tirto.id - Saat ini Batulayang hanyalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Desa Batulayang sendiri merupakan pemekaran dari Desa Bongas pada 1982. Nama Batulayang diambil dari nama salah satu umbul di wilayah Tatar Ukur pada abad XVII.
Tatar Ukur, menurut Prof. Dr. A. Sobana H. M. A., adalah bagian Kerajaan Timbanganten yang merupakan vasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran. Ibu kota Kerajaan Timbanganten terletak di Tegalluar. Menurut naskah Sadjarah Bandung, Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandan Ukur, Dipati Agung dan Dipati Ukur.
Tatar Ukur menjadi wilayah yang penting ketika Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi wedana (kepala) Bupati Priangan pada awal abad XVII, menggantikan kedudukan Rangga Gede, Bupati Sumedang. Sebagai syarat pengangkatannya, Dipati Ukur diperintahkan untuk menyerang kedudukan Belanda di Batavia.
Untuk melaksanakan tugasnya Dipati Ukur dibantu sembilan umbul yang tediri dari: Ki Tumenggung Batulayang, Ki Demang Saunggatang, Ki Ngabehi Yudakarti dari Taraju, umbul Malangbong, umbul Medang Sasigar, umbul Cihaur Mananggel, umbul Kahuripan, umbul Sagaraherang dan umbul Ukur. Keterangan mengenai Batulayang sebagai salah satu dari sembilan umbul yang berada di bawah Tatar Ukur, menurut Eddy S. Ekadjati, dapat ditemukan dalam Ceritera Dipati Ukur versi Sukapura. Kesembilan umbul tadi menurut A. Sobana dalam tesisnya yang berjudul Bupati-Bupati Priangan: Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19 disebut sebagai Ukur Sasanga (umbul yang sembilan) dan Batulayang adalah salah satunya.
Penyerangan ke Batavia yang dilakukan oleh Dipati Ukur mengalami kegagalan. Dipati Ukur kemudian memilih memberontak kepada kekuasaan Mataram ketimbang menanggung hukuman yang akan dijatuhkan oleh Sultan Agung. Dipati Ukur menjadikan Gunung Lumbung di wilayah Batulayang sebagai pertahanannya menghadapi serangan pasukan Mataram.
Naskah Ceritera Dipati Ukur versi Sukapura kemudian mencatat Dipati Ukur beserta delapan umbulnya kemudian menyatakan menyerah kepada Tumenggung Bauraksa yang telah mengepung benteng Alang-alang selama dua setengah tahun.
Dipati Ukur dan delapan umbulnya kemudian dijatuhi hukuman ketika tiba di Mataram. Dipati Ukur dipenggal kepalanya, Tumenggung Batulayang direbus dalam air mendidih, Ngabehi Yudakarti digantung di pintu gerbang dan setiap orang yang melewatinya harus mengerat daging tubuhnya dan Tumenggung Saunggatang dibakar setalah tubuhnya dibungkus ijuk. Lima orang umbul lainya yaitu umbul Malangbong, umbul Medang Sasigar, umbul Kahuripan, umbul Cihaur Mananggel dan umbul Sagaraherang badannya ditumbuk bersama-sama. Bentuk hukuman yang sama juga dicatat dalam naskah Ceritera Dipati Ukur versi Batavia.
Jumlah pejabat Tatar Ukur yang berbeda dicatat dalam Ceritera Dipati Ukur versi Sumedang. Naskah berbahasa Jawa yang disimpan di Universitas Leiden, Belanda, mencatat total jumlah yang dijatuhi hukuman mati oleh sultan Mataram adalah 12 orang yang tediri dari: Dipati Ukur, Tumenggung Batulayang, Aria Gede, Ki Demang Gede, Demang Tisnajaya, Ngabehi Kahuripan, Demang Saunggatang, Nagabehi Yudakarti, Ngabehi Wirakartika, Ngabehi Cucuk, Ngabehi Heren Ngowo dan Rangga Gajah Palembang. Ada dua nama dalam daftar tersebut yang merupakan identitas yang sama yaitu Tumenggung Batulayang dan Rangga Gajah Palembang. Penjelasannya akan diuraikan di bagian lain dari tulisan ini.
Sebagai akibat dari kekalahan Dipati Ukur, wilayah Tatar Ukur kemudian dibagikan oleh Sultan Mataram kepada pihak yang berjasa membantu memadamkan pemberontakan ini. Termasuk wilayah Batulayang yang dengan dua daerah lain yaitu Cihaur Manenggel dan Medang Sasigar diberikan kepada Ki Tumenggung Tanubaya. Sedangkan wilayah umbul Ukur, Kahuripan dan Sagaraherang diberikan kepada Tumenggung Wiraangun-angun. Tiga umbul wilayah Ukur yang tersisa yaitu Saunggatang, Taraju dan Malangbong dianugerahkan bagi Tumenggung Wiradadaha.
Wilayah Kabupaten Gajah (Batulayang)
Sebagai salah satu wilayah Tatar Ukur, informasi sejarah Batulayang banyak ditemukan dalam naskah-naskah mengenai Dipati Ukur. Salah satu kajian yang sangat lengkap mendokumentasikan naskah-naskah yang terkait dengan Dipati Ukur adalah buku Ceritera Dipati Ukur (Karya Sastra Sejarah Sunda) karya Dr. Eddy Suhardi Ekadjati.
Mengenai legenda asal-usul nama Batulayang juga dapat ditemukan dalam salah satu naskah yang terdapat pada buku tadi yaitu dalam kumpulan naskah Ceritera Dipati Ukur versi Galuh. Bagus Sutapura merupakan senapati dari Kawasen yang ditunjuk oleh bupati Galuh Bendanagara untuk menyerang dan menangkap Dipati Ukur di Gunung Lumbung. Usaha ini dilakukan setelah pasukan dari Mataram yang dipimpin Tumenggung Narapaksa mengalami kegagalan karena setiap kali akan mendaki Gunung Lumbung pasukan Dipati Ukur akan menggelindingkan batu sakti seukuran lumbung yang dinamai si Munding Jalu (Kerbau Jantan).
Pada nasakah lain batu ini disebut sebagai Si Munding Lalampah (Kerbau yang berjalan-jalan). Nama Gunung Lumbung kemungkinan diambil dari batu-batu besar seukuran lumbung yang menjadi senjata pertahanan pasukan Dipati Ukur.
Gunung Lumbung dengan jelas disebutkan dalam naskah-naskah yang bercerita mengenai Dipati Ukur bahwa gunung ini terletak di daerah Batulayang. Hal ini diperkuat laporan P. van Oort dan S. Muller pada tahun 1833 bahwa Gunung Lumbung terletak di daerah Cililin yang merupakan salah satu dari distrik Batulayang. Distrik lainnya yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Batulayang adalah Kopo (Soreang), Cisondari (Ciwidey), Rongga (Cililin), Cihea dan Rajamandala.
F. de Haan menuliskan bahwa Kabupaten Batulayang atau Gajah terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung kini. Menurutnya lokasi tepatnya kabupaten ini berada di sebelah barat, kabupaten Parakanmuncang, di sebelah timur kabupaten Cianjur, di sebelah utara kabupaten Sukapura dan di sebelah selatan kabupaten Bandung.
Buku yang ditulis oleh F. de Haan, "Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het Nederlansche bestuur tot 1811 deel I"(1910) juga memuat peta yang menunjukkan lokasi Kabupaten Layang. Peta mengenai kawasan Priangan di awal abad XX ini masih mencantumkan nama daerah Batulayang yang terletak di sekitar daerah Ukur, Bandung dan Cianjur. Peta lainnya yang berangka tahun 1778 juga menggambarkan lokasi Kabupaten Batulayang yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Bandung.
Silsilah Trah Kabupaten Gajah (Batulayang)
Leluhur Bupati Batulayang berdasarkan naskah Babad Bupati Bandung berpangkal dari Prabu Siliwangi. Adipati Kertamanah yang dimakamkan di muara Sungai Cisondari adalah canggah dari Prabu Siliwangi. Ki Gedeng Rungkang, putera tertua Adipati Kertamanah, kemudian menikahi puteri tertua Dipati Ukur. Garis keturunan inilah yang kemudian menurunkan bupati-bupati Batulayang.
Naskah Babad Bupati Bandung juga mencatat kedudukan regent (bupati) Batulayang mulai disandang oleh generasi kesepuluh dari Prabu Siliwangi, secara berurutan mulai dari Rangga Abdulrahman yang memerintah hingga 1770, Dalem Tumenggung Adikusumah yang duduk sebagai bupati dari 1770-1786 dan yang terakhir Dalem Tumenggung Anggadikusumah (1794-1802).
Kabupaten Batulayang sempat berada dalam perwalian Kabupaten Bandung dari 1786 hingga 1794 yaitu ketika Raden Bagus masih terlalu kecil untuk menggantikan ayahnya Tumenggung Adikusumah. Raden Bagus inilah yang setelah dinobatkan sebagai bupati Batulayang kemudian mengganti namanya menjadi Tumenggung Rangga Adikusumah.
Dalam silsilah leluhur Batulayang terdapat nama Kyai Gedeng Kabul atau yang ditulis oleh Moh. A. Affandie dalam bukunya Bandung Baheula Djilid I sebagai R. Moh. Kabul yaitu bupati Batulayang yang datang berkunjung kepada Sultan Palembang. Sebagi cinderamata untuk kunjuangan ini, Sultan Palembang kemudian memberikan seekor gajah. Sehingga R. Moh Kabul mashur dengan julukan Dalem Gajah. Lubuk tempat memandikan gajah inilah yang kemudian dikenal penduduk sebagai Leuwi Gajah (jeram gajah). Sedangkan Batulayang kemudian dikenal pula dengan sebutan Kabupaten Gajah. Tak mengherankan hingga kini daerah disekitar Cipatik terdapat nama-nama seperti Gajah Eretan dan Gajah Mekar.
Trah keluarga Dalem Gajah ini kemudian bercampur dengan keluarga Bupati Bandung melalui perkawinan. Hubungan kekeluargaan ini dimulai dari masa awal kedua kabupaten ini berdiri.
Nyi Raden Banten, puteri dari Dalem Anggadireja I (bupati Bandung kedua, 1681-1704) menikah dengan Bupati Batulayang, Rangga Abdulrahman. Diteruskan pernikahan antara putri dari Bupati Bandung, Tumenggung Anggadireja II (1747-1763) yaitu Nyi Raden Nimbangmantri dengan Dalem Tumenggung Adikusumah, Bupati Batulayang yang dimakamkan di Gajah, Cicaheum. Tumenggung Adikusumah adalah putera dari Rangga Abdulrahman.
R.A.A. Wiranatakusumah II, Bupati Bandung (1794-1829) kemudian menikahi Nyi Raden Kendran, putri dari Tumenggung Adikusumah dengan Nyi Raden Nimabangmantri.
Bananagara saudara dari Dalem Kaum (R.A.A Wiranatakusumah II) menikah dengan Dalem Tumenggung Anggadikusumah, Bupati Batulayang terakhir. Dalem Tumenggung Anggadikusumah merupakan putera dari Dalem Tumenggung Adikusumah atau cucu Rangga Abdulrahman. Putera dari Anggadikusumah yaitu Raden Arya Anggadikusumah, kemudian menjadi Patih Bandung setelah Kabupaten Batulayang dihilangkan.
Pertalian pernikahan antara dua keturunan keluarga bupati Batulayang dengan Bandung masih terus berlanjut walaupun kabupaten Batulayang telah hilang. Seperti yang terjadi saat Bupati Bandung R. Kusumadilaga (1874-1893) menikahi R. Sukarsih, perempuan bangsawan keturunan Batulayang. Putera pasangan R. Kusumadilaga dan R. Sukarsih adalah R.A.A. Wirantakusumah V (Dalem Haji) yang merupakan Bupati Bandung (1920-1921 dan 1935-1942)
Hubungan kekerabatan melalui jalan pernikahan inilah yang membuat erat dan dekatnya hubungan keluarga antara Batulayang dengan Kabupaten Bandung. Hal ini juga diakibatkan letak kedua kabupaten ini yang saling bertetangga dan jaraknya tak terlalu jauh.
me
Batulayang Dihilangkan dan Digabung
Suatu ketika Tuan Gubernur Jenderal melakukan pemeriksaan ke daerah Priangan. Mula-mula Ia memeriksa daerah Indramayu, Sumedang, Limbangan, Parakan Muncang dan Bandung. Kemudian Gubernur Jenderal berencana untuk memeriksa Kabupaten Batulayang setelah menginap di Bandung. Ia kemudian memerintahkan untuk dilakukan penyambutan saat tiba di Gajah.
Pada saat itu untuk mencapai ibu kota Kabupaten Batulayang hanya bisa ditempuh dengan menggunakan jalur transportasi sungai. Biasanya penyambutan akan dilakukan di daerah Cilampeni namun ketika Gubernur Jenderal tiba tidak ada rombongan penyambutan.
Gubernur Jenderal dengan disertai Bupati Bandung kemudian mendatangi ibu kota Batulayang untuk memeriksa apa gerangan yang terjadi, tetapi ketika sampai di ibu kota kabupaten dalam keadaan sepi. Penduduk yang berada di pendopo dan di daerah kaum semua tertidur.
Bupati Batulayang kemudian dibangunkan dan diminta menemui Gubernur Jenderal yang telah menunggu di pendopo. Bupati Batulayang membutuhkan waktu cukup lama untuk mempersiapkan diri menemui Gubernur Jenderal yang semakin marah karena harus menanti.
Ketika Bupati Batulayang datang menghadap Gubernur Jenderal kemudian bertanya apa yang menyebabkan seluruh penduduk tidur dan tidak ada rombongan penyambutan bagi dirinya. Menurut Bupati Batulayang kota dalam keadaan sepi karena penduduknya semua terjaga hingga larut malam bahkan sebagian ada yang minum-minum hingga mabuk.
Mendengar penjelasan tersebut Gubernur Jenderal kemudian menjatuhkan hukuman bagi Kabupaten Batulayang. Hukuman tersebut berupa dileburnya wilayah Kabupaten Batulayang ke dalam Kabupaten Bandung. Pejabat-pejabat Kabupaten Batulayang kemudian menjadi bawahan dan bekerja bagi Bupati Bandung. Sedangkan keturunan Bupati Batulayang dijadikan Patihan Bandung secara turun-temurun mulai saat itu.
Peristiwa penggabungan Batulayang dengan Bandung menurut naskah Babad Bupati Bandung terjadi pada tahun 1802 -- sama seperti yang ditulis oleh F. de Haan. Sedangkan alasan pembubaran Kabupaten Batulayang de Haan terjadi karena perangai Tumenggung Anggadikumsumah berperilaku buruk dan boros. Bahkan untuk Bupati Batulayang tersebut dijatuhkan hukuman buang ke Batavia hingga meninggal dan dikuburkan di daerah Mangga Dua.
Babad Bupati Bandung mencatat alasan Bupati Batulayang Tumenggung Anggadikusumah menerima keputusan ini karena menurutnya keluarga Bupati Bandung adalah masih saudaranya sendiri dari hubungan perkawinan yang terjadi antara dua keluarga Bupati ini.
Orang-orang Terpandang Keturunan Batulayang
Memasuki abad XX beberapa keturunan dari trah Batulayang kemudian tercatat dalam lembaran sejarah. Mereka berkiprah dalam lingkup daerah maupun nasional. Setidaknya ada tiga orang tokoh yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Ada yang memiliki keterkaitan secara organisasi maupun hubungan darah.
Daeng Kanduruan Ardiwinata adalah Ketua Umum Paguyuban Pasundan yang pertama (1914-1916). D.K. Ardiwinata juga dikenal sebagai sastrawan Sunda. Karyanya yang berjudul Baruang Kanu Ngarora (1914) dianggap sebagai novel berbahasa Sunda pertama dengan struktur roman modern. Kala itu D.K. Ardiwinata adalah salah satu redaktur Balai Pustaka.
Menilik namanya, dapat diketahui bila D.K. Ardiwinata bukanlah asli Sunda. Darah bangsawan Bugis mengalir dari ayahnya, Baso Daeng Pasau atau Daeng Sulaeman anak raja Lombo, Karaeng Yukte Desilau yang dibuang ke Bandung oleh pemerintah kolonial. Ketika berada dalam hukuman pembuangan inilah Baso Daeng Pasau menikahi seorang perempuan Sunda bernama Nyi Mas Rumi. Menurut Tini Kartini dalam bukunya Daeng Kanduruan Ardiwinata Sastrawan Sunda (1979), ibunda dari D.K. Ardiwinata inilah yang memiliki darah keturunan Batulayang. D.K. Ardiwinata juga aktif dalam Kumpulan Wargi Bandung, suatu perkumpulan yang mempersatukan keturunan-keturunan keluarga bangsawan Bandung, Timbanganten, Dayeuhkolot dan Batulayang (Gajah).
Keturunan Batulayang lainnya yang terkemuka adalah kakak beradik R. Ating Atmadinata dan R. Oto Iskandar di Nata. Menurut Nina Herlina Lubis dalam bukunya Si Jalak Harupat: Biografi R. Oto Iskandar di Nata, 1897-1945 (2003), ayahanda R. Oto Iskandar di Nata yaitu R. Natadimaja (R. H. Rachmat Adam) memiliki garis keturunan Batulayang (Gajah). R. Ating Atmadinata adalah kakak tertua dari R. Oto Iskandar di Nata, yang terkenal sebagai walikota Bandung pertama dari kalangan pribumi.
Jika D.K. Ardiwinta tercatat sebagai ketua umum Paguyuban Pasundan yang pertama dan R. Ating Atmadinata adalah walikota Bandung pertama (1941-1944) dari kalangan pribumi. R. Oto Iskandar di Nata adalah ketua umum Paguyuban Pasundan yang berhasil membesarkan dan memajukan organisasi masa ini. Dalam masa kepemimpinannya (1930-1942) Paguyuban Pasundan memiliki usaha di berbagai bidang di antaranya lembaga keuangan dan penerbitan surat kabar.
Oto Iskandar di Nata adalah Mentari Negara di awal kemerdekaan ini dikenal dengan julukan “Si Jalak Harupat” yang, menurut Sjarif Amin dalam bukunya Keur Kuring di Bandung, diberikan oleh Wirasendjaja yang sering menulis untuk surat kabar Sipatahoenan milik Paguyuban Pasundan. Julukan R. Oto Iskandar di Nata inilah yang kini diabadikan sebagai nama stadion di Kabupaten Bandung.
Lokasi stadion Si Jalak Harupat terletak tak jauh dari komplek permakaman Dalem Gajah, leluhur R. Oto Iskandar di Nata di Kampung Gajah Eretan, Desa Gajah Mekar, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Walaupun secara wilayah kabupaten Batulayang ini telah hilang, tetapi nama keturunan tetap abadi menjadi nama stadion kebanggaan warga Kabupaten Bandung.
Penulis: Ariyono Wahyu Widjajadi
Editor: Zen RS