Menuju konten utama

Ogah Keluar dari Bisnis Teh yang Merugi, VOC Gali Kubur Sendiri

Hingga akhir abad ke-17, VOC sukses jadi pemain utama bisnis teh dunia. Tersungkur gara-gara enggan keluar dari bisnis yang merugi.

Ogah Keluar dari Bisnis Teh yang Merugi, VOC Gali Kubur Sendiri
Header Mozaik Cha. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Pada zaman dahulu kala, seorang Kaisar Cina bernama Shennong tengah merebus air di bawah pohon. Kebetulan, pohon yang dijadikan sandaran sang kaisar merupakan pohon teh dan, bak telah ditakdirkan langit, daun dari pohon tersebut jatuh ke dalam air yang tengah dipanaskan sang Kaisar. Seketika, air teh lahir ke dunia," buka George van Driem dalam bukunya The Tale of Tea (2019).

Peristiwa itu dikisahkan terjadi antara 2737 hingga 2698 SM. Kaisar Shennong—dan Cina secara umum—kemudian diyakini sebagian kalangan sebagai pencipta teh. Namun, Shennong sendiri tak pernah menyebut apalagi mengklaim teh sebagai temuannya dalam karya farmakopenya yang masyhur Herb and Root Classic.

Bahkan, secara lebih umum, sedari Shennong hidup hingga Dinasti Han berakhir, tidak ada ideogram atau kata dalam bahasa Cina yang berasosiasi dengan teh.

Teh sebagai kata atau ideogram baru hadir belakangan, yakni dalam kata cha yang termaktub dalam naskah Chajing karangan Lu Yu, seorang intelektual Cina yang hidup pada 733 hingga 804 M.

Baru pada abad ke-8, "teh" mengemuka sebagai salah satu perbendaharaan ideogram bahasa Cina. Lantaran sebab-sebab itulah, pendapat bahwa teh pertama lahir di Cina atau dibuat oleh orang Cina tertolak.

Pikir van Driem, dengan merujuk penelusuran yang dilakukan ahli botani asal Belanda Pieter Cohen Stuart yang mengidentifikasi teh sebagai Camellia theifera, teh muncul di muka Bumi untuk pertama kalinya, "Di pedalaman Indocina dan Burma (Myanmar), yang terus memanjang sepanjang Pegunungan Tibet atau Himalaya hingga ke Yunnan [...] Kira-kira, teh kemungkinan muncul di antara 20 hingga 30 derajat lintang utara wilayah tersebut [...] Muncul di tempat di mana padi, pisang, talas, dan buah-buahan masam lahir."

Pendapat itu menyebut toponimi Yunnan dan ia kini merupakan bagian dari negara Cina. Namun, Yunnan di masa yang disebut van Driem belumlah menjadi bagian dari Cina.

Belanda dan Teh

Berbeda dengan kisah Kaisar Shennong, teh tak langsung muncul dalam kehidupan manusia sebagai minuman. Teh mulanya tak berbeda jauh dengan permen karet, muncul untuk dikunyah.

Dalam laporan pelaut-pelaut Belanda yang sempat menguasai Myanmar sejak 1634 hingga 1680, teh disebut lazim dikonsumsi sebagai salad atau sup oleh masyarakat setempat. Pelaut-pelaut Belanda tersebut pun kepincut menikmati teh dengan cara serupa—dengan dibumbui minyak dan cuka yang dipercaya berkhasiat baik untuk tubuh, terutama bagi pelaut.

Kembali merujuk paparan van Driem, transformasi teh dari makanan menjadi minuman justru tak dilakukan oleh pribumi di mana teh berasal, melainkan oleh bangsa asing, yakni Belanda.

"Sejak awal, praktik meminum teh alih-alih memakan daun teh adalah metode utama mengonsumsi teh di kalangan orang-orang Belanda," tulis van Driem.

Justru orang-orang pribumilah yang meniru cara orang Belanda minum teh. Kala Belanda minggat dari Myanmar, "Orang-orang Inggris melihat kalangan pribumi telah terbiasa mengkonsumsi teh sebagai minuman," cetus van Driem.

Seperti halnya pendapat pertama, pendapat bahwa Belanda menjadi bangsa pertama yang mengkonsumsi teh sebagai minuman bukanlah kebenaran mutlak. Pasalnya, jauh sebelum Belanda memodifikasi cara mengonsumsi teh, masyarakat Jepang telah lebih dulu menikmati teh dalam bentuk minuman.

Bedanya, Belanda meminum teh dengan cara menginfus atau merendam daun teh dalam air dingin, mirip seperti cold brew atau kombucha. Sementara itu, orang Jepang membuat minuman teh dengan cara menyeduhnya dalam air panas. Menurut van Driem, teknik itu "mengejutkan bagi bangsa Barat."

Entah bangsa mana yang patut diberi titel sebagai pelopor teh sebagai minuman, yang pasti Belanda merupakan bangsa Barat pertama yang terpapar teh.

Merujuk studi yang dipaparkan Chris Nierstrasz dalam bukunya Rivalry for Trade in Tea and Textiles (2015), Belanda pula melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) jadi bangsa pertama yang membawa teh ke balahan Bumi utara.

Kompeni membawa teh dari Cina untuk diperjual-belikan di pasar Eropa. Cina sendiri kemudian berhasil membudidayakan teh dalam skala besar. Menurut Glenn T. Trewartha dalam “The Tea Crop” (terbit dalam The Journal of Geography, Vol. 28, 1923), kunci keberhasilan Cina adalah, "Tersedianya buruh murah dalam volume melimpah."

Namun karena Cina menutup diri untuk bekerja sama dengan bangsa Barat hingga 1685, Kompeni memperoleh teh itu secara tak langsung.

Teh dari Cina diperoleh melalui skema barter komoditas via pedagang-pedagang Cina yang datang ke Hindia Belanda. Cina datang untuk mencari lada dan produk tropis lain, seperti pala, cengkeh, cendana, tanduk kerbau, gading gajah, kemenyan, sarang burung walet, tripang, dan berbagai obat-obatan. Komoditas itulah yang kemudian ditukar dengan teh.

Meski untungnya tak sesignifikan bisnis rempah-rempah, bisnis teh tetap menghasilkan pundi-pundi yang cukup berarti bagi Kompeni.

Memonopoli Bisnis Teh Dunia

Pada abad ke-17, Kompeni bisa mengimpor puluhan ton teh ke pasar Eropa via 14 kapalnya. Kompeni mematok harga 60 shilling untuk satu pon (450 gram) teh di pasar London. Di zaman itu, harga itu setara dengan dua bulan gaji buruh di London.

Tergiur oleh tingginya keuntungan itu, Inggris via East India Company (EIC) pun kepincut untuk terjun pula ke bisnis teh. Selain itu, para penguasa Inggris juga jatuh hati pada teh usai diberi hadiah daun teh oleh pedagang Belanda pada 1664.

Di tahun-tahun awal menggeluti bisnis teh, EIC tak bisa bersaing dengan Kompeni lantaran sama-sama mengandalkan Cina sebagai sumbernya. Seperti halnya Kompeni, EIC pun hanya dapat berbisnis secara tak langsung. Terlebih, EIC tak memiliki wilayah koloni seperti Hindia Belanda yang strategis secara geografis.

EIC memperoleh teh via pedagang Cina yang singgah di Madras, India. Jika dibandingkan dengan Hindia Belanda, Madras jelas lebih jauh dari negeri Cina. Akibatnya, teh yang diperoleh EIC jadi lebih mahal dan tidak sesegar yang diperoleh Kompeni.

Kembali merujuk paparan Nierstrasz, akibat peruntungan yang berbeda tersebut, Belanda via Kompeni dapat disebut memonopoli perdagangan teh hingga akhir abad ke-17. Kompeni dapat menentukan besar-kecil harga teh di pasaran Eropa.

Bahkan, merujuk studi yang dilakukan Benjamin L. Carp berjudul “Did Dutch Smugglers Provoke the Boston Tea Party” (terbit dalam Early American Study, Vol. 10, 2012), Belanda pun menjadi salah satu pihak utama yang memercik terjadinya Boston Tea Party yang mencoba menghancurkan bisnis teh Inggris secara keseluruhan.

Infografik Mozaik Cha

Infografik Mozaik Cha. tirto.id/Ecun

Nahas, bisnis teh Belanda perlahan kocar-kacir kala Cina akhirnya membuka diri terhadap bangsa Barat. Menurut Brian Goodman dalam “The Dutch East India Company and the Tea Trade” (terbit dalam Emory Endeavors in World History, 2010), kemunduran itu terjadi lantaran Kompeni tak mau bekerja sama langsung dengan Cina. Sementara itu, EIC menjadi satu-satunya pihak yang memiliki kerja sama eksklusif dengan Cina.

Ada satu alasan mengapa Kompeni atau Belanda ogah bekerja sama langsung dengan Cina. Goodman menulis, "Sejak didirikan pada 1602 dengan modal awal sebesar 6,5 juta gulden (sepuluh kali lipat modal awal EIC), Kompeni menjunjung tinggi konsep 'tiada perdagangan tanpa perang, dan tidak ada perang tanpa perdagangan'," tulis Goodman.

Dan, konsep tersebut, "Dipraktekkan sangat apik dengan, pertama-tama, keberhasilan Kompeni menguasai Sulawesi pasca menyerang Portugis pada 1631, Belanda ogah berdagang langsung dengan Cina jika mereka tak dapat menguasai Cina secara keseluruhan," lanjut Goddman.

Atas dasar inilah, posisi Belanda sebagai pemain utama bisnis teh global lalu digusur Inggris. Per 1718, EIC mengimpor lebih dari 2.000 juta pon teh ke pasar Eropa, melangkahi jumlah teh yang diimpor Kompeni.

Bangkrut gara-gara Teh

Tak mau kalah dari EIC, Kompeni pun melancarkan strategi baru. Alih-alih memperoleh teh dari pedagang Cina yang mampir ke Hindia Belanda, Kompeni lantas berusaha memperoleh teh dari Kanton dan Taiwan—sebuah strategi yang mereka sebut "semi-direct".

Sayangnya, transaksi teh dari dua pelabuhan tersebut diselimuti administrasi berbelit, yakni harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Akibatnya, kala teh berhasil diperoleh, teh keburu busuk saat dikapalkan ke Eropa.

Bisnis teh Belanda makin remuk lagi kala penguasaannya atas dua pelabuhan tersebut direbut oleh bajak laut Cina, Koxinga. Akibatnya, Kompeni harus kembali berbisnis teh secara tak langsung via Hindia Belanda.

Uniknya, meskipun hanya menyumbang 14 persen dari total volume perdagangannya, Kompeni kukuh tak mau keluar dari bisnis teh. Walhasil, seperti ditegaskan Goodman, merugilah Kompeni.

Bahkan, Goodman berpendapat bahwa keengganan Kompeni cabut dari bisnis teh inilah yang menjadi faktor utama kebangkrutannya. Boleh jadi, ia lebih krusial ketimbang korupsi yang diyakini banyak sejarawan sebagai biang kehancuran Kompeni.

“Ini terjadi karena, andai bisnis teh ditinggalkan, seberapa parah pun korupsi yang merajalela dalam tubuhnya, Kompeni mungkin masih dapat berdiri. Sederhana penjelasannya, korupsi umumnya menggerogoti keuntungan semata," tulis Goodman.

Baca juga artikel terkait VOC atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi