tirto.id - Tepat di Hari Valentine tahun 1945, atau 13 tahun setelah kelahiran Arab Saudi, Abdul Aziz bin Saud bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, di kapal induk USS Quincy yang tengah bersandar di Terusan Suez.
Sebagaimana dituturkan Jim Bishop dalam FDR’s Last Year (1974), dalam pertemuan yang dijuluki "bincang-bincang antar dua pesakitan berkursi roda"—keduanya saat itu telah berusia tua dan tak begitu sehat—proposal rencana pembangunan negara Yahudi di tanah Arab (Palestina) jadi tema perbincangan utama.
Dengan penuh penghormatan, tulis Bishop, Abdul Aziz menolak proposal itu. Menurutnya, setelah Perang Dunia II berakhir, orang-orang Yahudi seharusnya kembali ke tempat mereka berasal, bukan dikirim ke Palestina.
Abdul Aziz menambahkan, orang-orang Yahudi memiliki kebudayaan berbeda dengan dunia Arab, yang sangat mungkin menjadi pemercik permusuhan di antara keduanya jika negara Yahudi, Israel, di Jazirah Arab terwujud.
Roosevelt yang awalnya ngotot mendukung proposal pembentukan Israel, kemudian melunak dan berjanji bahwa Amerika Serikat di bawah komandonya akan abstain soal proposal tersebut.
"Hanya dengan berbincang soal hubungan Arab-Yahudi dalam lima menit bersama Raja, saya lebih paham situasi ini,” ujar Roosevelt seperti dikutip Bishop.
Namun tak lama setelah pertemuan itu, Roosevelt meninggal dunia. Janjinya tentang Amerika Serikat yang akan bersikap abstain soal Israel, dianulir penerusnya, Harry S. Truman.
Meskipun pertemuan itu dimulai dengan basa-basi Roosevelt bahwa Arab Saudi akan lebih indah jika terdapat kebun bunga--ia menawarkan bantuan teknologi ala Amerika Serikat untuk mewujudkan kebun bunga di padang pasir--tidak diketahui secara luas tema lain yang diperbincangkan, khususnya soal minyak.
Padahal, tutur Matthew R.Simmons dalam Twilight in the Desert (2005), pertemuan tersebut terjadi dua tahun setelah Roosevelt menginstruksikan Harold S. Ickes selaku Menteri Dalam Negeri untuk mengirim para peneliti Petroleum Reserves Corporation guna meneliti keberadaan minyak di Arab Saudi.
Hal itu sebagai tanggapan atas pertempuran yang tengah mengemuka di Asia Tenggara yang merongrong cadangan minyak Amerika Serikat. Lewat penelitian yang dipimpin ahli geologi bernama Everett Lee DeGolyer, Roosevelt kemudian mengetahui bahwa Arab Saudi memiliki kandungan minyak sebesar 2 miliar barel, plus kemungkinan cadangan minyak sebanyak 25 miliar barel.
Pertemuan juga dilakukan jauh setelah Sandard Oil of California (SOCAL), pada 1933 menjadi perusahaan pertama asal Amerika Serikat yang berhasil memperoleh konsesi minyak di Arab Saudi. Setahun sebelum pertemuan dilakukan, Arabian America Oil Company atau Aramco dibentuk.
Atas fakta tersebut, tulis Simmons, “aneh rasanya bila minyak tak dibicarakan.”
Juga tak mungkin bila sikap Amerika Serikat tentang Israel melunak hanya gara-gara, sesuai klaim Roosevelt, hasil “berbincang soal hubungan Arab-Yahudi dalam lima menit bersama Raja.”
Terlebih, seperti diungkap oleh asisten Roosevelt bernama Harry Hopkins, Presiden AS itu menilai Abdul Aziz tentang Israel bukan didasari perbedaan budaya, tetapi kebencian.
Diversifikasi yang Terhenti
Dibicarakan atau tidak, pertemuan tersebut akhirnya menggiring terbentuknya babak baru hubungan Amerika Serikat-Arab Saudi yang mesra. Bukan mesra gara-gara kesamaan pendapat tentang Isreal—yang kemudian benar-benar dibentuk di Jazirah Arab, melainkan karena minyak.
Menurut Joseph Kraft dalam "Letter From Saudi Arabia" (The New Yorker, edisi 20 Oktober 1975), faktanya pertemuan itu diikuti dengan terselamatkannya cadangan minyak Amerika Serikat yang menguap dua miliar barel per tahun karena Perang Dunia II lewat alihdaya kebutuhan minyak kepada kilang-kilang yang berada di Arab Saudi.
Berakhirnya kedigdayaan Amerika Serikat dalam memproduksi minyak pada awal 1970-an karena kilang Spindletop di Texas tak lagi berproduksi setelah terus-menerus dieksploitasi sejak 1901, Arab Saudi akhirnya menjadi produsen minyak nomor satu di dunia.
Di awal dekade tersebut, dengan hanya menjual minyak seharga $2 per barel, Arab Saudi mendulang pendapatan senilai $2,2 miliar dan meningkat menjadi $35 miliar di pertengahan 1970-an.
“Kemewahan lantas merajalela di seantero Arab Saudi, khususnya di kalangan keluarga kerajaan,” tulis Kraft.
Meskipun bergelimang kemewahan, di awal-awal keajaiban minyak bumi yang diperolehnya ini Arab Saudi tak lupa diri. Setelah suksesi dan dipimpin Faisal bin Abdul Aziz Al Saud, modernisasi dilakukan dengan mencanangkan program pembangunan lima tahunan.
"[Dimulai pada 1970], program tersebut menonjolkan diversifikasi yang akan mengurangi ketergantungan pada minyak [...] dengan industrialisasi di dua wilayah yang berbatasan dengan laut di Riyadh, membangun pabrik tepung, keramik, kaca, kain, batu bata, alat rumah tangga, dan baterai kering,” tulis Kraft.
Tak hanya itu, program juga dicanangkan untuk membangun pusat industri baru di luar Riyadh, misalnya membangun pabrik pupuk di Dhahran dan pabrik alumunium serta baja di Jubail. Dan untuk membuat penduduknya dapat bersaing secara global, sektor pendidikan dibangun yang didukung program penciptaan perumahan super murah.
Diversifikasi bernilai $5 miliar per lima tahunan ini dilakukan Raja Faisal karena ia paham bahwa suatu saat minyak akan habis dan segala keajaibannya akan lenyap.
Pendapatnya diamini mendiang Raja Abdul Aziz. Ia tak ingin melihat Arab Saudi kembali ke era kemiskinan yang harus berhutang hingga $200 juta saban tahun untuk menggerakkan ekonomi karena hanya mengandalkan penghasilan dari bea Haji.
Nahas, Raja Faisal tewas di tangan saudaranya sendiri pada 1975. Program diversifikasi sejak fase kedua kemudian menjadi hanya sebatas dokumen, bukan program.
Minyak yang Melenakan
Sejak saat itulah Arab Saudi benar-benar terlena dengan keajaiban minyak bumi. Para anggota keluarga kerajaan berlomba bermewah-mewah.
Misalnya, tulis tulis Kraft, mengutip kesaksian penjual jam mewah di Riyadh, "[Mereka] membeli tiga hingga empat unit jam Philippe Patex saban hari. Tak cuma untuk mereka sendiri, yang selalu dilakukan karena jam baru milik mereka tertinggal di toilet, juga untuk teman-teman mereka.”
Kondisi ini perlahan membuat masyarakat Arab Saudi menjadi pemalas. Dalam laporannya yang lain yang terbit di The New Yorker edisi 4 Juli 1983, Kraft menulis, "Masyarakat Arab Saudi menolak melakukan pekerjaan yang dianggap merendahkan, yang mencakup pekerjaan kasar, sebagian besar pekerjaan kerah putih, dan bahkan pekerjaan yang relatif terampil seperti merawat.”
Mayoritas pekerjaan yang di Arab Saudi jatuh ke tangan para imigran yang berasal dari Barat, terutama pekerjaan-pekerjaan penting yang membutuhkan kemampuan tinggi. Sementara pekerjaan kasar didominasi orang Yaman dan Filipina, sisanya dikerjakan orang-orang Mesir, Suriah, Palestina, dan Korea.
Ya, sejak kepergian Raja Faisal, Arab Saudi terlena. Hidup dalam selubung super mewah bernama minyak.
Seperti Amerika Serikat yang kehilangan singgasana produsen terbesar minyak di dunia, Arab Saudi pun kemungkinan bernasib serupa. Alasannya, kembali merujuk penuturan Matthew R.Simmons dalam Twilight in the Desert (2005), kandungan minyak yang ada di Arab Saudi tidak abadi.
"Sejak akhir 1970-an teknisi Aramco melihat gejala penurunan produksi minyak terutama dari empat kilang paling besar yang dimiliki Arab Saudi. Setelah melakukan segala penelitian yang diperlukan, ilmuwan-ilmuwan Aramco pun berkesimpulan bahwa Arab Saudi tak mungkin lagi menambah kilang minyaknya yang berjumlah 15,” tulis Simmons.
Setelah berhasil memproduksi minyak sebesar 9.839.000 barel per hari pada 1981, minyak yang dihasilkan kian menurun alias Arab Saudi telah berada di titik tertingginya dalam memproduksi minyak sejak saat itu.
Amerika Serikat sebagai konsumen terbesar minyak yang diproduksi Arab Saudi, tanpa pernah menggembar-gemborkan pada khalayak, mengamini masalah ini.
Dalam laporan tahun 1978 berjudul "U.S. Dependence on Saudi Oil Supplies" yang ditulis US General Accounting Office (GAO) disebutkan bahwa kilang-kilang di Arab Saudi yang telah berproduksi selama 12 tahun kini mencapai kematangan.
Laporan inilah yang membuat Aramco (Arabian America Oil Company) menurunkan prediksi kapasitas produksi minyak, dari 20 juta barel per hari menjadi 16 juta barel per hari di akhir 1970-an, dan turun lagi menjadi 12 juta barel per hari di awal 1980-an.
Penurunan kapasitan produksi minyak diperparah dengan kian melabungnya jumlah penduduk Arab Saudi yang kini berjumlah 35 juta jiwa.
Liga Saudi: Tumbuh atau Layu Sebelum Berkembang?
Dengan alasan tersebut, ketika kekuasaan Arab Saudi jatuh ke tangan putra mahkota Mohammed bin Salman (MBS), rencana visioner Raja Faisal kembali dicanangkan. Bukan dalam bentuk program lima tahunan, tetapi via program bertajuk Saudi Vision 2030.
"Dalam 20 tahun, minyak akan menghilang [dari Arab Saudi] dan energi terbarukan akan menggantikannya. Saya memiliki waktu 20 tahun untuk mereorientasi negara saya demi membawa negara ini ke masa depan,” tegas MBS pada awal 2010-an.
Diimplementasikan lewat pembentukan Public Investment Fund (PIF), program ini dijalankan dengan melakukan investasi ke banyak sektor, terutama startup-startup teknologi. Dan karena menuju tahun 2030 hanya tinggal tujuh tahun lagi, kini Public Investment Fund kian menggebu-gebu.
Salah satu sektor yang disasar adalah dunia olahraga, pertama-tama dengan menyelenggarakan kompetisi golf tingkat dunia dan Formula 1, lalu dilanjutkan dengan 25 cabang olahraga lain.
Sejak tahun lalu, langkah Public Investment Fund di dunia olahraga dilanjutkan dengan rencana membuat kompetisi sepak bola Arab Saudi mendunia. Hal ini terinspirasi dari kemenangan mereka atas Argentina di penyisihan Piala Dunia 2022,
Lalu ditambah kedatangan Cristiano Ronaldo dari Manchester United, dan tersengsem melihat Liga Premier Inggris yang berhasil mendulang uang rata-rata senilai £5.5 miliar saban tahunnya.
Dalam bursa transfer musim ini, nama-nama beken di dunia sepak bola didatangkan Public Investment Fund, di antaranya Karim Benzema, N'Golo Kante, Ruben Neves, Kalidou Koulibaly, Edouard Mendy, Jordan Henderson, dan Roberto Firmino.
Hal ini terjadi setelah empat klub terbesar di Arab Saudi, yakni Al Ittihad, Al Hilal, Al Ahli, and Al Nassr, diambil alih negara untuk diurus Public Investment Fund.
Dampak langsung yang dirasakan adalah terjadi pertumbuhan jumlah penonton hingga 143 persen yang mudah dikonversi jadi uang karena harga tiket melambung. Namun, tentu belum diketahui dampak panjangnya. Apakah bisa menjadi salah satu penopang Saudi Vision 2030 atau malah menguap begitu saja seperti Liga Cina.
Editor: Irfan Teguh Pribadi