tirto.id - Pemerintah Arab Saudi terus mengebut pembangunan The Line, permukiman dengan konsep kota cerdas yang dirilis pada 2021. Fase pertama proyek yang diklaim sebagai "revolusi peradaban" itu ditargetkan selesai pada 2030.
Perusahaan arsitektur asal Amerika Serikat, Morphosis, berada di balik desain The Line yang minimalis dan futuristik. Kawasan ini digadang-gadang menjadi kompleks permukiman terbesar di dunia dengan daya tampung mencapai 9 juta penduduk.
Pembangunannya melibatkan 60 ribu pekerja, 260 ekskavator, dan 2 ribu truk yang beroperasi selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Lebih dari 2 juta meter kubik tanah dipindahkan per minggu dari lokasi pembangunan yang terletak di Provinsi Tabuk.
Bangunan yang dari jauh tampak seperti dua garis kongruen itu melintang di barat laut Arab Saudi. Panjangnya 170 kilometer, lebar 200 meter, dan tinggi 500 meter; lebih tinggi dari Menara Eiffel dan Empire State Building. Bagian dalamnya terbagi menjadi 140 modul, masing-masing memiliki panjang 800 meter.
Pihak pengembang mengklaim The Line hanya mengandalkan energi terbarukan dan akan dilengkapi berbagai fasilitas yang didukung Artificial Intelligence (AI).
Kecanggihan teknologi menjadi urat nadi fasilitas di dalamnya, yang terlihat dari keberadaan robot-robot pelayan, kereta cepat, taksi terbang, air terjun dan bulan artifisial, bahkan rekayasa iklim yang memungkinkannya memiliki fasilitas ski luar ruangan.
Dalam video yang tayang perdana pada 11 Januari 2021, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) menyatakan penghuni The Line hanya membutuhkan lima menit menuju taman, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas penunjang lainnya. Perjalanan dari ujung ke ujung bisa ditempuh menggunakan kereta cepat dengan waktu tempuh hanya 20 menit.
Megaproyek Ambisius
The Line yang berada di bawah proyek induk bernama NEOM, adalah bagian dari Visi 2030, sebuah program pembaruan Arab Saudi yang bertujuan mendiversifikasi ekonomi kerajaan tersebut yang selama ini sangat bergantung pada cadangan minyak.
Anggaran pembangunan berasal dari Pemerintah Saudi, Saudi Arabian Public Investment Fund (PIF, lembaga keuangan yang diketuai MBS), juga investor lokal dan internasional. Jika proses pembangunan selesai, NEOM akan menjadi saingan berat Uni Emirat Arab yang lebih dulu mengembangkan Dubai dan Abu Dhabi sebagai pusat bisnis dan wisata.
NEOM pertama kali diperkenalkan pada 2017. Megaproyek ini berdiri di atas lahan seluas 26.500 kilometer persegi. Dengan nilai investasi mencapai US$500 miliar dolar, NEOM ditargetkan mampu membuka 380 ribu lapangan kerja dan mendatangkan 100 juta wisatawan setiap tahun pada akhir dasawarsa ini.
Di samping The Line yang didesain sebagai kawasan hunian dan kantor, Pemerintah Arab Saudi juga membangun Oxagon, sebuah kota industri terapung yang dibangun di atas Laut Merah. Selain memiliki pelabuhan, kota ini direncanakan menjadi pusat industri manufaktur.
Proyek lain yang juga masih dalam tahap pembangunan adalah Trojena, destinasi wisata pergunungan yang menggabungkan daya tarik alam, arsitektur, dan teknologi. Terakhir adalah Sindalah, pulau di lepas pantai Arab Saudi yang merupakan destinasi wisata kapal layar.
Meski bukan yang pertama, dilihat dari nilai investasi dan daya tampungnya, NEOM adalah megaproyek terbesar dan paling ambisius.
Pada 2004, Korea Selatan lebih dulu memulai pembangunan kota cerdas di Songdo, yang terletak 40 mil sebelah barat Seoul. Kota itu dilengkapi sensor yang dapat mengukur kepadatan lalu lintas, tingkat polusi, kapasitas jaringan pembuangan limbah, bahkan keberadaan orang-orang yang dinilai mencurigakan.
Barcelona (2011) dan Singapura (2014) menyusul dengan melengkapi wilayah mereka dengan berbagai fasilitas berteknologi canggih, seperti sensor yang dapat memantau penggunaan energi, kualitas udara, dan tempat parkir.
Proyek kota cerdas tidak melulu tentang cerita sukses. Pembangunan pelabuhan dan menara Nakheel di Dubai yang diperkirakan menelan biaya US$38 miliar dibatalkan enam tahun setelah diusulkan pada 2003 karena merosotnya perekonomian dunia.
Kangbashi yang dibangun di Mongolia dengan biaya US$1 miliar dan ditargetkan menampung 1 juta penduduk hanya dihuni 10 persen dari jumlah tersebut. Nasib yang sama menimpa proyek mahal di Tianjin, Tiongkok, dan Naypyidaw, Myanmar.
Kritik dan Kontroversi
Menurut MBS, untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, Arab Saudi perlu melipatgandakan populasinya. Megaproyek NEOM yang ditargetkan membuka 380 ribu lapangan kerja adalah langkah awal sekaligus strategi untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduknya.
Putra ketujuh Raja Salman bin Abdul Aziz itu memperkirakan pada 2030, populasi di negaranya akan mencapai 50 juta jiwa, meningkat 15 juta jiwa dari populasi tahun ini yang berada di angka 35 juta jiwa. Yang menarik, setengahnya diperkirakan merupakan warga negara asing.
Sejumlah kritik mengemuka seiring pembangunan The Line yang terus berjalan. Sebagian ahli mengkritik kelayakan teknologi yang akan digunakan, sebagian lain menengarai The Line adalah cara Pemerintah Arab Saudi menciptakan distopia, tempat penguasa tiran melahirkan penderitaan dan ketidakadilan pada masyarakat.
Kapasitas penduduk yang rencananya mencapai 9 juta jiwa juga berarti permukiman raksasa itu memiliki kepadatan hingga 265.000 orang per kilometer persegi. Angka ini sama dengan 10 kali lebih padat dibanding Manhattan dan 4 kali lebih padat dari Manila, yang disebut-sebut kota terpadat di dunia saat ini.
Meski Pemerintah Arab Saudi mengklaim bahwa "perlindungan, pelestarian, dan regenerasi merupakan inti dari NEOM", beberapa pihak meragukan komitmen mereka dalam isu seputar hak asasi manusia.
Robert F. Worth menulis artikel di The New York Times Magazine berjudul "The Dark Reality Behind Saudi Arabia’s Utopian Dreams" dan mengungkapkan bahwa "sudah ada ribuan orang yang hidup selaras dengan alam di wilayah yang sama: komunitas suku yang telah ada selama berabad-abad dan kini digusur oleh proyek ini."
Senada dengan Worth, The Guardian melaporkan bahwa NEOM sebagian dibangun di atas tanah Suku Huwaitat. Salah satu anggota suku itu, Abdul Rahim al-Huwaiti, yang pernah menyatakan dalam video bahwa dirinya akan diusir, tewas tertembak pasukan keamanan Arab Saudi setelah terlebih dulu, menurut versi pemerintah, memulai kontak senjata.
Organisasi nirlaba ALQST juga mengungkapkan bahwa tiga orang telah dihukum mati setelah menolak pindah dari lokasi pembangunan NEOM. Banyaknya kritik terhadap cara Pemerintah Arab Saudi membebaskan lahan untuk NEOM bahkan memaksa Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyalakan tanda bahaya.
Kontroversi lain muncul seiring rencana pengelola The Line yang akan mengumpulkan dan mengolah data personal milik 9 juta penghuninya, yang diambil dari gawai dan rumah mereka, juga melalui pemindai wajah.
Data tersebut akan digunakan oleh AI untuk memetakan, memprediksi, dan memberikan layanan terhadap kebutuhan listrik, air, pembuangan limbah, transportasi, layanan kesehatan, dan keamanan mereka. Pengelola menjanjikan imbalan untuk setiap data yang digunakan.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Arab Saudi, penghuni NEOM akan mendapatkan sejumlah keuntungan atas data pribadi yang mereka berikan dibanding penghuni lain yang tidak mau membukanya.
Penggunaan data yang demikian masif menimbulkan kekhawatiran. Vincent Mosco, Profesor Sosiologi di Universitas Queen’s di Kanada dan penulis The Digital Sublime (2004) mengatakan kekhawatiran tersebut sangat masuk akal. Dan pada dasarnya, The Line memang akan menjadi kota yang penuh pengawasan.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi