Menuju konten utama

Orang Sunda di Antara Para Diplomat

Entah kebetulan atau tidak, diplomat-diplomat Indonesia didominasi oleh orang Sunda. Banyak orang Sunda sudah jadi atase, duta besar bahkan menteri luar negeri yang mewakili negara Republik Indonesia dalam pergaulan internasional.

Orang Sunda di Antara Para Diplomat
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan keterangan pers pada acara Napak Tilas Sejarah Diplomasi Indonesia di kediaman sekaligus kantor pertama Kementerian Luar Negeri rumah Ahmad Soebardjo di Jakarta, Jumat (19/8). Napak tilas tersebut dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan ke-71 RI sekaligus peringatan hari jadi Kementerian Luar Negeri yang jatuh pada 19 Agustus. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/16.

tirto.id - Orang Sunda dan diplomasi adalah hal yang cukup berkaitan erat. Berhubungan dengan bangsa lain pun bukan hal baru bagi orang Sunda. Sebuah prasasti kuno menceritakan bagaimana orang Sunda sudah punya hubungan dengan Tiongkok. Di masa lalu, seperti tertuang dalam Suma Oriental, yang ditulis Tome Pires, orang Sunda dianggap jujur dan pemberani. Surawisesa atau Raja Samiam pernah membuat perjanjian dengan Portugis yang diwakili Enrique Leme di Malaka pada abad XV. Seperti kemudian tertuang dalam Prasasti Sunda Portugis yang ditemukan di Kali Besar, Jakarta Barat.

Tentu saja sebagian orang, termasuk yang hanya melihat sumber Portugis itu, beranggapan itulah pertama kalinya orang Sunda terlibat hubungan internasional. Padahal, di tanah Sunda sendiri, sudah ada kerajaan yang tercatat punya hubungan dengan Kerajaan di Tiongkok daratan sebelum abad V. Setelah Republik Indonesia berdiri, lebih banyak orang Sunda yang berhubungan dengan bangsa lain. Setidaknya banyak orang Sunda jadi diplomat, Duta Besar bahkan menteri luar negeri. Tabiat tenang, sopan santun serta halus bicaranya, membuat orang Sunda berbakat jadi diplomat.

Ali Alatas dan Orang Sunda Lain

Jika saja Ramadhan KH meneruskan studinya di Akademi Dinas Luar Negeri, Jakarta, dia akan jadi diplomat. Belakangan dia sudah terkenal sebagai penulis terpandang di Indonesia. Istrinya, orang Sunda juga, Pruistin Atmadjasaputra, adalah lulusan Akademi itu dan belakangan jadi diplomat di luar negeri. Di Akademi itu, ada blasteran Arab-Sunda bernama Ali Alatas. Ibunya orang Sunda. Ali lulus di tahun 1954. Dia kemudian berkarier sebagai Diplomat dan akhirnya menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia.

Sebelum Ali Alatas, Mochtar Kusumaatmadja adalah orang Sunda pertama yang menjadi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dari 1978 hingga 1988. Menteri Dalam Negeri Indonesia, baru orang Sunda, yakni RAA Wiranatakusumah. Sebelum jadi menteri, Mochtar dikenal sebagai ahli hukum. Selain Ali dan Muchtar, ada Hasan Wirayuda dan Marty Natalegawa yang merupakan diplomat berdarah Sunda dan menjadi menlu.

Hasan Wirayudha mengisi pos menlu sejak 2001 hingga 2009. Sebelumnya, Hasan pernah menjadi Direktur Organisasi Internasional, dari tahun1993 hingga 1997. Setelah itu, Hasan ditunjuk sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Mesir merangkap Djibouti, dari 1997 hingga 1998. Lalu sebagai Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dari 1998 hingga 2000. Hasan

Marty Natalegawa, yang berpendidikan luar negeri, berkarier di Departemen Luar Negeri sejak 1986. Ia memulai kariernya sebagai staf Badan Penelitian dan Pengembangan di departemen itu. Pada 2002, kariernya bersinar. Dia ditunjuk sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri hingga 2005. Selanjutnya dia dipercaya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris Raya dan Republik Irlandia, menggantikan Juwono Sudarsono, yang diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Marty juga pernah menjadi Duta Besar Indonesia di PBB, sejak 5 September 2007 hingga 22 Oktober 2009, lalu menjadi Presiden Dewan Keamanan PBB.

Djuanda Kartawijaya, orang Sunda yang pernah jadi perdana menteri, barangkali bukan orang Kementerian Luar Negeri. Namun, namanya cukup penting dalam hukum laut internasional. Orang mengenal Deklarasi Djuanda mengenai garis batas laut terluar, yang semula 3 mil menjadi 12 dari garis pantai.

Selain jadi menteri luar negeri. Tentu lebih banyak orang Sunda yang pernah jadi duta besar, atau posisi diplomatik lainnya. Nana Sutresna Sastradidjaja dan Ilen Suryanegara termasuk dua orang Sunda, dari jalur nonmiliter yang menjadi duta besar. Nana Sutresna pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya. Diplomat kelahiran Ciamis ini berkarir di Departemen Luar Negeri sejak 1957. Sebagai diplomat, dia pernah juga dikirim ke Korea Utara dan Korea Selatan, untuk meredakan ketegangan abadi dua negara serumpun itu.

Ilen Suryanegara, yang juga dikenal sebagai budayawan penggagas Taman Ismail Marzuki, pernah menjadi duta besar di Tunisia dan Alzajair. Sebelumnya, dia pernah bekerja di beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di beberapa negara Eropa.

Selain nama-mana senior tadi, duta besar yang dianggap berdarah Sunda dari kalangan sipil adalah Eki Syachrudin yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada, Iwan Wiriaatmadja sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bangladesh dan Rizali Wilman Indrakesuma yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk India. Ada pula Desra Percaya, Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merangkap Duta Besar RI untuk Bahama, Jamaika, Guatemala dan Nikaragua.

Mereka Yang "Didutabesarkan"

Sudah banyak orang Sunda masuk militer dan pangkatnya di atas kolonel. Mereka tak melulu bertugas di pasukan. Ada juga yang diperbantukan sebagai atase. Kolonel Rachmat Kartakusumah sebagai Atase Militer Indonesia di Paris, Perancis, pada 1957 hingga 1961. Menurut Satrio dalam Perjuangan dan Pengabdian (1986), penunjukan Rahmat itu adalah usul Ilen Suryanegara yang menjabat Sekretaris KBRI di Paris. Setelahnya, Rachmat tak pernah lagi di Departemen Luar Negeri.

Raden Eddy Martadinata pernah jadi orang nomor satu di Angkatan Laut sejak 1959 hingga 1966. Dengan pangkat Komodor hingga Laksamana dia menjadi menteri/Panglima Angkatan Laut kepercayaan Soekarno. Sebaliknya, di bawah Martadinata, Angkatan Laut pun begitu loyal kepada Soekarno sang pemimpin besar Revolusi. Jelang lengsernya Soekarno, Martadinata dijadikan Duta besar Indonesia untuk Pakistan. Pada 6 Oktober 1966, dia bersama tamu negara dari Pakistan naik sebuah helikopter di daerah Puncak. Helikopter naas itu menabrak gunung, Martadinata dan tamu negara asal Pakistan itu meninggal dunia.

Beberapa bulan sebelum kematian Martadinata. Panglima KODAM Siliwangi, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie juga didutabesarkan ke Inggris Raya. Sejak Juni 1966, Adjie yang dikenal loyal pada Soekarno, tak lagi memimpin KODAM terbesar di Indonesia itu. Adjie punya pengalaman bertugas di kedutaan sebelum jadi Panglima Siliwangi. Dia atase militer di Beograd, Yugoslovakia. Dia bertemu istrinya yang merupakan warga negara Yugoslovakia. Adjie menjadi Duta Besar di Inggris hinga 1970.

Di kalangan perwira berbintang, jabatan duta besar seringkali dirasakan seperti sebuah pembuangan. Meski tak semuanya dibuang. Karena terlalu banyak jenderal yang kalah bersaing di posisi komando atau teritorial dan belum memasuki usia pensiun, maka banyak departemen-departemen di masa orde baru yang menerima para jenderal sebagai direktur jenderal, gubernur atau duta besar.

Perwira Sunda lain yang menjadi duta besar antara lain Ishak Djoearsa. Dia Duta Besar Indonesia untuk Kamboja 1975. Tahun berikutnya hampir jadi duta besar di Yugoslovakia. Ahmad Kosasih, yang pernah menjadi pimpinan Krakatau Steel, diangkat juga menjadi duta besar Indonesia untuk Belanda sejak 20 Maret 1980 hinga 1983. Aang Kunaefi Kartawiria, yang mantan Gubernur Jawa Barat, juga pernah jadi diplomat. Dia menjadi Duta Besar Arab Saudi Oman dan Yaman sejak 10 Desember 1985. Sementara Hidayat Martaatmadja, yang pernah jadi Menteri Pos Telekomunikasi dan pariwisata di era Soekarno, dijadikan duta besar di Australia dan New Zeland sejak Februari 1968 hingga Februari 1970.

Baca juga artikel terkait ORANG SUNDA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti