Menuju konten utama

Jalan Siliwangi dan Pajajaran di Wilayah Majapahit

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, nama ruas jalan Siliwangi dan Pajajaran bersanding dengan Brawijaya dan Majapahit.

Jalan Siliwangi dan Pajajaran di Wilayah Majapahit
Papan nama Jalan Pajajaran di kawasan Kota Yogyakarta di Sleman, DI Yogyakarta. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Pada Selasa (3/10) kemarin, ada nama jalan baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang bercita rasa Sunda. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang memerintah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat resmi memberi nama dua ruas jalan di Yogyakarta dengan nama raja Siliwangi dan kerajaan Sunda Pajajaran yang eksis pada abad ke-14di Jawa Barat.

Jalan Pajajaran di DIY tepatnya ada di simpang empat Jombor hingga simpang tiga Maguwoharjo sepanjang 10 km. Sedangkan jalan Siliwangi sepanjang 8.58 km berada di simpang empat Pelem Gurih hingga simpang empat Jombor.

Apa yang dilakukan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah restu Sri Sultan Hamengku Buwono X dinilai mendobrak sejarah hubungan Sunda dan Jawa yang dalam hal ini diwakili oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, masih mewarisi beberapa warna sentimen.

Ini merujuk pada peristiwa masa lalu yaitu Pasundan Bubat atau Perang Bubat yang terjadi sekitar 1357. Perang itu diyakini menjadi puncak perselisihan antara Mahapatih Gadjah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat Trowulan.

Baca juga: Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?

Peresmian tersebut dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Anggota DPR RI Popong Otje Djundjunan dan sejumlah tokoh masyarakat Sunda. Gubernur Aher sendiri menyambut baik penamaan dua ruas jalan di Yogyakarta dengan cita rasa khas Sunda.

Menurut Aher, pasca-peristiwa itu tidak jarang muncul luapan emosi kolektif dari kedua belah pihak yang pada saat-saat tertentu. Misalnya pandangan dan stereotip soal larangan perkawinan campuran, hingga pemilihan presiden.

"Masih ada seperti itu meskipun seiring berjalannya waktu peristiwa tersebut makin terkikis dan sekarang sudah tidak ada," ungkapnya.

Sedangkan menurut Sultan Hamengku Buwono X, peristiwa itu selanjutnya memicu sentimen historis orang Sunda dan jawa, yang secara sadar maupun tidak, telah menghambat hubungan-hubungan sosial di antara masyarakat dari belahan timur dan tengah Pulau Jawa dengan yang di barat.

"Perjalanan bangsa ini menuntut kita bersama melupakan sejarah masa lalu. Jika ada kesalahan atau kekeliruan di masa lalu, mungkin perlu dimaafkan," kata dia.

Baca juga: Rampogan, Cara Jawa Mengalahkan Belanda

Sebenarnya penamaan beberapa ruas jalan di DIY bukan hanya bersumber dari tokoh dan kerajaan dari Sunda saja. Dalam kesempatan yang sama Gubernur DIY juga sekaligus meresmikan jalan dengan nama tokoh dan kerajaan dari Jawa Timur seperti Majapahit dan Brawijaya.

Jalan Majapahit berawal dari Simpang Tiga Janti sampai Simpang Empat Jalan Wonosari dengan panjang ruas jalan 3,2 kilometer. Sedangkan Jalan Brawijaya, dimulai dari Simpang Empat Dongkelan sampai Simpang Tiga Gamping, dengan panjang ruas jalan 5,86 kilometer.

Perubahan nama ruas jalan yang terletak di lingkar luar atau Ringroad ini telah dituangkan melalui Keputusan Gubernur DIY nomor 166/Kep/2017 yang ditandatangani oleh Gubernur DI Yogyakarta pada 24 Agustus 2017 tentang Penamaan Jalan Arteri (Ringroad) Yogyakarta.

Penamaan jalan di Indonesia memang tidak melulu diambil dari tokoh jaman kerajaan atau pahlawan lokal dan nasional. Patrice Lumumba misalnya, ia adalah pahlawan kemerdekaan Kongo, sebuah negeri di benua Afrika yang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme kulit putih sejak 1950an.

Di Indonesia, nama ini dipopulerkan oleh Sukarno. Jalan Angkasa di daerah Kemayoran Jakarta Pusat dulu bernama Jalan Patrice Lumumba. Nama jalan yang sama masih dapat ditemui di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Sebaliknya di luar negeri, Sukarno juga lazim dijadikan nama jalan setempat seperti Soekarno Rd di provinsi Khyber Pakhtunkhwa, provinsi Pakistan yang berbatasan dengan Afghanistan, serta Rue Soukarno di Rabat, ibukota Maroko.

Di Kota Bandung, jalan dengan menggunakan nama orang asing dari Eropa justru lebih banyak lagi. Sebut saja jalan Otten, diambil dari nama seorang dokter Louis Otten asal Belanda yang pernah mengembangkan vaksin cacar di Hindia Belanda pada 1926. Deretan nama jalan bercita rasa tokoh Eropa lainnya di Bandung adalah Jalan Pasteur, Jalan Bosscha, Jalan Nyland, Jalan Westhoff dan lain sebagainya.

Bagaimanapun, DIY sudah memakai nama tokoh dan kerajaan baik dari Sunda dan Jawa yang berseteru dalam berbagai narasi cerita Perang Bubat. Lalu, bagaimanakah dengan penamaan kerajaan dan tokoh Sunda di Jawa Timur sendiri?

Baca juga:

Infografik Jalan siliwangi pajajaran

Di Kota Malang yang pernah berdiri kerajaan Singosari, Pajajaran menjadi nama jalan baik di Malang Kota maupun Kabupaten. Di Surabaya yang notabene ibukota Provinsi Jawa Timur, Jalan Pajajaran dapat ditemui di wilayah Keputran, Tegalsari yang dapat menghubungkan antara Jalan Sriwijaya dan Jalan Raya Dinoyo.

Tidak hanya Surabaya dan Malang, nama jalan Pajajaran juga dapat ditemui di berbagai kota lainnya di Jawa Timur seperti di Banyuwangi, Jember, Kediri, Madiun dan Gresik. Sedangkan untuk nama jalan Siliwangi, dapat ditemui di Ngawi dan Blitar.

Adanya nama-nama jalan di Jawa Timur yang menggunakan nama Siliwangi dan Pajajaran sekaligus meruntuhkan mitos yang beredar tentang tidak adanya dua nama ini di daerah Jawa Timur yang sangat kental dengan aroma Majapahit.

Tetapi di Kota Mojokerto sendiri, yang notabene jantung pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit di masa lampau sekaligus diyakini sebagai lokasi kelam bagi para utusan kerajaan Sunda, hingga saat ini belum ditemukan nama jalan Pajajaran maupun Siliwangi.

Baca juga artikel terkait YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf