tirto.id - Ribuan anak muda Jepang dikirim ke Asia Tenggara dalam rangkaian kampanye Perang Pasifik dan Kekaisaran Asia Timur Raya pada masa Perang Dunia II. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dengan status sebagai sipil yang menjalankan wajib militer.
Di Hindia Belanda, Jepang membentuk sejumlah organisasi militer dan semimiliter selama masa pendudukan. Anak-anak muda disebar ke berbagai peran dan organisasi, termasuk Barisan Pemuda Asia Raya, San A Seinen Kutensho, Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, Hizbullah, dan Barisan Berani Mati.
Setiap organisasi memiliki tujuan dan program pelatihan yang berbeda, beberapa di antaranya memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pemuda pada masa itu. Organisasi-organisasi tersebut dirancang untuk mendidik, melatih, dan memobilisasi kaum muda guna mempersiapkan mereka dalam menjaga pertahanan Jepang.
Beberapa pemuda yang dikirim terdapat juga warga Korea yang terpaksa menjadi gunsok (pembantu tentara Jepang) dan harus meninggalkan nama Korea. Mereka diiming-imingi gaji bulanan dan berbagai fasilitas, namun tetap menghadapi perlakuan tidak adil serta perpanjangan kontrak kerja yang memicu kegundahan.
Sistem wajib militer ini diberlakukan oleh Jepang selama masa penjajahan mereka di Korea dari tahun 1910 hingga 1945.
Yang Chil Sung, salah seorang warga Korea, dipaksa menjadi phorokamsiwon (penjaga tawanan perang) di Bandung pada tahun 1943. Setelah Korea merdeka, dia tidak pulang dan malah ikut bergerilya melawan pasukan Belanda di hutan-hutan Bandung.
Bersama empat tentara lainnya--dua orang dari Korea dan dua orang dari Jepang--ia bergabung bersama Pasukan Pangeran Papak di bawah komando Mayor SM Kosasih di Majalaya. Mereka membaur dengan penduduk lokal, masuk Islam, mengajarkan berbagai keahlian, lalu berganti nama menjadi Komarudin (Yang Chil Sung), Aboe Bakar (Masashiro Aoki), Oemar (Lee Gil Dong), Soebardjo (Guk Jae-man), dan Oesman (Hasegawa Katsuo).
Laskar Perjuangan Jawa Barat
Pasukan Pangeran Papak merupakan kelompok milisi di Garut yang dibentuk pada tahun 1945, dikenal dalam menampung dan mengintegrasikan beberapa bekas tentara Jepang yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pasukan ini dipimpin oleh Mayor SM Kosasih, seorang veteran tentara PETA yang berpengalaman. Ia yang dilatih oleh cucu Pangeran Papak memberikan kepercayaan penuh kepada Yang Chil Seong untuk memimpin pasukannya dalam berbagai misi dan operasi.
Berbeda dengan unit militer lainnya, Pasukan Pangeran Papak menolak pindah ke Yogyakarta setelah Perjanjian Renville pada tahun 1948. Mereka memilih tetap berada di Jawa Barat dan mempertahankan wilayah tersebut dari serangan Belanda.
Pasukan Pangeran Papak membentuk pusat perjuangannya di Gunung Dora, markas gerilya yang lokasinya berada di hutan perbatasan antara Garut dan Tasikmalaya. Laskar ini merupakan gugusan tempur BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) di bawah pimpinan Bung Tomo.
Mereka dilengkapi dengan berbagai jenis senjata, termasuk senjata api, granat, dan bambu runcing. Selain itu, beberapa kali terlibat dalam operasi penyerangan infrastruktur dan berbagai sabotase logistik di berbagai wilayah yang diduduki Belanda.
Pada 1949, Pasukan Pangeran Papak bersama laskar-laskar lainnya seperti Pasukan Dipati Ukur, Pasukan Banteng, dan Pasukan Tarunajaya, melebur dalam Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG) sebagai bagian dari unit Divisi Siliwangi yang merupakan komando tertinggi pasukan gerilya di Jawa Barat.
Selain diisi para pejuang lokal, laskar Pasukan Pangeran Papak juga beranggotakan beberapa pejuang dari Korea dan Jepang yang tidak kembali ke tanah airnya usai perang Pasifik. Mereka terdiri dari tentara yang cukup berpengalaman dalam pertempuran dan penggunaan senjata, sehingga membagikan pengetahuan dan kepiawaiannya itu kepada tentara lokal.
