Menuju konten utama
Mozaik

SAMO© untuk Jean-Michel Basquiat, Seniman Grafiti yang Melegenda

Kata-kata dalam grafiti SAMO© terdengar politis, kadang terdengar seperti propaganda, kadang lebih mirip puisi, dan tak jarang benar-benar sureal & absurd.

SAMO© untuk Jean-Michel Basquiat, Seniman Grafiti yang Melegenda
Header Mozaik Jean-Michel Basquiat. tirto.id/Gery

tirto.id - Dia pernah mengencani Madonna muda. Pernah pula menjadi kolaborator Andy Warhol. Kisah hidupnya difilmkan oleh Hollywood. Di kemudian hari, ada satu lukisannya yang terjual lebih dari 100 juta dolar. Namun, tanpa SAMO©, Jean-Michel Basquiat takkan jadi siapa-siapa.

Basquiat lahir di New York City pada 22 Desember 1960 dari ayah seorang imigran Haiti dan ibu berdarah Puerto Riko. Dari sang ibulah Basquiat kecil mulai mengenal seni. Bukan cuma seni rupa tetapi juga seni menulis. Dan di usia tujuh tahun, Basquiat sudah berhasil menulis satu buku cerita untuk anak-anak.

Namun, seiring bertambahnya usia, hidup semakin tak bersahabat bagi Basquiat. Setahun setelah menulis buku cerita itu, orang tua Basquiat bercerai. Dia dan saudara-saudara kandungnya lantas dibesarkan oleh sang ayah, Gerard. Sementara, sang ibu, Matilde, yang memiliki masalah kejiwaan pada akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa.

Situasi ini membuat Basquiat jadi pemberontak. Saat remaja, dia mulai mengenal ganja dan LSD. Bahkan, gara-gara ketahuan mengisap ganja oleh ayahnya, Basquiat memutuskan minggat dari rumah. Tak cuma itu, dia juga keluar dari SMA dan mulai belajar di sebuah sekolah alternatif bernama City-As-School.

Statusnya memang sekolah negeri, tetapi City-As-School punya standar pendidikan berbeda. Di sana yang terpenting bukanlah nilai, melainkan partisipasi. Tak heran jika sekolah ini kerap jadi tempat "berlindung" bagi siswa-siswa artistik yang kesulitan mengikuti pendidikan konvensional.

Sekolah itu pun sukses menghasilkan banyak seniman terkenal, mulai dari Adam Horovitz (The Beastie Boys), Princess Nokia, Julia Fox, Mos Def, Malik Yoba, Dante Ross, dan tentunya Basquiat sendiri. Di City-As-School inilah proyek SAMO© Basquiat bermula.

Agama Rekaan Hasil Mengisap Ganja

Basquiat mulai belajar di City-As-School sebagai seorang sophomore (siswa tahun kedua). Di sana dia langsung berkawan dekat dengan seorang berdarah Puerto Riko lain bernama Al Diaz. Shannon Dawson dan Matt Kelly juga akhirnya menjadi bagian dari lingkar pertemanan ini.

SAMO© lahir dari sebuah obrolan ketika Basquiat dan Diaz sama-sama teler setelah mengisap ganja. Mereka menyebut mariyuana yang mereka isap itu sebagai "same old shit". Lama kelamaan, "same old shit" memendek menjadi "same old" dan akhirnya memendek lagi menjadi "SAMO".

Basquiat mulai menggunakan SAMO dalam karya-karyanya. Awalnya, dalam sebuah edisi majalah sekolah, dia menjadikan SAMO sebagai nama sebuah karakter. Dari sebuah karakter, SAMO berkembang menjadi sebuah "agama" yang pertama kali dipromosikan menggunakan pamflet fotokopian hasil karya Basquiat, Diaz, Dawson, dan Kelly.

Pamflet fotokopian itu diedarkan terbatas, cuma di lingkungan sekolah, dan di bawahnya terdapat keterangan bertuliskan "Didasarkan pada konsep orisinal dari Jean Basquiat dan Al Diaz". Belakangan, SAMO muncul dalam buku tahunan City-As-School dengan tulisan "SAMO© AS AN ALTERNATIVE TO PLASTIC FOOD STANDS."

Sejak awal, SAMO sebenarnya tidak anonim. Jelas-jelas tertulis bahwa perekanya adalah Basquiat dan Diaz. Namun, yang mengetahui hal itu hanyalah mereka yang bersekolah di City-As-School. Lalu, setelah Basquiat dan Diaz lulus SMA, mereka memperkenalkan SAMO ke audiens yang lebih luas melalui media grafiti.

Diaz, sejak masih bocah, sebenarnya sudah menjadi bomber alias seniman grafiti. Dalam sebuah wawancara dengan Artnet, Diaz berkata, "Aku adalah seniman grafiti generasi pertama. Aku sudah mulai mencorat-coret tembok sejak berumur 12 tahun di New York City, itu tahun 1971."

Faktanya, pergerakan grafiti di New York City memang dimulai pada tahun tersebut. Grafiti pertama yang cukup menonjol di sana bertuliskan "Bird Lives". Kala itu, seniman dengan pseudonim TAKI 183 dan Tracy 168 mulai muncul dengan karya-karya mereka, baik di tembok maupun di bodi gerbong kereta bawah tanah.

Fenomena grafiti di New York City dicatat oleh Norman Mailer melalui bukunya The Faith of Graffiti (1974). Pseuodonim Diaz, Bomb 1, masuk dalam buku Mailer tersebut. Akhirnya, Diaz pun berkolaborasi dengan Basquiat untuk menciptakan graffiti tag baru: SAMO©.

Jika para seniman grafiti awal di New York City biasa beroperasi di wilayah Bronx, tidak demikian dengan Basquiat dan Diaz. SAMO©, menurut keterangan Henry Flint—seniman avant-garde yang memotret banyak graffiti milik Basquiat dan Diaz, banyak ditemukan di wilayah SoHo.

SoHo merupakan wilayah di New York City yang dikenal karena dihuni oleh banyak seniman. Di sana juga terdapat Sekolah Seni Visual New York City yang masyhur karena aktivisme wanginya. Basquiat dan Diaz acap menarget area-area di sekitar sekolah tersebut dengan grafiti SAMO©.

Meski begitu, "karier" Basquiat dan Diaz dalam menghidupkan SAMO© sebenarnya bermula di wilayah Manhattan. Mulanya tidak dengan cat semprot, melainkan spidol biasa. Mereka mencorat-coret tembok, lift, toilet umum, juga gerbong kereta bawah tanah seperti halnya seniman grafiti umumnya pada masa itu.

Jangan bayangkan grafiti SAMO© seperti grafiti yang berwarna-warni dengan huruf indah yang dirangkai sedemikian rupa. Jangan harapkan pula ada gambar apa pun yang menyertai grafiti milik Basquiat dan Diaz. Grafiti SAMO© yang mereka torehkan itu tampak picisan: hanya berbentuk tulisan biasa, ditambah tag bertuliskan SAMO©.

Namun, justru kesederhanaan itu yang membuatnya jadi menarik. Sebab, ada pola yang bisa dilihat dari tulisan-tulisan di grafiti SAMO©. Biasanya, SAMO© dijadikan subyek dalam kalimat yang berisikan "ajakan untuk beralih memeluk" SAMO©. Misal: "SAMO©...4 MASS MEDIA MINDWASH", "SAMO© AS AN ALTERNATIVE TO GOD", atau "SAMO© SAVES IDIOTS AND GONZOIDS".

SAMO©, ketika sudah dibawa ke ruang publik melalui grafiti, masih digarap dengan konsep yang sama dengan ketika Basquiat dan Diaz masih bersekolah, yakni sebagai "agama alternatif" bagi mereka yang muak dengan keadaan di sekeliling mereka.

Terkadang, kata-kata dalam grafiti SAMO© terdengar politis, terkadang terdengar seperti propaganda, terkadang lebih mirip puisi, dan tak jarang pula ia benar-benar sureal dan absurd.

Namun, semangat utamanya tak pernah berubah, yaitu pemberontakan khas anak usia belasan. Seperti yang diucapkan Basquiat sendiri dalam sebuah wawancara, "Ini kerjaan anak remaja. Kerjaan kami dulu cuma minum Ballantine Ale, menulis, melempar botol... Ya, seperti remaja kebanyakan."

Basquiat boleh saja berujar bahwa SAMO© adalah kerjaan anak remaja. Akan tetapi, dia dan Diaz sudah menyadari bahwa SAMO© memiliki kekuatan untuk dijadikan medium kritik. Bahwa pada akhirnya SAMO© banyak bermunculan di SoHo, itu bukan kebetulan.

Pada dekade 1970-an, lahirlah istilah Radical Chic, banyak orang kelas atas yang mengasosiasikan dirinya dengan gerakan politik radikal. Salah satunya komposer Leonard Bernstein yang dekat dengan kelompok Black Panther dan pernah mengadakan penggalangan dana untuk mereka.

Sekolah Seni Visual New York, pada kurun waktu yang sama, pun menjadi "sarang" bagi para Radical Chic ini. Basquiat dan Diaz pun tak segan mengkritik mereka lewat tulisan berbunyi: SAMO AS AN ALTERNATIVE 2 PLAYING ART WITH THE 'RADICAL CHIC' SECT ON DADDY'S $ FUNDS.

SAMO© waktu itu benar-benar ada di mana-mana, sampai-sampai sempat ada spekulasi bahwa grafiti ini sebenarnya merupakan operasi psikologis (psy-ops) yang dilakukan CIA. Akan tetapi, dalam wawancara dengan The Village Voice pada 1978, Basquiat mengaku bahwa dirinya dan Diaz memang seproduktif itu. Dalam sehari, misalnya, mereka bisa menghasilkan 30 grafiti.

Infografik Mozaik Jean Michel Basquiat

Infografik Mozaik Jean-Michel Basquiat. tirto.id/Gery

Terkuaknya Identitas Sang Bomber

Wartawan The Village Voice yang mewawancarai Basquiat dan Diaz, Philip Faflick, bisa dibilang merupakan "orang luar" pertama yang mengetahui identitas keduanya sebagai bomber SAMO©. Namun, dalam artikel berjudul "SAMO© Graffiti: BOOSH-WAH or CIA?" tersebut, tidak disebutkan secara lengkap nama mereka, hanya "Jean (17)" dan "Al (19)".

Secara terbuka, identitas Basquiat dan Diaz sebagai bomber SAMO© baru terkuak setahun berikutnya. Identitas Diaz lebih dulu terkuak ketika Flynt mengadakan pameran foto-foto grafiti SAMO©. Adalah Dawson, teman Basquiat dan Diaz di SMA, yang membantu Flynt melacak sosok Diaz. Pada pameran itulah Flynt akhirnya tahu bahwa Diaz adalah satu dari dua sosok di balik SAMO©.

Sementara itu, identitas Basquiat secara terbuka pertama kali diketahui oleh Keith Haring. Bersama Basquiat, Haring sama-sama sering nongkrong di sebuah kelab malam bernama Mudd Club. Dari skena ini pulalah Basquiat mulai bersolo karier. Dia mulai membuat grafiti tanpa melibatkan Diaz.

Haring merupakan alumnus Sekolah Seni Visual New York. Lucunya, dia sukses mengidentifikasi Basquiat sebagai bomber SAMO© setelah membantunya masuk ke dalam gedung sekolah tersebut.

"Suatu hari ada bocah yang mendatangiku saat aku sedang berjalan menuju sekolah dan dia bertanya apakah aku bisa membantunya masuk ke dalam gedung. Kubilang, 'Tentu saja.' dan kami sama-sama berjalan masuk. Lalu aku masuk ke dalam kelas dan ketika aku keluar sejam kemudian, aku baru sadar bahwa ada grafiti SAMO baru yang sebelumnya tidak ada. Aku lalu menyadari bahwa bocah tadi adalah Basquiat," tulis Haring dalam autobiografinya.

Perkenalan dengan Haring itu membawa Basquiat masuk lebih jauh dalam lingkar pertemanan Sekolah Seni Visual. Agak ironis, memang, karena sebelumnya Basquiat acap mengkritik "aktivis-aktivis wangi" yang belajar di sekolah tersebut. Namun, menurut kolumnis Glenn O'Brien, justru Basquiat sengaja membuat banyak grafiti di sekitar sekolah tersebut sebagai cara memperkenalkan diri ke lingkungan itu.

Pada akhirnya, Basquiat diterima di lingkar pertemanan baru. Ini kemudian membuat hubungannya dengan Diaz retak, khususnya setelah Basquiat memperkenalkan diri sebagai SAMO dalam sebuah acara televisi. Basquiat pun lantas "membunuh" SAMO pada 1980 dan mulai melukis. Di saat yang bersamaan, Haring mengadakan malam takziah untuk kematian SAMO.

Sebagai pelukis, Basquiat sukses besar. Namun, usianya tidak panjang. Pada 1988, di usia 27 tahun, dia mengembuskan napas terakhir setelah mengalami overdosis heroin. Kematian Basquiat membuat statusnya seketika meningkat, dari seorang bintang menjadi legenda. Hingga akhirnya, pada 2017, lukisan Basquiat bergambar tengkorak dibeli hartawan Jepang Yusaku Maezawa dengan harga $110,5 juta.

Lalu, bagaimanakah nasib SAMO?

Pada 2016, Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Inilah yang membuat Diaz memutuskan untuk menghidupkan SAMO kembali lewat dua karya yang masing-masing bertitel Tolerate Civilization dan Because War is just a 3 Letter Word. Dalam Tolerate Civilization, Diaz menulis, "SAMO©... 4 THOSE OF US WHO MERELY TOLERATE CIVILIZATION..."

Dan dengan begitu, SAMO© pun kembali hadir di tengah-tengah umat manusia. Mungkin bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai pengingat.

Baca juga artikel terkait GRAFITI atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi