Menuju konten utama

Sejarah Terbaginya Bandung dan Wacana Kab. Bandung Timur

Membaca wacana pembentukan Kabupaten Bandung Timur dari sejarah pembagian wilayah di Bandung.

Sejarah Terbaginya Bandung dan Wacana Kab. Bandung Timur
Stasiun Bandung zaman dulu. Foto/Istimewa

tirto.id - Wilayah Kabupaten Bandung akan semakin mengecil. Dimulai dengan kelahiran Kotamadya Bandung, lalu Kota Cimahi dan terakhir Kabubaten Bandung Barat, dalam waktu dekat akan segera berdiri Kabupaten Bandung Timur.

Pada 1 April 1906, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kelahiran Kota Bandung yang diberi status sebagai gemeente atau kotapraja. Hampir seratus tahun kemudian, tepatnya pada 21 Juni 2001, Kota Cimahi pun resmi berdiri sendiri. Terakhir, pada 2 Januari 2007, Kabupaten Bandung Barat pun resmi berdiri.

Wacana pembentukan Kabupaten Bandung Timur sudah muncul sejak 2005 lalu. Wacana ini semakin menguat setelah muncul kabar bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dikabarkan menyetujui dan mengeluarkan rekomendasi pembentukan beberapa daerah baru, salah satunya Kab. Bandung Timur. Rekomendasi dari DPD ini tentu masih membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat.

Aas Kadarsyah, Ketua Deklarasi Komite Independen Pengawas Pembangunan dan Percepatan Pemekaran Kabupaten Bandung Timur (KIP4 KBT), mengatakan bahwa konsep pemekaran Kabupaten Bandung Timur meliputi 15 kecamatan di wilayah Timur kabupaten Bandung, di antaranya Bojongsoang, Cimenyan, Cilengkrang, Cileunyi, Ciparay, Kertasari, Nagreg, Majalaya, Ibun dan beberapa kecamatan lainnya.

Bandung Pasca Sultan Agung

Jika rencana pemekaran ini terlaksana, maka akan menambah daftar panjang sejarah pembagian wilayah dan kekuasaan di Tatar Ukur.

Dalam buku Sejarah Kota-kota di Jawa Barat, A. Sobana Hardjasaputra menerangkan bahwa sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan Tatar Ukur. Menurut naskah Sadjarah Bandung, Tatar Ukur termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.

Sobana menambahkan, “Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut Ukur Sasanga.”

Dalam tesisnya yang berjudul Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke19, Sobana menyebutkan bahwa wilayah Ukur Sasanga meliputi: (1) Ukur Bandung (Banjaran dan Cipeujeuh), (2) Ukur Pasirpanjang (Majalaya dan Tanjungsari), (3) Ukur Biru (Ujungberung Wetan), (4) Ukur Kuripan (Ujungberung Kulon, Cimahi, dan Rajamandala), (5) Ukur Curugagung (Cihea), (6) Ukur Aronan (Wanayasa), (7) Ukur Sagaraherang (Pamanukan dan Ciasem) (8) Ukur Nagara Agung (Gandasoli, Adiarsa, Sumedangan, Ciampel, Tegalwaru, Kandangsapi, dan Cabangbungin), (9) Ukur batulayang (Kopo, Rongga, dan Cisondari).

Pasca Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasan Kerajaan Sumedanglarang. Dan ketika Mataram menguasai Kerajaan Sumedanglarang, Tatar Ukur otomatis berada dalam kekuasaan Mataram. Tatar Ukur mulai dikenal dengan sebutan Kabupaten Bandung setelah pemberontakan Dipati Ukur--yang menolak datang ke Mataram pasca kegagalan penyerangan ke Batavia, berhasil dipadamkan.

Kemudian berdasarkan Piagem Sultan Agung yang dikeluarkan pada tanggal 9 Muharam Tahun Alip, Mataram membagi wilayah Priangan dengan mengangkat tiga orang bupati.

“Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang, dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur,” tambah Sobana.

Ki Astamanggala diangkat menjadi Bupati Kabupaten Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun. Ia bersama rakyatnya kemudian membangun Krapyak (Dayeuhkolot sekarang), sebuah tempat yang terletak di tepi sungai Ci Tarum dekat muara Ci Kapundung. Ketika bupati dijabat oleh Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan ke sisi De Groote Postweg atau Jalan Raya Pos. Dari masa ini kemudian Kabupaten Bandung mengalami beberapa kali pemekaran sampai sekarang.

Perdebatan Cikal Bakal Wilayah Bandung

Selain pembagian wilayah yang berubah-ubah, ada satu perdebatan tentang cikal bakal wilayah di Bandung. Sebagian masyarakat meyakini bahwa Kota Bandung sekarang dulunya adalah bagian dari Ujungberung. Hal ini rata-rata disandarkan pada tulisan Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe yang menerangkan bahwa Bandung di pertengahan tahun 1600-an lebih dikenal oleh pemerintah Kompeni Belanda dengan sebutan Negorij Bandong atau West Oedjoengberoeng dengan jumlah penduduk yang masih sangat sedikit.

“’Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah,’ demikian tulis seorang Mardijker bernama Juliaen de Silva pada tahun 1641, dengan menggunakan bahasa Belanda kuno. Menurut Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen (1935), Landsarchivaris (Arsip Negara) di Batavia; dari data yang sempat ditemukan, Juliaen de Silva mungkin orang asing pertama yang keluyuran ke wilayah Bandung,” tulis Haryoto Kunto.

Anggapan masyarakat ini coba diluruskan oleh Sobana Hardjasaputra dengan menulis surat pembaca kepada harian Pikiran Rakyat, yang pada edisi 11 Agustus 2016 menurunkan berita berjudul "Distrik Oedjoengberoeng Cikal Bakal Kota Bandung".

“Menurut dokumen/sumber sejarah yang akurat, Kota Bandung didirikan atas gagasan RA Wiranatakusumah II, Bupati Bandung periode 1794-1829. Tempat/lahan yang dipilih oleh bupati untuk membangun kota itu adalah sebidang areal hutan di tepi barat sungai Cikapundung, bukan Ujungberung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung tanggal 25 September 1810. Daerah di Jawa Barat yang pernah berstatus keresidenan antara lain Priangan yang mencakup Ujungberung. Sepanjang sejarahnya, Ujungberung tidak pernah berstatus sebagai keresidenan,” tulisnya.

Hal ini, jika mengacu kepada sembilan wilayah di Ukur Sasanga di masa pemerintahan Dipati Ukur, memang ada dua nama Ujungberung, yaitu Ujungberung Wetan yang masuk wilayah Ukur Biru, dan Ujungberung Kulon yang masuk wilayah Ukur Kuripan. Jika diartikan Ujungberung Kolon sebagai Kota Bandung sekarang, barangkali Ujungberung Wetan adalah yang menjadi Kecamatan Ujungberung sekarang.

Infografik Bandung timur

Masalah Jarak dan Hasrat Elite

Di luar sejarah panjang pembagian wilayah dan kekuasan, pemekaran Kabupaten Bandung menjadi beberapa kota dan kabupaten baru, salah satu alasannya biasanya karena pusat pemerintah terlalu jauh dari jangkauan masyarakat. Hal ini terkait dengan beberapa layanan administratif yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sebagai contoh, jarak antara Soreang (ibu kota Kabupaten Bandung) dengan Lembang (sekarang masuk Kabupaten Bandung Barat) adalah 45 km. Atau jarak antara Soreang dengan Padalarang (Kabupaten Bandung Barat) sekitar 31 km.

Terkait rencana pembentukan Kabupaten Bandung Timur, Deding Ishak, anggota DPR RI dari Fraksi Golongan Karya seperti dikutip oleh soreangonline.com pada Juni 2016 ikut bersuara, “Saya mengikuti perkembangan wilayah di wilayah Bandung Timur karena saya memang pituin di Bandung Timur, tepatnya di Cileunyi. Jika tidak dimekarkan menjadi Kabupaten Bandung Timur, saya rasa sulit bagi masyarakat di kawasan ini untuk mengejar ketertinggalan dibanding wilayah lainnya di Kabupaten Bandung, ujarnya.

Ryas Rasyid, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di masa pemerintahan SBY, terkait dengan pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru, justru berpendapat sebaliknya.

“Semua itu politik. Itu permainan elite semua, baik elite lokal maupun elite partai di nasional. Yang diingat kan kursi partai dapat sekian. Orang partai bisa jadi bupati/wali kota, gubernur. Itu dalam pikiran mereka (elite yang mengusulkan pemekaran daerah)," katanya di Jakarta, dikutip Kompas.com pada Minggu (23/11/2013).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh Pribadi
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Zen RS