tirto.id - Pendiri pengembang papan atas Summarecon, Soetjipto Nagaria masih ingat betul asal muasal kawasan elite Kelapa Gading di Jakarta Utara bermula. "Kalau Kelapa Gading sudah jelas, dulu rawa-rawa, istilahnya tempat jin buang anak," ujarnya, seperti dilansir dari Kompas.
Rawa-rawa itu secara perlahan berubah menjadi hunian. Awalnya hanya kawasan hunian dengan nama Kelapa Gading Permai--dikembangkan di lahan seluas 10 hektare sejak September 1976.
Pada waktu itu jangan bayangkan sudah ada Tol Layang Wiyoto Wiyono yang menghubungkan Cawang-Tanjung Priok. Akses jalannya masih berupa jalan raya Cawang Priok yang tidak terlalu lebar dan sering macet karena harus bersinggungan dengan truk-truk besar. Warga Kelapa Gading mulai menikmati adanya infrastruktur tol setelah jalan bebas hambatan itu beroperasi melintasi hunian mereka pada 1990.
Keberadaan tol mendorong Kelapa Gading makin berkembang menjadi sentra bisnis dan hunian. Hadirnya mal-mal di Mal Kelapa Gading (MKG) tahap satu sejak 1990 hingga MKG tahap lima di 2008 menjadikan nilai tambah kawasan ini. MKG bagian dari Sentra Kelapa Gading sebagai kawasan komersial terpadu seluas 20 hektare, termasuk La Piazza, dan Gading Food City.
Semua fasilitas ini terintegrasi dengan hotel berbintang 4, Harris Hotel & Conventions Kelapa Gading. Bisa dibilang semua kebutuhan dan fasilitas penghuni bisa dilayani di satu kawasan termasuk untuk urusan kuliner. Sejak akhir 2012 dibuka Gading Walk sebagai pusat kuliner dan taman bermain di Jakarta Utara.
Meski sudah berubah menjadi salah satu kawasan elit, Kelapa Gading masih memiliki cap buruk sebagai salah satu titik langganan banjir di ibu kota. Tiap kali dilanda hujan deras, kawasan ini tak pernah bebas dari genangan.
Kepala Naga dan Banjir
Banjir belum bosan menyapa kawasan elite Kelapa Gading. Namun tetap saja, pesona Kelapa Gading sebagai kawasan elite untuk bisnis maupun hunian tak pernah surut. Harga hunian dan ruko di kawasan ini sudah menyentuh miliaran rupiah dan mengalami kenaikan harga.
Pada triwulan II-2012 misalnya, Bank Indonesia melakukan survei harga properti di pasar sekunder atau rumah bekas. Terungkap berdasarkan wilayah kenaikan harga tanah tertinggi terjadi di wilayah Jakarta Utara yaitu 4,28% khususnya di wilayah Kelapa Gading hingga 7,44% dan Sunter 5,95% dibandingkan periode sebelumnya—dengan harga rata-rata tanah Rp8,7 juta/meter persegi. Survei ini juga mengungkapkan menjual rumah bekas di kawasan Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter lebih cepat terjual dalam tempo 3-6 bulan.
Daerah banjir tapi tetap diburu. Bagi yang percaya dengan Fengshui, kawasan Kelapa Gading dan sekitarnya sering dikaitkan dengan kawasan “Kepala Naga” yang dianggap memberikan keberuntungan bagi kegiatan bisnis, sehingga jadi pilihan. Praktisi Fengshui Suhu Yo menjelaskan istilah “Kepala Naga” adalah kawasan bisnis dan hunian yang dekat dengan pusat pemerintahan kota atau negara.
Memang bila ditarik secara garis lurus antara Istana Negara dengan Mal Artha Gading misalnya, jaraknya hanya sekitar 5 km--kantor wali kota Jakarta Utara dengan wilayah Kelapa Gading hanya berjarak kurang lebih 3 km. Kelapa Gading tentu lebih unggul dari jarak bila dibandingkan dengan kawasan elite Pondok Indah yang berjarak 4,7 km dari kantor wali kota Jakarta Selatan atau 13 km dari Istana Negara.
“Kepala naga itu berdekatan dengan kepala negara, kepala provinsi, kepala kabupaten,” kata Suhu Yo kepada Tirto.
Fengshui memang punya versi sendiri dalam menjelaskan fenomena, tapi tak praktis begitu saja diterima oleh bagi mereka yang tak percaya. Konsultan properti dari Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menjelaskan bahwa apa yang terjadi dengan kawasan elite Kelapa Gading maupun daerah lainnya tak lepas dari kelengkapan fasilitas kawasan yang sangat menentukan. Kawasan yang memiliki fasilitas lengkap meski jadi langganan banjir, akan tetap menjadi pilihan konsumen dalam menentukan pilihan memiliki properti hingga memengaruhi harga properti.
“Sampai saat ini belum ada yang bisa menandingi Kelapa Gading sebagai pusat pertumbuhan baru di Jakarta Utara dengan skala itu. Banjir menjadi relatif karena hampir semua wilayah Jakarta tidak bebas banjir, kecuali cuma Kelapa Gading yang kebanjiran,” kata Ali kepada Tirto.
Cap "banjir" itulah yang barangkali membuat Kelapa Gading masih kalah dibandingkan dengan kawasan elit lainnya seperti Pondok Indah. Berdasarkan zona nilai tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta yang dipacak dari website smartcity.jakarta.go.id-- harga tanah di Kelapa Gading hanya dalam rentang Rp13-27 juta/meter persegi. Sedangkan Pluit dalam rentang Rp18-25 juta/meter persegi. Bandingkan dengan Pondok Indah yang dalam rentang Rp19-81 juta/meter persegi, atau Menteng yang cukup tinggi dalam rentang Rp26-42 juta per meter persegi.
Lokasi spesifik dan kelengkapan fasilitas sebuah kawasan memang menjadi penentu harga sebuah properti. Namun, apakah efek banjir memengaruhi harga properti seperti yang terjadi di Kelapa Gading? Slogan "bebas banjir" saat para pengembang properti "jualan kecap" ke para konsumen saat promosi barangkali bisa sedikit menjawabnya.
“Kalau tidak banjir mungkin akan lebih makin mahal harganya,” kata Suhu Yo.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti