai poligami berlandaskan “cinta keluarga” yang menurutnya bisa menangkal pelacuran sampai perceraian. Azad juga menolak mereka yang mengkritik poligami sebagai anakronistik (sesuatu yang tidak sesuai zamannya). “Saya mengatakan, ‘Nikahilah dua atau tiga orang dan setialah pada mereka,’” ujarnya seperti dilansir The New York Times.

Tiga per empat pengguna SecondWife.com merupakan laki-laki. Sementara kebanyakan mereka yang mengunggah profil di situs Polygamy.com adalah perempuan. “Jika mereka mampu merawat satu istri, mungkin mereka bisa merawat saya,” kata Azad berspekulasi mengenai isi pikiran perempuan tentang situs poligami.

Hal sama juga terjadi di Gaza lewat situs biro poligami bernama Wesal, situs biro jodoh pertama di Gaza. Kehadirannya bisa dikata sukses selain karena Tinder dan aplikasi jodoh lainnya dilarang beredar juga sebab perhitungan cermat sang pendiri. Hashem Sheikha, pendiri Wesal, paham bila sekitar 1.400 laki-laki terbunuh dalam perang melawan Israel semenjak 2008 sehingga meninggalkan banyak janda yang memiliki keinginan menikah lagi.

Tradisi setempat menyatakan, seorang janda akan sulit untuk menikah lagi. “Kaum lelaki di sini maju ke medan perang dan meninggal. Sementara perempuan tetap hidup,” jelasnya. “Ini mengapa proyek saya (melalui Wasel) mendukung kehadiran poligami.”

Baca juga:Membedah Narasi Nikahsirri.com

Reham Owda, analis tentang masalah perempuan yang berbasis di Gaza menyebutkan, “Perempuan kehilangan lelaki selama tiga perang terakhir. Dampaknya, hidup mereka sulit.” Owda menjelaskan dalam beberapa kasus perempuan janda diminta menikahi saudara ipar suaminya karena alasan finansial.

Belum lagi apabila suami sang janda berafiliasi dengan partai politik, maka kemungkinan besar si perempuan akan ditekan untuk menikahi pria dari kelompok yang sama untuk menunjang penghidupan sehari-hari. “Layanan perjodohan ini positif karena mendorong perempuan untuk memilih calon suami tanpa rasa takut maupun tekanan dalam masyarakat yang religius dan patriarkis ini,” terang Owda.

Perlahan, situs Wesal mulai tenar di Gaza. Sejak pertama kali diluncurkan pada Maret 2016, Wesal telah memfasilitasi 160 proses pernikahan. Setengah di antaranya melibatkan lelaki yang mencari istri kedua atau ketiga. “Kami ingin menyebarkan sukacita dan koneksi di antara khalayak seraya membantu mereka dengan menemukan cinta maupun kedamaian setelah mengalami banyak penderitaan,” tutur Sheikha.

Amal Seyam, Kepala Asosiasi Urusan Perempuan Gaza mengatakan layanan Wesal hadir di waktu tepat untuk memanfaatkan perubahan kondisi dalam masyarakat Gaza. "Poligami telah mencapai tingkat tinggi di Gaza selama beberapa tahun terakhir. Hal itu tampaknya karena meningkatnya kecenderungan religius masyarakat, terutama setelah Hamas berkuasa pada tahun 2007," kata Seyam, merujuk pada kelompok militan yang menguasai Gaza.

Infografik poligami

Beda Sikap Tentang Poligami

Pada tahun 2000, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan bahwa poligami dianggap melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Alasan PBB ialah poligami tidak memberlakukan perlakuan setara dan mengingkari hak maupun martabat perempuan.

Komite PBB turut mencatat dan melaporkannya pelbagai pelanggaran tersebut kepada Majelis Umum PBB guna merekomendasikan pelarangan poligami. Meski demikian, beberapa negara anggota PBB seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Malaysia, Brunei, Sudan Selatan, hingga Myanmar tidak ikut serta menandatanganinya sebab mereka melegalkan poligami. Sejauh ini, tindakan poligami dilegalkan di 58 dari 200 negara. Sebagian besar dari mereka yang melegalkan merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim di Afrika dan Asia.

Di Indonesia sendiri, keberadaan poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat yang terbilang cukup ketat di samping wajib melibatkan keputusan istri pertama. Berdasarkan UU Perkawinan Pasal 4, kondisi sang istri yang dilibatkan dalam poligami musti memenuhi tiga syarat yakni: tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan, dan tidak dapat melahirkan keturunan.

Sementara itu negara-negara maju seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru mengizinkan poligami apabila dilakukan di negara lain. Swedia mengakui pernikahan poligami yang dilakukan di luar negeri tetapi tidak memberi hak tinggal atau jaminan sosial kepada pasangan poligami.

Di Amerika Serikat, poligami ilegal. Namun berdasarkan penelitian akademis seperti dilansirNPR menyebutkan jumlah masyarakat yang melakukan poligami di Amerika berkisar di angka 50 ribu sampai 100 ribu. Sebagian besar dari mereka berlatarbelakang Muslim dan Kristen Mormon.

Baca juga:Aturan Poligami dan Kisah-Kisah yang Tak Semanis Madu

Lantas bagaimana poligami di mata publik AS sendiri? Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan Gallup, 16 persen publik Amerika tidak keberatan dengan keberadaan poligami. Angka itu naik dua kali lipat dari yang mulanya 7 persen di tahun 2001.

Argumen pro-poligami ditunjukkan Fredrik deBoer, periset dari Brooklyn College, lewat tulisannya berjudul “It’s Time to Legalize Polygamy” yang dimuat di Politico. Fredrik berpendapat, pernikahan sesama jenis telah legal di 50 negara bagian Amerika. Sekarang, tanya Fredrik, "setelah kita mendefinisikan bahwa cinta, pengabdian, dan keluarga tidak didorong oleh jenis kelamin belaka, apa perlunya membatasi (pernikahan) untuk dua individu saja?"

Bagi Fredrik, penolakan atas poligami hampir seluruhnya didasari oleh ketakutan serta prasangka semata. Untuk itu, perlu adanya perlawanan karena penolakan terhadap poligami berkaitan dengan hak asasi manusia. Pengormatan terhadap tradisi, bukanlah alasan untuk membatasi hak pernikahan bagi mereka yang menginginkannya.

Meski demikian, nyatanya beberapa pihak menilai poligami masih sulit diterima publik AS. Dengan setengah bercanda, Ross Douthat dalam tulisannya di The New York Times memperkirakan poligami baru mungkin disahkan di Amerika setelah tahun 2040, mengingat tak ada perubahan berarti dalam tingkat penerimaannya. Pendapat serupa juga diungkapkan Brad Wilcox, Direktur National Marriage Project (NMP) Universitas Virginia. Wilcox menyebut poligami dapat diterima secara hukum dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun ke depan.

Berbagai alasan dikemukakan menyoal sulitnya poligami diterima publik AS. Studi tahun 2012 menunjukkan bahwa “tingkat pemerkosaan, penculikan, pembunuhan, penyerangan, perampokan, dan penipuan jauh lebih tinggi terjadi dalam budaya poligami.” Tak hanya itu, poligami dinilai tidak memberikan ruang egaliter untuk perempuan.

Baca juga artikel terkait POLIGAMI atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf