Menuju konten utama

Gaya Politikus Menghadapi Banjir

Banjir adalah bencana yang berkaitan dengan infrastruktur dan hajat orang banyak. Tak mengherankan jika para politikus harus tampil di lokasi-lokasi banjir.

Gaya Politikus Menghadapi Banjir
Calon wakil gubernur Anies Rasyid Baswedan saat menyusuri pemukiman warga yang terkena banjir di Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, Senin (20/2/2017). Tirto.id/Tresna Yulianti.

tirto.id - Pemandangan ini barangkali kerap Anda jumpai saat membaca atau menonton berita seputar banjir:

Politikus lokal mendatangi lokasi dengan menaiki perahu atau terjun langsung bermodalkan sepasang sepatu boots. Politikus kemudian mengakhiri kunjungan dengan mengucap sepatah dua patah kata kepada wartawan terkait apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi bencana yang rutin melanda masyarakat setempat. Atau, cukup gambar sang politikus berada di tengah banjir.

Situasi ini akan menghiasi sejumlah titik banjir di Jakarta pada hari ini hingga beberapa hari ke depan. Dua pasangan calon (paslon) yang sedang bersaing di pemilihan gubernur, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Rasyid Baswedan, dijadwalkan akan mengunjungi permukiman warga di kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur yang saat ini dilanda banjir.

Menurut ahli sejarah perkotaan dan pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Purnawan Basundoro, ada tujuan dalam kunjungan-kunjungan politikus ke daerah-daerah banjir.

“Mereka akan datang ke sana seolah-olah sebagai pihak yang akan menyelesaikan masalah itu. Dia akan “berpesan” kepada masyarakat bahwa dirinya terpilih maka masalah banjir akan teratasi dengan cepat,” kata Purnawan kepada wartawan Tirto.

Purnawan menjelaskan fenomena ini disebabkan karena banjir berkaitan dengan infrastruktur perkotaan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Reaksi penanganan banjir dan masalah infrastruktur lain menjadi indikator penilaian seberapa tanggap kerja mereka yang seharusnya bertanggung jawab.

“Masalah infrastruktur berhadapan langsung dengan hajat hidup orang banyak, maka dengan sendirinya akan gampang dipolitisasi. Para politisi kan butuh dukungan, dan sumbernya adalah dengan apa-apa yang bisa ia beri ke masyarakat. Salah satunya ya penanganan banjir,” kata Purnawan.

Sayangnya, seringkali apa yang diperlihatkan atau dijanjikan saat kampanye tak betul-betul terealisasi.

“Karena memecahkan masalah banjir juga bukan masalah yang sekejap bisa selesai. Untuk soal anggaran penanggulangan banjir misalnya, harus melalui proses yang berliku-liku. Ketika soal anggaran itu dibahas di DPRD, akan ada lawan politiknya, dan program-program yang bisa mengangkat popularitas pejabat eksekutifnya biasanya ada proses penjegalan dan sebagainya,” jelasnya.

Ilustrasi tersebut selaras dengan penanganan banjir Jakarta pada awal 2014 lalu dimana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan salah satu kendala penanganan banjir kali ini, yaitu terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2014 yang masih belum disahkan.

Pada saat itu, berdasarkan data dari BPBD DKI, banjir yang terjadi di Kota Jakarta saat ini telah merendam sekitar 17,40 persen dari total wilayah, sedangkan saat banjir tahun lalu mencapai 17,73 persen. Terdapat 134 titik banjir dan genangan yang tersebar di wilayah DKI dengan total pengungsi mencapai 40.057 jiwa. Pihak BPBD telah mengerahkan sebanyak 1.539 personel di 300 titik rawan banjir.

Jika dibandingkan dengan 2013, banjir dan genangan terdapat kali itu menyebar di 124 kelurahan dan 508 RW. Sedangkan tahun 2014 banjir telah merendam sebanyak 89 kelurahan dan 371 RW. Untuk kondisi yang demikian parahnya saja, kerja eksekutif masih terhambat oleh mereka yang duduk di gedung legislatif.

Banjir di Jakarta seperti tamu langganan yang pasti datang tiap tahun. Yang berbeda hanya intensitasnya. Selain menimbulkan dampak langsung seperti penyakit bagi para korban, dampak tak langsungnya juga berlimpah. Khususnya untuk kerugian ekonomi.

Data Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta menyebutkan perkiraan kerugian bagi dunia usaha atas banjir yang berlangsung selama 1 minggu bisa mencapai Rp 1 triliun. Banjir juga berisiko menaikkan harga kebutuhan pokok naik 10-20 persen karena distribusi barang-barang terhambat.

Berdasarkan data dari buku Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai karya Omo Rusdiana dan kawan-kawan, akibat banjir tahun 2002 Jakarta harus merugi sedikitnya Rp 9,8 triliun. Sementara itu untuk banjir pada tahun 2007, kerugiannya mencapai mencapai Rp 5,16 triliun. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) mencatat penurunan kerugian pada 2013 yakni menjadi Rp 7,5 triliun. Lalu pada banjir pada bulan Januari-Februari 2014 turun menjadi Rp 5 triliun.

Kerugian-kerugian ini, dan dampak luas yang ditimbulkan, bagi Purnawan sangat amat tidak pantas untuk dijadikan bancakan politik. Persaingan politik atas nama banjir hanya akan melahirkan pergantian kebijakan di masa kepemimpinan yang berbeda. Padahal solusi banjir Jakarta itu hanya bisa dilaksanakan dalam jangka panjang, bukan menurut siapa memimpin di mana.

Purnawan lalu berkisah tentang contoh politikus yang tak memberi solusi efektif atas persoalan banjir dan justru berkomentar konyol. Daerah Kraton di Pasuruan, Jawa Timur, pada pertengahan Januari lalu dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Welang. Bencana ini pasti terjadi tiap hujan besar dan merendam rumah ribuan orang. Salah seorang wartawan bertanya pada satu anggota DPRD Jawa Timur dan mantan wakil bupati Pasuruan.

“Dia menjawabnya ngawur sekali. Satu-satunya solusi untuk mengatasi banjir baginya adalah membuat fly over. Bagi dia selama ini banyak sekali kendaraan yang harus berhenti ketika banjir itu menggenangi kawasan itu. Itu konyol karena dia tidak memikirkan korban banjirnya. Dia lebih memikirkan orang-orang yang berkendara,” katanya.

Infografik Merugi Akibat Banjir

Politik Banjir di Negara Lain

Kekonyolan politikus saat menanggapi banjir pernah terjadi juga di India. Kejadian yang terjadi pada Mei tahun lalu itu diawali dengan banjir yang melanda negara bagian Madya Pradesh, India. Politisi senior Shivraj Sing Chouhan, sang menteri negara bagian, berkunjung ke daerah yang terdampak banjir setinggi lutut. Entah karena takut sepatunya basah atau bagaimana, ia memilih untuk digendong oleh dua pengawal kepolisian.

Foto yang mengabadikan momen itu viral di media sosial dan rata-rata dikomentari negatif oleh netizen India. Untuk bahan lelucon, tentu saja. Salah serang pengguna Twitter bernama Abhisek Rai Akrant, misalnya, berkomentar bahwa foto itu menunjukkan ada yang salah di segala level. Netizen lain menilai bahwa sang menteri harusnya malu.

Sang menteri sendiri, melalui humas kantornya, berkilah bahwa tingkat kedalaman banjir bisa bertambah dengan cepat, atau bagian jalan yang diinjaknya terlalu licin dan menyebabkan ia terpeleset, atau dia takut jika ada ular atau kalajengking yang menggigitnya. Ia, sebagaimana diungkapkan ke AFP, hampir putus asa untuk bertemu para korban.

Di Thailand, penanganan banjir tak bisa dilepaskan dari kelindan politis yang mengikat ibukota Bangkok. Pada Oktober 2011, Thailand menghadapi banjir terparah dalam satu dekade terakhir. Dalam catatan The Guardian, respons pemerintah yang dipimpin oleh Yingluck Shinawatra justru tak kompeten. Menteri-menteri mengeluarkan peringatan yang berbeda-beda. Antar lembaga justru berkonflik dan koordinasi antar kebijakan dinilai amat buruk.

Yingluck dinilai berpaling dari orang-orang yang mendukungnya ke posisi atas dan waktu itu sedang menjadi korban banjir. Saat bencana datang, Yingluck justru dikelilingi orang-orang yang membuat kebijakan penanggulangan sulit dieksekusi. Informasi soal banjir tidak terpusat dan tak dapat diandalkan. Berita di televisi yang monoton serta diputar-putar memakai sumber yang sama membuat publik Thailand gemas.

Jelang air mulai surut sepenuhnya, bencana yang berlangsung selama 175 hari (25 Juli 2011-16 Januari 2012) di 65 (dari total 77) provinsi di Thailand itu mengakibatkan 815 nyawa melayang. Kerugian materil yang ditimbulkan sebesar 1,42 triliun baht atau sekitar $6,5 juta. Sebuah tragedi yang disesalkan rakyat Thailand hingga kini atas tak maksimalnya kerja dari para birokrat dan politisi di negaranya.

Baca juga artikel terkait POLITISASI BANJIR atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani