tirto.id - Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI menuai kritik dari masyarakat yang khawatir akan penerapan dwifungsi ABRI seperti zaman Orde Baru. Panitia Kerja (Panja) RUU TNI melakukan mufakat secara tertutup di Hotel Fairmont Jakarta, pada Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025).
Rapat tersebut mendapat kritik karena tidak sesuai asas keterbukaan. Dalam setiap tahapan proses pembentukan undang-undang, DPR harus dilandasi asas keterbukaan baik dari tahap perencanaan, penyusunan, maupun pengesahan.
RUU TNI 2025 juga memuat sejumlah pasal yang bermasalah, yaitu Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53. Pasal 3 dan Pasal 47 mengenai kedudukan TNI, kemudian Pasal 53 tentang masa pensiun
Isi Petisi Tolak Revisi UU TNI 2025
Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan, DIM RUU TNI bermasalah. Mereka menyebut terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militersime (Dwifungsi TNI) di Indonesia.
Koalisi menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.
Selain itu, masyarakat menuntut agar TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil agar segera mengundurkan diri. Melihat kondisi yang terjadi saat ini banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil, seperti Letkol Teddy sebagai Sekretaris Kabinet dan Mayor Jenderal Ariyo sebagai Kepala Sekretariat Presiden.
Sebagai tambahan, melalui petisi ini masyarakat mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan modernisasi alutsista, memastikan TNI adaptif terhadap ancaman eksternal, meningkatkan kesejahteraan prajurit dan memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI.
Link Petisi Tolak Revisi UU TNI 2025
Menanggapi upaya menguatnya militerisme dalam kehidupan warga di Indonesia, sejumlah elemen mengajak masyarakat untuk menyuarakan Tolak RUU TNI, salah satunya dengan menandatangani petisi berjudul “Tolak Kembalinya Dwifungsi Melalui Revisi UU TNI”.
Hingga Kamis (20/3/2025) pukul 09.00 WIB, petisi tersebut telah mengumpulkan 29.554 tanda tangan, dengan target selanjutnya sebesar 35.000 tanda tangan.
Untuk mengakses petisi tersebut, Anda dapat mengunjungi tautan yang ada di bawah ini:
Tautan Petisi Tolak Kembalinya Dwifungsi Melalui Revisi UU TNI
Poin-Poin Perubahan RUU TNI
Ada beberapa poin-poin perubahan dalam RUU TNI. Pertama, pemerintah mengusulkan untuk menambah tiga tugas baru TNI selain perang yaitu, TNI memiliki tugas untuk membantu dan menanggulangi ancaman siber, TNI bisa membantu dan menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri, serta TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika.
Kedua, perwira TNI aktif dapat menjabat di 16 kementerian/lembaga yang sebelumnya tidak boleh kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun sebagai perwira TNI aktif. Perubahan ini yang mendapat kritik keras dari masyarakat karena kekhawatiran tentang kembali berlaku Dwifungsi ABRI atau sekarang TNI, seperti zaman Orde Baru.
Ketiga, ketentuan usia pensiun mengalami perpanjangan. Untuk bintara dan tamtama, usia pensiun menjadi 55 tahun, sementara untuk perwira berkisar antara 58 hingga 62 tahun, tergantung pada pangkatnya. Khusus untuk perwira berpangkat jenderal bintang 4, usia pensiun akan ditetapkan berdasarkan keputusan presiden.
Editor: Dipna Videlia Putsanra