tirto.id - Keberadaan orang-orang Skotlandia ke Jawa tidak terlepas dari kedatangan Thomas Stamford Raffles pada 1811. Alexander Loudon salah satunya, ia merupakan tentara Inggris asal Skotlandia.
Ia dan keturunannya tetap tinggal di Jawa kendati pemerintahan Raffles telah berakhir. Putranya, James Loudon, adalah sahabat Johannes van den Bosch, pencetus sistem cultuurstelsel di Hindia Belanda. Persahabatan kedunya membuat James mendapatkan hak pengelolaan terhadap perkebunan indigo di Pekalongan pada 1830 dan di dekat Semarang pada 1832.
Kisah kedatangan orang Skotlandia atau Scottish ke Jawa lainnya datang dari Gillian Maclaine yang tiba di Batavia pada 1817 sebagai bagian dari British East India Company (EIC) dan East India Houses (EIH)--rumah dagang yang berkantor di London.
Ulbe Bosma dalam tulisannya The Cultivation System (1830-1870) and Its Private Entrepreneurs on Colonial Java menyebutkan bahwa hingga 1823 telah ada 28 laki-laki asal Skotlandia di Jawa yang berusia di atas 16 tahun. Walaupun Skotlandia adalah bagian dari Britania Raya, tetapi jumlah ini telah dibedakan dengan laki-laki dewasa Inggris yang kala itu sebanyak 65 orang di Jawa.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Batavia, Gillian masih berusia 22 tahun. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga peternak domba di Movern Peninsula, Highlands, membuatnya mudah berkontak dengan para Scottish asal Highlands lainnya untuk memperkuat posisinya di Jawa.
Salah satunya, ia berkomunikasi dengan Colin McLean yang merupakan kapten kapal perdagangan area India dan Asia Tenggara, yang nantinya menjadi rekan bisnis utama dalam pengiriman komoditas perkebunan ke luar Jawa dan Hindia-Belanda.
Selain itu, ia juga bekerja sama dengan Edward Watson, salah seorang petinggi EIH. Pada 1827, Gillian dan Edward mendirikan sebuah firma dagang bernama Maclaine Watson, gabungan dari nama belakang mereka.
Maclaine Watson berpusat di Batavia untuk kantor dan gudang utamanya. Selain itu, firma yang bergerak di bidang perdagangan komoditas perkebunan ini juga mempunyai cabang di Semarang dan Surabaya.
Komoditas yang mereka dagangkan ialah kopi yang perkebunannya di Surakarta dan gula yang perkebunannya di Semarang dan Surabaya. Sementara para pekerjanya berasal dari berbagai kelompok, seperti orang-orang Jerman, Cina, dan pribumi sekitar.
Kesuksesan Maclaine Watson pada 1902 membuat Pemerintah Hindia Belanda iri hingga menyebut firma ini sebagai sesuatu yang membahayakan karena tendensinya untuk memonopoli perkebunan di Jawa. Hal ini menjadi wajar, mengingat Pemerintah Hindia Belanda memiliki Nederlandsche Handel-Maatschappij(NHM) yang tentunya terancam dengan hadirnya dominasi Maclaine Watson.
Sosok Gillian Maclaine dapat dikatakan sebagai pintu pembuka bagi para diaspora Skotlandialainnya, utamanya di Jawa, tempat kekuasaannya. Misalnya ada MacNeill bersaudara, John MacNeill dan Alexander MacNeill yang datang ke Jawa karena kedekatan mereka dengan Gillian. Mereka berasal dari daerah yang sama di Skotlandia, yakni Highlands.
MacNeill bersaudara ini yang disebutkan oleh G. Roger Knight (2015) dalam karyanya Trade and Empire in Early Nineteenth-Century Southeast Asia: Gillian Maclaine and his Business Network sebagai pendiri MacNeill and Co, sebuah firma dagang yang tugasnya membantu operasional Maclaine Watson cabang Semarang.
Maka, menjadi tepat apabila MacNeill and Co disebut sebagai adik dari Maclaine Watson yang membuat perkebunan di Jawa seolah-olah terasa seperti trah bisnis dari Highland, Skotlandia.
Walau tidak setenar nama Gillian Maclaine, tetapi keberadaan McLachlan juga patut diperhitungkan. Apabila Maclaine adalah seorang Skotlandia penguasa gula dan kopi, maka McLachlan adalah orang Skotlandia penguasa perkebunan teh.
Status tersebut tidak terlepas dari pernikahannya dengan Wilhelmina Francois (Meinje) van der Hucht yang merupakan keturunan dari keluarga pemilik perkebunan teh di Jawa Barat.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa orang-orang Skotlandia yang ada di Jawa tidak sekadar pandai berbisnis, melainkan juga pandai dalam memanfaatkan jaringan yang mereka miliki, membaca tren terkini, menggunakan kesempatan, bahkan “berpolitik” melalui perkawinan untuk memperkuat posisinya.
Bidang Lainnya
Para diaspora asal Skotlandia tidak hanya berkarya di bidang perkebunan. Walau tidak mendominasi, kehadirannya di bidang-bidang lain juga patut untuk ditilik.
Di luar ranah perkebunan, mereka yang pernah ditemukan berdiaspora di Jawa tidak jauh-jauh dari urusan bisnis maupun ekonomi. Misalnya, masih dalam jejaring Gillian Maclaine, ada nama William Menzies yang memiliki sebuah vila di area gunung di selatan Jakarta yang disebut oleh Gillian sebagai tempat yang lebih tinggi daripada Ben Navis, sebuah gunung di Skotlandia dengan ketinggian 1.345 meter di atas permukaan air laut.
Ada pula nama Alexander Fraser yang pada 1870-an menjadi salah satu komite di De Javasche Bank (DJB). Sementara itu, kakak tertua dari Alexander, yakni Arthur Fraser, disebut oleh G. Roger Knight (2020) sebagai salah satu tokoh penting dalam pengembangan jalur kereta api di Jawa.
Selain melalui jurnal yang pernah terbit, penelusuran terhadap diaspora Scottish juga bisa dilakukan melalui kunjungan ke Museum Taman Prasasti Jakarta. Beberapa makam dengan nama-nama khas Skotlandia ada di lokasi tersebut. Misalnya saja sebuah batu nisan bertuliskan John Lorimer yang meninggal pada 1872 di Batavia.
Ia merupakan seorang dokter yang lahir di Edinburgh, ibu kota Skotlandia. Ada pula batu nisan lain milik James Macnair, seorang pedagang di Surabaya yang meninggal di Batavia pada 1879. Ia lahir di St Ninians yang merupakan bagian dari Distrik Stirling.
Keseluruhan nama-nama Scottish di atas menunjukkan eksistensi mereka yang walaupun minoritas di Jawa, tetapi mempunyai sumbangsih yang patut untuk ditulis dalam historiografi Indonesia.
Penulis: Pratika Rizki Dewi
Editor: Irfan Teguh Pribadi