tirto.id - Awalnya, Jakarta bukanlah Jakarta. Dari beberapa nama, sebutan yang cukup terkenal bagi Jakarta adalah Batavia. Sebenarnya pada zaman penjajahan Jepang sebutan Jakarta memang sudah cukup populer, namun menteri penerangan saat itu, Arnold Mononutu, menegaskan sejak 30 Desember 1949, tak ada lagi sebutan Batavia. Mulai saat itu, nama ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta.
Bagi Arnold Isaac Zacharias Mononutu muda pada dekade 1910-an, Jakarta merupakan bagian dari kenangan masa mudanya. Selain pernah sekolah menengah Hogere Burger School (HBS) di pusat Hindia Belanda ini, ia sempat menikmati masa remajanya dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak gadis pejabat Belanda, sebelum akhirnya meninggalkan Jakarta untuk belajar sebentar di negeri Belanda. Belakangan Arnold menjadi orang pergerakan nasional yang banyak dibenci pejabat.
Ketika Arnold bersekolah di HBS, sebetulnya kota itu tidak disebut Jakarta. Orang-orang Belanda menyebutnya Batavia. Sebelum bernama Batavia, kota itu sempat dikenal sebagai Sunda Kelapa. Ketika Pangeran Jayakarta masih berkuasa di daerah itu, sebutan Sunda Kelapa berganti kembali menjadi Jayakarta. Sejak awal abad ke-17, maskapai dagang Vereniging Oost-Indische Compagnie (VOC) sudah memusatkan bisnisnya di daerah itu.
Menurut Jakarta.go.id, nama Jayakarta diilhami dari Al Qur'an. Surat Al Fath ayat 1 yang berbunyi, “Inna fatahna laka fathan mubinan.” Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan padamu, kemenangan yang tegas.” “Kemenangan yang tegas dan sempurna” itu kemudian dialih bahasakan menjadi Jayakarta.
Di tanah kekuasaan Pengeran Jayakarta itu, VOC membangun benteng kuat pada 1618, dan pada tahun berikutnya berhasil mengalahkan Pangeran Jayakarta. Melalui tangan Jan Pieterzoon Coen, sang Gubernur Jenderal VOC, pada 1621 dibangunlah pemerintah kota bernama Batavia yang dikendalikan VOC. Kawasan itu terus berkembang hingga menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda untuk lebih dari 300 tahun.
Menurut Sagimun Mulus Dumadi dalam Jakarta dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi (1988), orang “yang memberi nama Batavia itu adalah seorang pegawai VOC yang bernama van Raay. Nama Batavia itu diberikan kepada benteng Belanda secara acuh tak acuh dalam suatu pesta mabuk-mabukan pada tanggal 12 Maret 1619.”
Ketika lidah orang-orang Belanda menyebut kota itu Batavia, lidah orang-orang pribumi di sekitar kota menyebutnya sebagai Betawi. “Tentang asal mula nama Betawi itu, ada yang mengatakan bahwa hal itu hanya kesalahan penyebutan kata Batavia,” tulis Sagimun.
Tak hanya lidah orang pribumi di kampung-kampung atau pasar saja yang menyebutnya Betawi. Beberapa surat kabar berbahasa Melayu (yang jadi cikal-bakal bahasa Indonesia) dan beberapa karya sastra pun menyebut kota itu dengan Betawi.
Sebutan Batavia sebagai nama kota hanya bertahan sampai 1942 saja. Setelah Hindia Belanda dikalahkan dengan mudah oleh pemerintah militer Jepang, nama kota pun diubah menjadi Jakarta. Kala itu dieja: Djakarta, kependekan dari kata Jayakarta.
Di masa pendudukan Jepang, nama Jakarta kian populer. Setidaknya di area lapangan Monas saat ini berada, dulu terdapat sebuah lapangan bernama Lapangan Ikada, yang merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Dalam teks proklamasi, tempat perumusan naskah seperti tertera dalam teks adalah: Djakarta.
Ketika itu Jepang berusaha membuang segala hal berbau Belanda dan menggantikannya dengan istilah Indonesia atau Jepang. Menurut Lasmijah Hardi dalam Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita (1987), pergantian nama itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Jakarta menjadi daerah istimewa dengan nama Jakarta Tokubetsu Shi.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap dipakai orang Indonesia. Pelan-pelan orang-orang pro Belanda dalam panji-panji Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), berusaha menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Kerajaan Belanda lagi.
Setelah membuat Jakarta tidak aman bagi pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri, NICA dan militer Belanda yang pelan-pelan memperkuat diri akhirnya menguasai Jakarta sebagai daerah pendudukan mereka. Kota itu tak ingin mereka sebut Jakarta, tapi Batavia. Seperti sebelum Jepang datang. Mereka menguasai kota itu setidaknya hingga akhir Desember 1949.
Ketika itu, Arnold tidak muda lagi. Dia sudah puluhan tahun menjadi tokoh pergerakan di sekitar Jawa dan Sulawesi Utara. Setelah 1946, ketika Negara Indonesia Timur (NIT) didirikan dengan sponsor Belanda, Arnold ambil bagian sebagai parlemen negara boneka itu. Namun, dia bukan anggota parlemen yang pro-Belanda. Pada 30 Desember 1947, dia mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makassar, yang jadi ibu kota NIT.
Di mata Ahmad Syafii Maarif, dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), Arnold Mononutu adalah sosok unik. Dia Kristen tapi bukan bagian dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Dia adalah kader Partai Nasional Indonesia. Dalam kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS), Arnold menjadi menteri penerangan hingga 1950.
Agar tak ada lagi yang menyebut lagi Jakarta sebagai Batavia seperti sebelum penyerahan kedaulatan, maka pada 30 Desember 1949 atas nama Pemerintah Indonesia, selaku Menteri Penerangan, Arnold Mononutu mengumumkan pergantian nama Batavia menjadi Jakarta.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani