Menuju konten utama
Mozaik

Giyugun, Dari Tentara Sukarela Sampai Pemberontakan di Sumatra

Merasa kekuatan pertahanan militer Jepang di wilayah pendudukan terbilang lemah, Inada Masazumi membentuk giyugun di Sumatra pada 1943 dan bubar tahun 1945.

Giyugun, Dari Tentara Sukarela Sampai Pemberontakan di Sumatra
Header Mozaik Giyugun di Sumatra. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pada 3 Desember 1943, sekitar pukul 05.00 pagi, seorang pemuda kelahiran Kampung Juhar, Tapanuli Utara, bernama Selamat Ginting, pergi meninggalkan rumahnya menuju Kampung Tigabinanga.

Ia hendak bergabung dengan beberapa temannya untuk melanjutkan perjalanan ke Kabanjahe. Mereka disambut oleh Nerus Ginting Suka--tokoh pergerakan di Tanah Karo--yang mengajak para pemuda untuk bergabung ke dalam Giyugun (tentara sukarela) di wilayah Pesisir Timur, Sumatra.

Setelah bermalam di Kabanjahe, mereka diangkut truk militer menuju Pulo Brayan, Medan, yang menjadi tempat pelaksanaan seleksi calon prajurit Giyugun.

Seleksi dimulai dengan perintah kepada setiap pemuda untuk menaiki tangga dan melompat ke kolam renang. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan kesehatan dan data diri oleh panitia yang terdiri dari orang Jepang dan Indonesia.

“Kita ditelanjangi, kemudian diperiksa semuanya, misalnya kudisan apa ndak, termasuk pantat dan kelamin juga diperiksa, dan juga mata,” kenang Selamat Ginting kepada Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005, hlm. 49).

Setelah mengikuti serangkaian tes, Selamat Ginting dan 34 pemuda lainnya dinyatakan lulus seleksi. Mereka kemudian dikirim ke Asrama Helvetia, Pulo Brayan, Medan, untuk mengikuti pelatihan militer prajurit Giyugun selama tiga bulan.

Berawal dari Inspeksi Inada Masazumi

Pembentukan Giyugun di Sumatra dan daerah-daerah lainnya di Asia Tenggara--di Pulau Jawa dikenal dengan nama PETA--tak lepas dari inspeksi yang dilakukan Wakil Kepala Staf Komando Angkatan Darat Jepang untuk Kawasan Selatan, Mayor Jenderal Inada Masazumi, ke wilayah-wilayah pendudukan yang berada di bawah pengawasannya.

Dalam perjalanannya yang dilakukan pada Juni 1943, ia menilai kekuatan pertahanan militer Jepang di wilayah pendudukannya terbilang lemah, meskipun saat itu sudah terbentuk pasukan prajurit bantuan yang dikenal dengan nama Heiho.

Seturut Aiko Kurasawa dalam Giyugun: Tentara Sukarela Pada Pendudukan Jepang di Jawa dan Sumatra (2022), dalam rangkaian inspeksinya, ia bertemu dengan Panglima Angkatan Darat ke-16, Letnan Jenderal Harada Kumakichi, yang melaporkan kesulitannya dalam menarik simpati rakyat Indonesia.

Menurutnya, hal tersebut diakibatkan dari tersebarnya berita tentang pemberian kemerdekaan dari Jepang kepada rakyat Filipina dan Myanmar--saat itu masih bernama Birma--yang menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat Indonesia.

Di samping itu, serangan-serangan balasan Sekutu mulai mengancam Jepang di daerah pendudukannya. Tidak lama setelah inspeksinya selesai, pada Juli 1943, Masazumi mengusulkan pembentukan Giyugun di Kawasan Selatan.

Menurutnya hal itu penting. Selain untuk menambah kekuatan militer Jepang dalam perang, pembentukan Giyugun diharapkan dapat mengikis kekecewaan rakyat Indonesia.

Pada 22 Juli 1943, usulan tersebut diajukan ke Kementerian Angkatan Darat dan Staf Umum di Tokyo. Namun, ditolak. Sebab, mempersenjatai penduduk asli berpotensi menimbulkan bahaya untuk Jepang di wilayah pendudukannya.

Meski begitu, usulan tersebut pada akhirnya mendapat persetujuan dari Perdana Menteri Hideki Tojo. Ia bahkan menggelontorkan dana sebesar 5 juta Yen untuk merealisasikan pembentukan Giyugun.

Pembentukan dan Pelatihan

Dari persetujuan tersebut, Masazumi segera menginstruksikan pembentukan Giyugun di Kawasan Selatan. Di Sumatra, Giyugun dibentuk di empat wilayah, yakni Aceh, Pesisir Barat dan Timur Sumatra, serta Sumatra Selatan.

Perintah tersebut mendapat sambutan dari tokoh pergerakan, ulama, dan bangsawan di Sumatra. Mereka bekerja sama dengan Jepang dalam membantu pembentukan Giyugun di daerah-daerah.

Chatib Suleiman--tokoh nasionalis mantan anggota PNI Baru--memimpin Giyugun Ko’enkai (Perkumpulan Pendukung Giyugun). Organisasi ini bertugas mempropagandakan dan merekrut pemuda untuk bergabung dengan pasukan sukarela tersebut di Padang.

Sedangkan di Aceh, Majelis Agama Islam untuk Bantuan Kemakmuran Asia Timur Raya (MAIBKATRA), yang terdiri dari para ulama seperti Daud Beureu’eh dan Teungku Muhammad Hasbi, turut berkolaborasi dengan Jepang dalam merekrut perwira Giyugun.

Namun, "di Aceh, sebagian besar yang terpilih di angkatan pertama [Giyugun] berasal dari keluarga uleebalang-uleebalang terkemuka,” tulis Anthony Reid dalam Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional (2012).

Pesisir Barat Sumatra menjadi wilayah pertama yang membuka pendaftaran Giyugun, yakni pada pertengahan Oktober 1943 dengan pusat pelatihan di Kota Padang. Satu bulan kemudian, diikuti Aceh dengan pusat pelatihannya di Kuta Raja. Kemudian disusul Pesisir Timur dan wilayah Sumatra Selatan yang masing-masing berpusat di Medan dan Lahat.

Mengutip kembali Mestika Zed (2005), Pemerintah Angkatan Darat ke-25 hanya menetapkan persyaratan umum bagi pendaftaran calon prajurit. Di antaranya, berbadan sehat, berusia 19-30 tahun, dan pernah atau masih duduk di bangku sekolah.

Sedangkan segala urusan teknis, mulai dari pembentukan, pelaksanaan, dan program pelatihan ditentukan oleh garnisun militer di wilayahnya masing-masing secara otonom. Hal ini, sangat berbeda dengan PETA yang memusatkan pelatihannya di Bogor, Jawa Barat.

Setiap peserta yang lulus dalam tahap seleksi, mendapatkan pendidikan baris-berbaris, pendidikan moral bushido, geografi, bahasa Jepang, dan pelatihan penggunaan senjata. Rentang waktu pelatihan di setiap pusat pelatihan berbeda, berkisar antara tiga hingga enam bulan.

Pangkat militer yang disandang para lulusan pelatihan Giyugun di Sumatra adalah chudan-tyo (komandan kompi), shodan-tyo (komandan pleton), dan yang tertinggi menyandang pangkat Letnan Satu.

Setelah lulus pelatihan, perwira Giyugun kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka diberi gaji untuk mengorganisasi kompi dan peleton. Setiap kompi biasanya terdiri dari beberapa perwira dan 200-250 prajurit. Namun, jumlah kompi di setiap wilayah memiliki jumlah yang berbeda, antara 6 sampai 20 kompi.

“Giyugun Aceh adalah yang terkuat di Sumatera, terdiri dari lebih dua puluh kompi yang masing-masing berkekuatan 250 orang. Seluruhnya berjumlah antara 5.000-6.000 orang,” pungkas Anthony Reid (2012).

Memasuki tahun 1944, seiring dengan posisi Jepang yang semakin terancam akibat serangan balasan yang dilancarkan Sekutu, pusat pelatihan Giyugun dibuka kembali di Bukittinggi. Bersamaan dengan itu, dibuka juga Giyugun intelijen di Palembang.

Tak lama kemudian, dibentuk Giyugun khusus pertahanan lapangan udara di Karang Endang dan Pangkalan Brandan. Besar kemungkinan satuan ini diselenggarakan di bawah Divisi Penerbangan ke-9 Jepang pada tahun 1944.

Meski begitu, latihan yang diberikan di dua tempat lapangan udara tersebut, “tidak ada pelatihan pilot, yang ada hanyalah pelatihan Giyugun biasa,” terang Dani Effendy mantan Giyugun Karang Endang kepada Aiko Kurasawa (2002).

Seiring waktu, ketegangan dengan tentara Jepang tidak dapat terhindarkan. Pada November 1944, perwira Giyugun Aceh, Teuku Abdul Hamid Azwar, membawa pergi dua peleton ke gunung sebagai bentuk protes akibat arogansi dan kesewenang-wenangan Jepang.

“Tetapi kemudian terpaksa menyerah setelah Jepang menawan semua keluarganya dengan ancaman akan dibunuh semuanya jika ia tidak menyerah,” tulis tim penyusun buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sumatera Utara (1945-1949).

Sementara Aiko Kurasawa (2022), mencatat pemberontakan di Giyugun di daerah Pematangsiantar pada Juli 1945. Peristiwa berawal dari kemarahan tentara Jepang dengan alasan yang tidak masuk akal.

Akibatnya, hampir seluruh kompi bangkit mengangkat senjata dan berhasil mengurung semua orang Jepang selama satu malam dalam satu ruangan. Namun, aksi tersebut berhasil dipatahkan Kempetai keesokan harinya.

Riwayat Giyugun di Sumatra berakhir menjelang akhir Agustus 1945. Mereka dilucuti dan dibubarkan Jepang tanpa mengetahui berita tentang penyerahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Infografik Mozaik Giyugun di Sumatra

Infografik Mozaik Giyugun di Sumatra. tirto.id/Fuad

Pasca Kemerdekaan

Setelah keluar instruksi pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mantan perwira Giyugun seperti Letnan Dua Maludin Simbolon, Hasan Kasim, Dahlan Djambek, Achmad Tahir, dan Sjamaun Gaharu, menjadi komandan divisi 1-5 TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Sumatra.

Dalam buku Dari Pemberontakan Menuju Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2008), Audrey Kahin mencatat nama Ismael Lengah, mantan perwira Giyugun Padang yang memiliki peran aktif di awal masa kemerdekaan, khususnya, di wilayah Sumatra Barat.

Ia menghimpun mantan perwira Giyugun lainnya ke dalam organisasi yang dibentuknya, Badan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI). Mereka kemudian bertugas memberi pengarahan kepada masyarakat tentang pentingnya pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada 1948, ia merupakan salah satu petinggi di Divisi ke-3-- dikenal juga dengan nama Divisi Banteng--TNI di Sumatra yang menentang rencana reorganisasi militer. Akibatnya, atas perintah Perdana Menteri Hatta, ia dikirim ke Pulau Jawa dan ditempatkan sebagai instruktur Akademi Militer di Yogyakarta.

Seiring waktu, pengaruh mantan perwira Giyugun dalam tubuh TNI berangsur memudar. Salah satu penyebabnya adalah saat mantan perwira Giyugun, Kolonel Achmad Husein, Kolonel Mauludin Simbolon, dan Kolonel Sjarif Usman, mendeklarasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRl) pada 1958.

Dampaknya, meski pemberontakan tersebut mendapat pengampunan dari Pemerintah Indonesia, banyak tentara yang mendukung PRRI dinonaktifkan dari dinas militernya di TNI.

Di masa-masa berikutnya, sangat jarang mantan perwira Giyugun dalam struktur kepemimpinan tentara Indonesia. Hingga akhir tahun 1970-an, hanya ada dua nama saja yang menduduki jabatan tinggi di ABRI.

“Yakni Jenderal Makmun Murod, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Letnan Jenderal Hasnan Habib, Kepala Staf Hankam [Departemen Pertahanan dan Keamanan],” pungkas Aiko Kurasawa (2022).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi