tirto.id - Christmas Island atau Pulau Natal terletak sekitar 400 kilometer di selatan Pulau Jawa. Luasnya hanya 135 kilometer persegi.
Tahun 1891, bangsawan Inggris John Murray dan George Clunies-Ross mendatangi pulau ini untuk memperolah kekayaan alamnya berupa fosfat. Pulau Natal dikuasai Kerajaan Inggris yang dikendalikan lewat Singapura. Setelah itu dan bertahan sampai sekarang, pulau ini di bawah kekuasaan Australia.
Hal ini terasa aneh, demikian yang tersirat dalam studi yang dilakukan William Foster, "The Discovery of Christmas Island" (The Geographical Journal, Vol. 37 1911). Pasalnya, berjarak cukup dekat dengan Jawa sebagai salah satu pusat peradaban Asia Tenggara saat pulau ini ditemukan, Pulau Natal lebih pas dimiliki Belanda sebagai kekuataan Barat yang kala itu menguasai Jawa dan hampir seluruh Nusantara.
Di luar hal itu, Pulau Natal ditemukan pada Desember 1643. Kala itu, dalam perjalanan pulang ke Inggris, kapal Royal Mary yang dinakhodai Kapten William Minors (atau Mynors) yang berlayar dari Batavia (Jakarta) pada 9 Desember tertahan di Selat Sunda akibat cuaca buruk.
Setelah terombang-ambing di lautan selama berhari-hari, tepat di hari Natal kapal berada di samping pulau tersebut. Dalam laporan yang dikirimkan Kapten Minors pada East India Company (EIC) lima bulan kemudian, tepatnya pada 20 Mei 1644, ia mengklaim “menemukan pulau baru.” Alasannya, terang Kapten Minors, “saya tidak menemukan [catatan/dokumen] berupa nama pulau ini baik dalam bahasa Inggris, Belanda, ataupun Portugal.”
Menurutnya, ia dan rombongan sempat tinggal selama dua hari di pulau tersebut. Alasannya banyak anak buahnya yang sakit dan butuh istirahat. Namun, Kapten Minors tak memberikan nama pada pulau itu seakan takut bahwa pulau yang diyakini ditemukannya telah ditemukan terlebih dulu oleh orang atau bangsa lain.
Penamaan pulau, yakni Christmas Island atau Pulau Natal, baru diberikan berbulan-bulan kemudian via laporan lain. Bukan oleh Kapten Minors, tetapi tulis William Foster, “oleh pihak lain yang tidak diketahui namanya.”
Dalam laporan itu disebutkan bahwa pada tanggal 24-25 Desember 1643, awak kapal melihat bantalan tanah (pulau), tinggal di sana sekitar tujuh hari, dan karena pulau tersebut ditemukan pada hari natal, maka mereka menyebutnya sebagai Pulau Natal.
Di sisi lain, dalam perjalanan kedua yang dilakukan Kapten Minors melintasi pulau tersebut pada 1646, salah satu penumpang bernama Ralph Cartwright, menyatakan bahwa pulau tersebut bernama Nativity, bukan Christmas Island.
Jika hanya merujuk pada kisah Kapten Minors, keanehan Pulau Natal yang dimiliki Inggris dan kemudian dihibahkan pada Australia akan sirna. Namun, sebagaimana dituturkan Jan Tent dalam "The Ghosts of Christmas (Island) Past" (Terrae Incognitae, 2016), Kapten Minors bukan satu-satunya pelaut yang merasa menemukan Pulau Natal.
Berjarak 45 tahun kemudian, pelaut Inggris lain bernama William Dampier pun mengklaim menemukan pulau itu dan menyebutnya sebagai Pulau Kecil Berkayu. Suatu ketidaktahuan Dampier yang bersumber pada kenyataan bahwa “Pulau Natal” baru diketahui khalayak umum di seluruh dunia pada 1868 atau 28 tahun sebelum John Murray dan George Clunies-Ross menganeksasi pulau ini.
Dalam studi lain, yakni "Account of Christmas Island" yang ditulis W. J. L. Wharton pada 1888, disebutkan bahwa tak ada catatan apapun soal Pulau Natal dalam arsip EIC ataupun Kerajaan Inggris hingga tahun 1771.
Yang membuat klaim penemuan oleh Kapten Minors ataupun pelaut Inggris lainnya bisa dipatahkan adalah bahwa Pulau Natal sebetulnya telah diketahui Belanda lebih dulu. Tentu namanya bukan Pulau Natal, tetapi Pulau Monij atau Pulau Moni, yang tersurat dalam peta buatan Belanda bertarikh 1618.
Meskipun diketahui Belanda jauh sebelum klaim Kapten Minors digaungkan, Belanda baru menjelajahi pulau ini secara resmi pada 1697 melalui pelautnya bernama Willem de Vlamingh, yang mampir sebentar ke pulau tersebut dalam pelayarannya dari pantai barat Australia menuju Batavia.
Dalam kesempatan ini, Vlamingh membawa oleh-oleh berupa kayu yang kemudian dikirim ke Amsterdam untuk dianalisis. Dalam catatan Belanda lain, pulau ini kadang disebut sebagai Pulau Selam.
Kembali merujuk penuturan Jan Tent, penamaan Monij atau Moni atau Selam kemungkinan besar paling tepat untuk merujuk pada Pulau Natal (nama yang saat ini dikenal).
Musababnya, Moni atau Selam merupakan nama lokal, yang kemungkinan besar berasal dari istilah lokal dalam bahasa Melayu, Sunda, Sumatra, Jawa, atau diserap dalam bahasa asing yang kala itu sempat atau masih berkuasa di Nusantara, seperti Portugis, Belanda, Arab, dan Sansakerta.
Di pedalaman Pulau Flores dan Papua Barat, lazim ditemukan desa bernama “Moni”. Selain itu, setidaknya ditemukan empat desa di Nusa Tenggara Timur dan Yogyakarta bernama “Muni”. Sementara dalam teologi Hindu dan Buddha, terkandung kata "Muni” yang berarti “diam”.
Kemungkinan besar, menurut studi yang dilakukan Tent, masuknya Pulau Natal dalam peta buatan Belanda sejak 1619 dengan menggunakan nama Pulau Monij atau Pulau Moni bersumber dari pengetahuan lokal masyarakat Nusantara.
Terlambatnya Belanda mengunjungi pulau ini secara langsung, merujuk penuturan Csilla Ariese dalam "Investigation of Possible 18th Century Dutch Shipwreck on Christmas Island" (2011), terjadi karena Belanda tak melihat potensi ekonomi dan geopolitik dari pulau ini. Pemikiran yang jelas keliru karena John Murray dan George Clunies-Ross dari Inggris justru menemukan kandungan fosfat yang melimpah.
Meskipun dimasukkan ke dalam Een Nieuwe Atlas Van Nederlandsch-Indie atau Atlas Terbaru Hindia Belanda edisi 1866 alias secara de jure dianggap Belanda sebagai bagian dari Hindia Belanda, pulau ini telah melayang ke tangan Inggris tanpa perlawanan. Itulah harga yang harus dibayar Belanda akibat keliru menaksir potensi.
Editor: Irfan Teguh Pribadi