tirto.id - Dewan Perwakilan rakyat (DPR) berencana membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dalam waktu dekat.
Langkah ini diambil setelah Presiden Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk membahas rancangan revisi UU TNI tersebut.
Dari sekian pasal yang diusulkan, revisi Pasal 65 Ayat 2 UU TNI menjadi sorotan karena dinilai berpotensi mengembalikan peran dwifungsi TNI.
Lantas, apa itu Pasal 65 Ayat 2 UU TNI dan mengapa revisinya menuai kekhawatiran? Berikut penjelasan selengkapnya.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (tengah) bersama Ketua Komisi I DPR Utut Adianto (kanan) bersama dan Wakil Ketua Komisi I DPR Budisatrio Djiwandono (kiri) memberikan keterangan pers terkait revisi UU TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025). Dalam keterangan pers tersebut DPR menegaskan bahwa revisi UU TNI hanya membahas tiga pasal yaitu mengenai kedudukan TNI, perpanjangan usia dinas, dan ruang jabatan sipil bagi prajurit aktif. DPR juga menegaskan bahwa pembahasan pasal-pasal tersebut tidak dilakukan secara diam-diam atau terburu-buru. ANTARA FOTO/Meli Pratiwi/RIV/foc.
Apa Itu Pasal 65 Ayat 2 UU TNI 2004?
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami intisari Pasal 65 Ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Pasal ini mengatur status hukum prajurit TNI yang melakukan pelanggaran. Isi dari Pasal 65 UU TNI adalah sebagai berikut:
Arti dari Pasal 65 UU TNI tersebut adalah terdapat pemisahan kewenangan peradilan berdasarkan jenis pelanggaran.
Jika seorang prajurit melanggar hukum pidana militer seperti desersi atau pembangkangan perintah, kasusnya akan diadili di pengadilan militer.
Namun, jika pelanggaran berupa tindak pidana umum seperti pencurian atau kekerasan sipil, proses hukumnya diserahkan ke peradilan umum.
Ketentuan ini bertujuan untuk menegaskan prinsip akuntibilitas TNI di hadapan hukum sipil, sekaligus menjaga profesionalisme korps militer.
Hal ini juga sejalan dengan semangat reformasi TNI pasca-1998, yang menekankan pemisahan antara ranah militer dan sipil serta penegakan supremasi hukum.
Namun, dalam draf revisi UU TNI No. 34 Tahun 2004, pasal ini dikhawatirkan akan diubah untuk memperluas kewenangan peradilan militer—langkah yang dinilai kontroversial.
Mengapa Revisi Pasal 65 Ayat 2 UU TNI 2004 Dikritik?
Rencana revisi Pasal 65 Ayat 2 UU TNI menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk lembaga HAM dan pengamat hukum di Indonesia.
Dalam draft revisi pasal 65 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum.
Perlu diketahui, status hukum prajurit TNI telah diatur sebelumnya dalam reformasi TNI Tahun 1998 yang termaktub dalam Pasal 3 Ayat 4 TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 Ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Perubahan yang diusulkan tersebut dikhawatirkan bertentangan dengan semangat reformasi TNI pasca-1998, yang memisahkan peran militer dari ranah sipil.
Selain itu, potensi kembalinya dwifungsi TNI, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan negara, tetapi juga terlibat dalam ranah sipil.
Menurut Fadhil Alfatan, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam sebuah forum diskusi, reformasi TNI di Indonesia dinilai berjalan mundur.
“Kami menilai usulan untuk mengubah pasal 65 terkait dengan Peradilan Militer sangat berbahaya bagi proses reformasi hukum di Indonesia secara keseluruhan di masa yang akan datang,” ujar Fadhil dilansir dari laman Hukum Online.
Sementara itu Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Muhammad Rezaldy juga berpendapat bahwa reformasi TNI penting untuk dilanjutkan untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa pelanggaran HAM berat seperti pada tahun 1998.
Peradilan militer kerap dianggap tidak transparan dan tidak memenuhi prinsip keadilan. Jika kasus pelanggaran HAM oleh TNI diadili secara internal, korban dan masyarakat sipil dinilai akan kesulitan mengakses keadilan.
Pakar hukum dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menilai bahwa revisi ini dapat melemahkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil.
Mereka menekankan bahwa TNI seharusnya fokus pada fungsi pertahanan dan tidak terlibat dalam jabatan-jabatan sipil yang dapat mengarah pada kebangkitan militerisme.
Dengan berbagai kritik dan kekhawatiran tersebut, dapat disimpulkan kritik utama terhadap revisi Pasal 65 UU TNI adalah sebagai berikut:
1. Potensi Impunitas
Peradilan militer dinilai kurang independen dalam mengadili kasus pelanggaran HAM, sehingga berisiko melindungi oknum TNI dari sanksi hukum.2. Pelanggaran Prinsip Reformasi
Revisi Pasal 65 Ayat 2 UU TNI dianggap mengikis komitmen reformasi TNI yang telah memisahkan peran militer dari politik dan hukum sipil.3. Ancaman terhadap Hak Korban
Korban kejahatan yang melibatkan TNI mungkin kesulitan mendapatkan keadilan jika proses hukumnya tertutup.Usulan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 65 Ayat 2, memicu perdebatan antara kebutuhan modernisasi institusi militer dan prinsip transparansi hukum. Pemerintah dan DPR diharapkan melibatkan partisipasi publik serta mengutamakan perlindungan HAM dalam pembahasan.
Untuk itu, masyarakat perlu memantau proses revisi ini agar tidak menjadi bumerang bagi demokrasi Indonesia. Pasal 65 UU TNI bukan sekadar teks hukum, melainkan cerminan komitmen negara terhadap profesionalisme dan keadilan bagi seluruh warga.
Editor: Robiatul Kamelia & Yulaika Ramadhani