Menuju konten utama

Tolak Revisi UU TNI, Pedemo di Jogja Desak Dwifungsi Dimuseumkan

Salah satu pedemo dan perwakilan Jogja memanggil, Bung Kus, menilai TNI saat ini sudah menerapkan dwifungsi TNI, bahkan sudah multifungsi.

Tolak Revisi UU TNI, Pedemo di Jogja Desak Dwifungsi Dimuseumkan
Adi saat berorasi di Tetenger Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat dj depan Museum TNI AD Dharma Wiratama, pada Rabu (19/3/2025). (FOTO/Siti Fatimah)

tirto.id - Penolakan revisi UU TNI tidak hanya berlangsung di Jakarta, melainkan juga di daerah. Sejumlah warga di Kota Yogyakarta berunjuk rasa menolak revisi Undang-Undang TNI. Mereka menyuarakan kritik kinerja TNI sekaligus potensi dwifungsi ABRI yang kembali mengemuka akibat revisi tersebut.

Puluhan massa ada yang berkumpul dan menyuarakan penolakan revisi UU TNI di Tetenger Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat atau dekat Museum TNI AD Dharma Wiratama yang berada di jalan Cik Ditiro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (19/3/2025). Di hadapan pantung Soedirman dan Amir Sjarifoeddin, massa yang berkumpul sekitar pukul 15.45 WIB itu meneriakkan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).

Dalam demo tersebut, salah satu orator menyinggung keberadaan paket pengadaan celana dalam untuk TNI yang termuat dalam Layanan Katalog Pengadaan Pemerintah (LKPP) tahun 2025 dengan anggaran masing-masing Rp170 juta dan Rp297.000.

"Konyol, sempak [atau] TNI celana dibeli dengan harga Rp170 juta," sebut seorang orator dalam aksi di depan Museum TNI AD Dharma Wiratama, pada Rabu sore.

Kemudian, orator mengaitkan dengan gagasan efisiensi yang dilakukan Prabowo. Ia menanyakan alokasi anggaran tersebut.

Perwakilan Jogja Memanggil, Bung Kus, mengatakan bahwa aksi yang dipusatkan di lokasi tersebut sebagai bentuk penyadaran terhadap publik.

"Simbol museum, kami melakukan demostransi di museum karena ingin mengatakan kepada publik luas, Mari museumkan dwifungsi ABRI [TNI]," lontarnya diwawancarai di lokasi, Rabu.

Bung Kus mengeklaim, dwifungsi ABRI hidup kembali karena tidak pernah dimuseumkan. Ia mengeklaim, bahaya dari pola pemerintahan tersebut tidak sepenuhnya disadari oleh masyarakat.

"Dwifungsi ABRI tidak ada dalam museum. Padahal kita bisa melihat catatan sejarahnya, adalah catatan sejarah kelam," tegasnya.

Bung Kus pun mencontohkan salah satu praktik dwifungsi ABRI adalah pembunuhan masal yang dilakukan oleh Soeharto. Ia mengeklaim terjadi kejahatan hak asasi manusia (HAM) akibat dwifungsi TNI, salah satunya adalah program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Menukil dari Jurnal HAM yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 2015, Repelita merupakan program Pemerintah Orba yang membuka wilayah untuk penanaman modal swasta. Soeharto memberikan kemudahan bagi investor sekaligus perlindungan kemanan melalui peran serta aparat.

Ia pun mendorong agar kejahatan akibat praktik dwifungsi TNI menjadi atensi publik. Ia pun mendorong agar dwifungsi tersebut sudah dimuseumkan, tetapi malah kembali muncul, bahkan lebih parah.

"Bukan dwifungsi, hari ini konteksnya malah multifungsi," ucapnya.

Ia pun menilai, kondisi TNI saat ini sudah berada di berbagai instansi yang seharusnya diduduki sipil seperti Bulog dan Basarnas. Ia pun menyinggung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai meminta maaf akibat menetapkan seorang perwira TNI yang menjabat di Basarnas sebagai tersangka.

"Ada perwira aktif TNI yang melakukan aksi korupsi senilai Rp88 miliar dan hal itu akhirnya tidak bisa ditangani secara tuntas oleh KPK," ketusnya.

"KPK justru meminta maaf terhadap militer karena telah menetapkan sebagai tersangka," imbuhnya.

Tindakan tersebut, kata Bung Kus, menunjukkan betapa sikap kesewenangan TNI yang membahayakan rakyat. Pengesahan revisi UU TNI diklaim akan semakin melegitimasi tindakan TNI dalam melindungi pelaku. Ia pun menyoroti aksi penembakan TNI kepada 3 anggota kepolisian.

Selain Bung Kus, aktivis dari Lingkar Keadilan Ruang, Adi, juga mendorong agar TNI kembali ke barak. Ia mengingatkan TNI bisa bersenjata karena peran rakyat.

"Bahkan sempaknya, juga dari uang rakyat," cecarnya.

Oleh karena itu, Adi mengeklaim TNI semestinya cukup menjalankan pengamanan teritori dan tidak perlu menduduki jabatan sipil. Ia pun mengaitkan Prabowo yang lahir di era Orde Baru ketika dwifungsi ABRI berlangsung.

"Tidak lain dan tidak bukan, karena Prabowo adalah orang yang lahir dari rezim Orde Baru. Prabowo lahir dari rahim oligarki dan Prabowo sekarang memimpin negara Indonesia," cecarnya.

Adi menyinggung dwifungsi TNI masih berjalan hingga saat ini. Salah satunya adalah konflik agraria Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah. Mengutip dari laman Komnas HAM, tertulis bahwa sudah ada pengaduan konflik sejak 2011. Pengaduan itu dilakukan oleh Paryono dan warga lantaran terjadi pengerobotan lahan warga oleh TNI AD/Kodam IV Diponegoro. Ia menyebut TNI sebagai musuh dalam konflik tersebut.

Adi pun menyerukan agar rakyat Indonesia melawan TNI yang ingin kembali masuk ke ranah sipil. Bahkan dia menyatakan bahwa TNI yang melaksanakan praktik dwifungsi ABRI adalah musuh bersama.

"Sudah benar, kita akan menyerukan pada seluruh rakyat seluruh gerakan bahwa ada musuh bersama di hadapan kita," sebutnya.

Adi juga memperingatkan, ada pihak yang berusaha mengembalikan romansa Orde Baru ke masa kini. "Kita tahu, Orde Baru jelas-jelas gagal. Kita tidak mau, kemudian negara kita menjadi negara gagal," tandasnya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - Politik
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Andrian Pratama Taher