tirto.id - Setelah berhasil menginjakkan kakinya di Maluku pada abad ke-16, Belanda kemudian membentuk Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di awal abad ke-17.
Diberi hak memonopoli perdagangan dan berdaulat di luar Tanjung Harapan dan Selat Magellan dari Staten-Generaal, VOC betugas membeli serta mengimpor produk-produk dari Asia bagi kebutuhan Eropa. Hal ini diwujudkan oleh enam "chamber" atau "kantor" yang terletak di Amsterdam, Middelburg (Zeeland), Rotterdam, Delft, Enkhuizen, dan Hoorn.
Meskipun kantor-kantor tersebut berstatus otonom, terdapat direktorat pusat yang dalam Heeren XVII atau Gentlemen Seventeen sebagai pemangku kebijakan utama.
Karena VOC berhasil menguasai Nusantara, kepemimpinannya diwujudkan dalam bentuk gubernur jenderal sebagai pemerintah tertinggi VOC yang berkedudukan di Batavia.
Melalui enam kantor dan Heren XVII serta gubernur jenderal--selain menentukan produk seperti apa yang mesti dibawa ke Eropa--rute perjalanan dari dan menuju Hindia Belanda (serta Asia secara umum) dan moda transportasi yang digunakan pun ditentukan.
Lewat aturan bernama Generale Lijst yang dipatenkan pada 1747, senurut W. F. J. Morzer Bruyns dalam "Navigation on Dutch East India Company Ships" (The Mariner's Mirror, Vol. 78 1992):
"tak seperti pelaut-pelaut Inggris yang diberi kebebasan memilih kapal seperti apa yang mereka kehendaki, pelaut-pelaut Belanda diwajibkan mengikuti instruksi yang telah diberikan tentang moda transportasi yang harus mereka bawa, yakni kapal berspesifikasi kaku."
Sebagai contoh, karena dianggap terlalu mahal dan tak cocok, Generale Lijst melarang pelaut Belanda menggunakan kapal berselubung tembaga. Juga, hanya kapal bergeladak satu atau dua yang diizinkan, tidak bergeladak tiga seperti kapal-kapal Inggris.
Mula pelayaran dari Belanda ke Hindia Belanda yang ditentukan oleh Heren XVII dan gubernur jenderal harus dilaksanakan secara berkelompok dalam tiga waktu berbeda: "Kermis vloot" yang berangkat pada November, "Kerst vloot" berangkat sekitar tahun baru, dan "Pasen vloot" yang berangkat di awal musim semi untuk tiba di Batavia, pusat atau "hub" perdagangan Belanda di Asia.
Seturut Robert Parthesius dalam buku Dutch Ships in Tropical Waters (2010), ditetapkannya tiga waktu keberangkatan tersebut karena Belanda tak hanya bekerja mengeruk keuntungan dari Hindia Belanda, tetapi juga dari banyak wilayah di Asia.
"Jika uang dan kargo dari Belanda yang ditujukan ke Cina dan Jepang tak sampai di sini (Batavia) pada Mei (untuk membeli/membarter komoditas di wilayah lain di Asia), maka komoditas untuk Coromandel dan Persia tak bisa dibeli kala masa panen tiba. Kedatangan kapal yang tertunda berarti tidak ada gunanya bagi kami (di Batavia). Kapal menjadi harus bersandar bersama kami setahun lamanya," tulis Gubernur Jenderal Hendrick Brouwer dalam suratnya kepada petinggi VOC di Belanda.
Karena ketepatan waktu sangat krusial, para pelaut Belanda tak bisa serampangan berlayar. Dirancang Petrus Plancius, tiga generasi keluarga Blaeu, Isaac de Graaf, dan keluarga van Kaulen, para pelaut Belanda harus mengikuti rute saklek yang tak bisa ditawar dalam bentuk kartografi/peta bagan--lengkap dengan informasi hidrografi--untuk pergi menuju dan dari Hindia Belanda.
Kembali merujuk paparan Bruyns, kartografi itu mewajibkan rombongan pelayaran yang berangkat dari pelbagai pelabuhan di Belanda berkumpul di lepas pantai Zeeland.
Dari sana, secara bersama-sama, perjalanan harus melewati Selat Inggris. Namun, jika situasi politik Belanda-Inggris tak memungkinkan atau ditemukan potensi ancaman perompak di Dunkirk, maka mereka diharuskan memutar arah menuju Atlantik, sisi utara Skotlandia.
Lepas dari Selat Inggris/Skotlandia, mereka tak diizinkan bersandar di manapun sebelum Tanjung Harapan, kecuali dalam keadaan darurat. Sebelum Tanjung Harapan, terdapat ketentuan kaku tentang berapa mil kapal harus berjarak dari Finisterre, Medeira, Canary, dan Kepulauan Tanjung Verdian.
Sesampainya di Tanjung Harapan, kapal diwajibkan sesegera mungkin berlayar ke selatan, mengikuti garis lintang 35 atau 40 derajat dengan instruksi untuk mendekati dan melintasi khatulistiwa di dalam area yang ditandai dalam peta dengan garis dan diberi nama "wegeweg" atau "jalur kereta".
Di area ini, kapal harus berhasil berlayar di tengahnya, atau paling tidak berada di sisi barat area. Jika tak bisa berada di tengah/sisi barat, maka kapal berisiko terjebak di Arus Guinea hingga dapat membawa mereka ke Teluk Guinea yang memiliki angin selatan super kuat yang dapat mencegah mereka berlayar ke selatan, ke Hindia.
Selain itu, kapal juga berisiko terbawa Arus Khatulistiwa Selatan dan Arus Karibia yang dapat memaksa sebuah kapal masuk ke Karibia dan berakhir di Suriname. Karena krusial, area ini diberi pegangan khusus bernama bagan isogonik.
Lepas dari Tanjung Harapan dan "wegeweg" sejauh 800 mil, para pelaut Belanda seharusnya sudah dapat melihat Pulau St. Paul di sekitar 37 derajat garis lintang selatan sebagai patokan untuk berlayar ke arah timur, ke arah Selat Sunda untuk sampai di Batavia. Jika Pulau St. Paul tak terlihat, maka pelaut dianggap sial. Mereka harus menerima takdir buruk, umumnya karam di lepas pantai Australia.
Setibanya di Batavia, dengan rata-rata 33 kapal yang datang saban tahunnya, sebagian besar langsung berangkat lagi ke Belanda dengan terlebih dahulu diisi muatan pelbagai komoditas.
Sebagian kecil kapal dimanfaatkan untuk melayani rute "dalam Hindia dan Asia", yakni menuju Ambon serta beberapa pelabuhan di Jawa, Bali, dan Makasar. Juga menuju Goa (India), Iran, dan pelabuhan-pelabuhan di Jazirah Arab. Menuju Malaka, Siam/Bangkok dan pelbagai pelabuhan di Jepang dan Cina.
Dari rute-rute tersebut, kapal diwajibkan kembali ke Batavia alias dilarang langsung pulang ke Belanda.
Merujuk data yang dipaparkan Peter M. Solar dalam "Why were Dutch East Indiamen so Slow?" (The International Journal of Maritime History, Vol. 29 2017), pelayaran dari pelbagai pelabuhan di Belanda menuju Batavia membutuhkan waktu 253 hari di awal-awal sejarah hidup Kompeni, lalu membaik menjadi 238 hari di akhir abad ke-18.
Durasi perjalanan ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, kapal-kapal Inggris milik East India Company (EIC) berlayar lebih cepat. Mereka hanya membutuhkan waktu 173 hari untuk sampai ke Batavia dari pelbagai pelabuhan di Inggris.
Lambannya kapal-kapal Belanda, sebut Solar, terjadi karena Belanda tak melakukan inovasi terhadap armadanya. Juga dipengaruhi oleh kewajiban saklek yang harus mengikuti instruksi yang diberikan enam kantor (dan Heren XVII) serta gubernur jenderal.
Sebagai contoh, pelarangan menggunakan selubung tembaga justru membuat kapal-kapal Belanda mudah rusak dan berlayar lebih lambat.
Karena tidak diizinkan bersandar dari Zeeland hingga Tanjung Harapan, para pelaut Belanda menghabiskan waktu terlalu lama di Tanjung Harapan untuk beristirahat. Lalu, karena memusatkan pelayarannya di Batavia, ada tambahan waktu berpuluh-puluh hari bagi kapal yang ditugaskan menuju berbagai wilayah "dalam Hindia dan Asia" kembali ke Belanda.
Setelah Belanda tak mampu membendung pelbagai kekuatan Barat memasuki perairan Asia yang dikuasainya pada akhir abad ke-17, monopoli perdagangan barang-barang Asia untuk Eropa yang digenggam Belanda akhirnya berakhir pada abad ke-18 gara-gara kapal mereka berlayar lebih lambat.
Akhirnya Belanda hanya berhasil mempertahankan kekuasaan monopolistiknya di Hindia Belanda, bukan Asia secara keseluruhan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi