tirto.id - Sekarang kata "Sunda" hanya dikenal sebagai salah satu etnis di Indonesia yang mayoritas bermukim di Pulau Jawa bagian barat. Namun, siapa sebenarnya "urang Sunda"?
Pertanyaan ini setidaknya dapat diurai dengan dua pendekatan yakni geografis dan kekuasaan.
Menurut Ptolemaus, ahli ilmu bumi dari Yunani yang hidup antara tahun 90 hingga 168 Masehi, nama Sunda sudah dikenal sejak abad pertama Masehi. Kepulauan Sunda berada ke arah timur dari Ceylon. Ptolemaeus menyebut sebuah pulau subur dengan nama Javan Dwipa. (Arnold Hermann Ludwig Heeren, George Bancroft, Historical Researches Into the Politics, Intercourse, and Trade of the Principal Nations of Antiquity: Carthaginians, Ethiopians and Egyptians, 1983. hlm 452).
Sementara Edi S. Ekadjati dalam buku Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, mengutip dari R.W. van Bemmelen, menerangkan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul.
“Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda (circum-Sunda system) itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian barat mulai Maluku bagian selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian, bagian selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus ke barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma,” tulis Edi S. Ekadjati, Guru Besar dari Universitas Padjajaran.
Dua keterangan di atas memperlihatkan istilah "Sunda", secara geografis, dulunya jauh lebih luas dari sekadar merujuk bagian barat Pulau Jawa saja -- yang kini dikenal sebagai wilayah Provinsi Jawa Barat. Ia melingkupi seluruh Jawa dan bahkan pulau-pulau lainnya di Nusantara (baca: Sejarah Bahasa Sunda dalam Kebudayaan Cetak).
Kawasan Nusantara pada atlas yang dibuat Giacomo de Rossi pada tahun 1683, misalnya, disebut dengan Isole della Sonda (Kepulauan Sunda). Sementara pada sebuah peta kuno buatan Jerman tahun 1719, kawasan Nusantara dinamakan Die Inseln von Sonte, dan terdapat sebuah gambar yang diberi judul Habitans des Isles dela Sonde (penduduk kepulauan Sunda).
Tidak heran jika beberapa binatang endemik di Jawa pun menggunakan kata "Sunda" dalam nama Latin-nya. Misalnya dua binatang termasyhur dari Jawa, yaitu harimau jawa dan badak jawa. Harimau jawa yang disinyalir sudah punah itu punya nama Latin: Panthera tigris sondaica. Sedangkan badak jawa, yang masyhur karena bercula satu dan kini masih hidup di ujung barat Pulau Jawa, bernama Latin: Rhinoceros sondaicus.
Pada perjalanannya, kata "Sunda" perlahan mengalami penyempitan arti. Jika merunut sejarah kerajaan yang pernah berkuasa di Jawa bagian barat, yaitu Tarumanagara, Ajip Rosidi menilai bahwa di masa itu sudah ada penduduk "asli" yang sudah hidup di kawasan tersebut selama bergenerasi-generasi (baca: Jalan Panjang Lahirnya Kamus Bahasa Sunda).
Dalam bukunya yang berjudul Manusia Sunda, Ajip mensinyalir bahwa Tarumanagara mungkin memang sebuah kerajaan dari India— hal ini ditengarai dari nama Purnawarman yang memperlihatkan pengaruh India dan tulisan di prasasti yang menggunakan aksara yang berasal dari India. Namun, lanjut Ajip, tak mungkin semua anggota masyarakatnya adalah pendatang.
“Adanya kenyataan bahwa kerajaan tersebut meninggalkan hasil karya yang cukup mengagumkan (saluran air untuk keperluan pertanian) memberikan petunjuk bahwa pada waktu itu di daerah tersebut telah berkembang kehidupan budaya pertanian yang maju. Dan kalau begitu niscaya manusia-manusia pendukung budaya itu pun merupakan manusia yang sudah maju juga pada zamannya,” tulis Ajip.
Dari sana Ajip kemudian menyimpulkan bahwa zaman masyarakat Sunda paling tidak sudah mulai sejak abad ke-5 (masa kekuasaan Purnawarman yaitu 395-434 M), dan tak mustahil lebih awal lagi, lanjutnya. Bila melihat silsilah kekuasan Tarumanagara, kerajaan ini memang mempunyai dua raja pendahulu Purnawarman, yaitu Jayasinghawarman Rajadirajaguru (358-382 M), dan Rajaresi Dharmayawarman (382-395 M), artinya mungkin saja apa yang ditulis Ajip ihwal masyarakat Sunda yang telah ada sebelum Purnawarman berkuasa berlangsung di masa dua pendahulunya tersebut.
Kata "Sunda" juga sudah muncul di zaman kekuasaan Purnawarman. Saleh Danasasmita, dalam buku Menemukan Kerajaan Sunda, menjelaskan bahwa raja ketiga Tarumanagara tersebut membangun ibukota kerajaan baru pada 397 M yang letaknya lebih dekat ke pantai dan dinamai Sundapura (Baca: Legenda Lagu Sunda Mengkritik Kekuasaan).
Sementara Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Dalam prasasti yang ditemukan di kampung Pasir Muara, yang dibuat pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi, tak jauh dari Telapak Gajah peninggalan Purnawarman, terdapat tulisan berikut:
“Ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda” (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat: dalam tahun (saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada Raja Sunda.”
Edi S. Ekadjati menambahkan bahwa prasasti yang memberitakan Raja Sunda pada 536 Masehi tersebut merupakan gejala bahwa ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah.
Setelah raja Tarumanagara ke-12 (Linggawarman 666-669) meninggal, menantu Linggawarman yang bernawa Tarusbawa, dengan maksud ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang pamornya terus merosot, kemudian mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Kerajaan ini yang dikenal pula dengan sebutan Kerajaan Pakuan Pajajaran, mengalami puluhan kali pergantian kekuasaan. Termasuk di dalamnya masa kekuasaan Sri Baduga Maharaja atau Jayadewata atau lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi, dan berakhir di masa kekuasan Ragamulya Suryakancana pada 1579 Masehi (Sunda banyak melahirkan para diplomat penting. Baca: Orang Sunda di Antara Para Diplomat)
Sunda yang semula dikenal sebagai sebuah kawasan geografis yang terbentang luas, kemudian mengerucut menjadi sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasannya, kini dikenal sebagai sebuah etnik dengan penutur bahasa daerah terbesar kedua di Nusantara.
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Zen RS