tirto.id - Saat Kerajaan Mataram menguasai hampir seluruh wilayah pulau Jawa, Dipati Ukur memberontak di Priangan pada 1628-1632. Dipati Ukur adalah Bupati Wedana Priangan yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menggempur VOC di Batavia. Ketika gagal menjalankan tugas, ia memilih tidak ke Mataram karena hukuman mati telah menunggunya. Akhirnya, Dipati Ukur dan para pengikutnya pun memberontak selama empat tahun.
Gunung Lumbung, sebuah daerah yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bandung, jadi tempat terakhir pertahanan mereka. Pasukan Mataram yang dikirim untuk memadamkan pemberontakan Dipati Ukur sempat dipukul mundur. Namun, atas bantuan beberapa pejabat Priangan, Dipati Ukur berhasil ditangkap dan dihukum mati.
Para pejabat Priangan yang membantu pasukan Mataram itu kelak diangkat sebagai bupati dengan gelar tumenggung. Salah satunya adalah Ki Astamanggala, Bupati Bandung pertama dengan gelar Tumenggung Wira Angun-angun.
Narasi tentang Dipati Ukur inilah yang secara umum beredar di masyarakat Sunda, khususnya Priangan. Dalam keseharian, nama tokoh ini melekat dalam dua ruas jalan yang berada di daerah Baleendah, Kabupaten Bandung, dan di daerah sekitar kampus Universitas Padjadjaran, Bandung. Sivitas akademika Universitas Padjajaran dan masyarakat umum kerap menyebutnya "kampus 'Unpad DU'".
Seperti ditulis Edi S. Ekadjati dalam Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda (1982), Dipati Ukur juga diabadikan sebagai nama sekolah, bioskop, dan banyak lagi. Ekadjati, ada sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa masyarakat Priangan sering memakai nama Dipati Ukur.
Pertama, Dipati Ukur dipandang sebagai tokoh terhormat yang patut dikenang. Kedua, Dipati Ukur dianggap sebagai tokoh pahlawan yang membela tanah air dan rela mengorbankan diri demi rakyatnya. Dan ketiga, Dipati Ukur dipandang sebagai tokoh keramat, tokoh suci yang bila namanya diabadikan akan membawa pengaruh baik pada yang memakainya.
Dipati Ukur juga dipandang berbeda dari Ki Astamanggala dan bupati-bupati lainnya di daerah Priangan yang diangkat oleh Sultan Agung karena dianggap berjasa menangkap dirinya. Ia dipuja di terlepas dari sejarah yang menganggapnya pemberontak.
Ia adalah mitos dan sosok legendaris. Sebagian masyarakat percaya bahwa Dipati Ukur tak pernah ditangkap pasukan Mataram, alih-alih menghilang.
Delapan Versi Cerita Dipati Ukur
Menyigi sosok Dipati Ukur memang tak mudah. Berdasarkan penelusuran Edi S. Ekadjati yang terbuhul dalam Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda (1982), kisah Dipati Ukur tercatat oleh 23 naskah dan dikelompokkan ke dalam delapan versi, yakni versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram, dan Batavia.
De Graaf yang menulis enam jilid sejarah Kerajaan Mataram hanya menuturkan pemberontakan Dipati Ukur secara singkat. Dalam karya De Graaf, sebagai kawula yang posisinya paling dekat dengan Batavia, Priangan adalah kawula yang pertama-tama diikutsertakan dalam serangan ke Batavia.
“Setelah musibah di depan Batavia, terdapat cukup banyak alasan bagi raja untuk menjadi cemas. Pertama-tama rakyat Priangan melepaskan diri dari kekuasaan raja, karena sesal akan malapetaka di depan bentang Batavia yang banyak memakan korban,” tambah De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspedisi Sultan Agung (1986).
Buku tentang Dipati Ukur yang ditulis Edi S. Ekadjati adalah salah satu atau mungkin satu-satunya teks yang membahas Dipati Ukur secara detail dan lengkap. Saking lengkapnya, buku ini sulit dipahami.
Ahmad Sahidin, alumni pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, mencoba menyederhanakan delapan versi cerita Dipati Ukur tersebut. Dari hasil pembacaannya terhadap karya Edi S. Ekadjati, disimpulkan bahwa dalam delapan versi tersebut terdapat perbedaan dan persamaan isi, ruang narasi, dan keberpihakan para penulis naskah.
Menurutnya, cerita versi Galuh menonjolkan Dipati Ukur sebagai pemberontak Mataram yang layak ditumpas. Setelah berhasil ditangkap, Dipati Ukur dan 10.000 orang pengikutnya dihukum mati di Mataram. Sejumlah pejabat Priangan yang ikut membantu penangkapan tersebut kemudian diangkat menjadi tumenggung.
Cerita versi Sukapura menyebut Dipati Ukur sebagai pemberontak yang tidak berani bertanggung jawab. Para pejabat Priangan yang ikut menumpas gerakan Dipati Ukur diangkat menjadi tumenggung setelah mereka mengirimkan gadis untuk raja Mataram.
Sementara itu, cerita versi Sumedang, tulis Sahidin, Dipati Ukur dikaitkan dengan peristiwa gagalnya penaklukan Sampang. Ia disebut sebagai pemberontak Mataram yang rajanya amat tegas dalam menghukum.
Cerita versi Bandung lain lagi. Dipati Ukur disebut sebagai keturunan Raja Pajajaran yang mulanya patuh kepada Mataram. Namun sekali waktu, ia mendapat kabar bahwa ada utusan Mataram yang melakukan perbuatan tidak senonoh kepada istrinya. Ia pun membunuh utusan tersebut dan dianggap sebagai pembangkang Mataram.
“Cerita versi Talaga sama dengan versi Bandung. Tokoh Dipati Ukur tidak berakhir dengan kematian, tetapi dengan keberangkatannya ke Mekah,” tulis Sahidin.
Dalam cerita versi Banten, saat memberontak Dipati Ukur menjalin hubungan baik dengan Banten, sementara orang Sumedang disebut tidak setia terhadap Dipati Ukur.
Mataram juga punya versi sendiri tentang Dipati Ukur. Naskah ini menyebutnya secara singkat bahwa Dipati Ukur memberontak sehingga Mataram mengirim pasukan ke Priangan untuk memadamkannya. Usaha tersebut berhasil dan Dipati Ukur dihukum mati.
“Pasukan Ukur dari Sumedang dan Mataram menyerang Batavia. Kedua pasukan ini kalah dan pasukan Ukur takut dengan hukuman Sultan Mataram sehingga berhubungan dengan Banten. Rakyat Ukur dan Sumedang dianggap memberontak sehingga diperangi Mataram,” tulis Sahidin menerangkan cerita Dipati Ukur versi Batavia.
Banyaknya versi yang menceritakan riwayat perlawanan Dipati Ukur terhadap kekuasaan Mataram membuat sosok ini hidup dalam ragam imajinasi. Sejumlah tempat di Priangan yang diyakini sebagai petilasan Dipati Ukur kerap diziarahi sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh ini.
Di titik ini, sejarah tentang Dipati Ukur ibarat delap. Ia menyemburkan api sebagai warna tegas tentang perlawanan tokoh Priangan terhadap kekuasaan Mataram yang mencengkeram. Di sisi lain, ia juga mengeluarkan asap sebagai gambaran samar ihwal Dipati Ukur yang kemudian dianggap sosok legendaris bahkan mitos.
Editor: Windu Jusuf