Warsa 1947, Yang Chil Sung dan kawan-kawan melakukan aksi sabotase jalur logistik dengan menghancurkan jembatan Cimanuk yang jadi penghubung antara Kecamatan Wanaraja dan kota Garut. Mereka juga bergerilya dan melakukan pengadangan terhadap keberadaan pasukan Sekutu di jalur rel kereta api yang menyambungkan kota Bandung dengan Yogyakarta.
Akibatnya pasukan Belanda melakukan perburuan dan menawarkan beberapa hadiah dalam sayembara bagi siapa saja yang menemukan keberadaan mereka.
Sampai akhirnya tiba pada dinihari, 26 Oktober 1948, mereka ditangkap batalyon Belanda di Gunungg Dora dalam sebuah operasi militer dan dieksekusi beberapa bulan kemudian sesuai dengan putusan pengadilan militer pada Februari 1949.
“Mereka dinyatakan bersalah karena dianggap telah melanggar kesepakatan Perjanjian Renville dengan secara sadar tetap tinggal di wilayah Jawa Barat sambil menjalankan aksi-aksi mengacaukan keamanan. Mereka juga diyakini mempunyai rencana akan memimpin aksi gerakan penyerangan besar-besaran ke Garut dan Tasikmalaya pada 1 Januari 1949, atas instruksi Yogyakarta,” ujar putusan tersebut sebagaimana dilansir De Locomotief pada 22 Februari 1949 sebagaimana dikutip Historia.
Jasad mereka dikebumikan di TPU Pasirpogor dan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut, pada 1975. Pada peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Indonesia mengadakan upacara penggantian batu nisan Komarudin alias Yang Chil Sung.
Mengacu Pada Sosok Penyebar Islam
Nama Pasukan Pangeran Papak merujuk pada sosok penyebar Islam di Garut pada akhir abad ke-18. Ia memiliki nama Raden Wangsa Muhammad, berasal dari keluarga bangsawan kerajaan Galuh Pakuan di Limbangan, Balubur, Garut. Garis keturunannya sampai kepada Prabu Laya Kusuma, seorang putra dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
Pangeran Papak mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan ajaran Islam, memperluas pengaruhnya mulai dari Garut hingga ke daerah-daerah seperti Winduraja, Kawali, Karawang, dan Tangerang.
Meski kerap dipanggil ke keraton Sunan Gunung Jati untuk menerima gelar kebangsawanan, ia sering menolaknya dengan halus. Bagi masyarakat Wanaraja, Garut, tindakan dan sikap Pangeran Papak tersebut kemudian menjadi contoh dan teladan bagi para imam masjid, ahli agama, dan guru ngaji.
Papak dalam bahasa Sunda bermakna sama rata atau setara, sehingga gelar ini disematkan masyarakat untuk segala sikapnya yang tidak menilai manusia berdasarkan status, termasuk kedudukan, pangkat, maupun kekayaan yang dimiliki.
Lain itu, ia merupakan orang yang memiliki jiwa seni dan gemar menggelar acara-acara seperti wayang golek, wawacan, reog, tembang, dan lainnya. Sebagaimana dikutip laman resmi Pemerintah Desa Cinunuk, kesenian tersebut juga dijadikan sebagai jalan untuk menyampaikan ajaran Islam.
Pangeran Papak meninggal sekitar tahun 1898 dan dimakamkan di komplek pemakaman Cinunuk Hilir, Wanaraja, Garut.
Sastra lisan yang berkembang di masyarakat menjadikan Pangeran Papak sebagai sosok yang memiliki berbagai keistimewaan. Ia dianggap sebagai seorang waliyullah dengan berbagai kemampuan dan memiliki pengaruh yang kuat dalam penyebaran agama Islam di masyarakat Garut.
Dalam mitos tersebut, dia dikenal sebagai tokoh yang memiliki karomah sebagai tokoh agama, bukan hanya sebagai bangsawan atau raja. Makamnya pun dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Budaya lisan juga menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal yang tecermin dalam penghormatan terhadap guru, pemimpin, dan orang tua, serta dalam konsep kebersamaan dan kekeluargaan. Juga terdapat keyakinan akan keajaiban air dari Pancuran Tujuh yang tak jauh dari pusaranya dan diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, menyuburkan tanah, dan mengabulkan doa.
Namanya kemudian dijadikan nama laskar perjuangan sebagai motivasi pergerakan untuk mempertahankan Garut dan Tasikmalaya dari cengkeraman Sekutu maupun Belanda.
"Karena keteladanan Eyang Pangeran Papak itulah para pemuda pejuang di Wanaraja lantas memakainya untuk nama pasukan yang kelak juga berjuang melawan [tentara] Belanda," kata juru kunci makam Pangeran Papak, Dadang Koswara.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi