Menuju konten utama
Mozaik

Gebroeders Veth: Membuat Peruntungan dan Tamat di Indonesia

Putra-putra pembuat layar kapal asal Belanda mendirikan perusahaan yang nantinya meraksasa di Hindia Belanda. Tamat oleh kebijakan nasionalisasi 1958.

Gebroeders Veth: Membuat Peruntungan dan Tamat di Indonesia
Header Mozaik Gebroeders Veth. tirto.id/Tino

tirto.id - Di era Kolonial, tidak banyak perusahaan yang punya kiprah bisnis fenomenal di Hindia Belanda. Di antara yang sedikit itu, Gebroeders Veth adalah salah satu yang mencolok. Perusahaan terbilang raksasa untuk ukuran saat itu dengan keragaman usaha dan aset triliunan yang dikelola.

Melalui bisnis Gebroeders Veth yang bertahan hingga nyaris 70 tahun ini, kita bisa menakik wawasan bagaimana sebuah perusahaan kolonial lahir, bertumbuh, berjaya, lalu melemah dan akhirnya mati.

Merujuk profil perusahaan yang tersimpan di Economisch Archief van Nederland en Koloniën, Gebroeders Veth semula didirikan dalam bentuk commanditaire vennootschap (CV) pada 1886. Ia kemudian bertransformasi menjadi firma dan akhirnya menjadi naamlooze vennootschap (NV) alias perseroan terbatas dengan akte pendirian tahun 1920 dan Persetujuan Kerajaan Belanda (Koninklijke Bewilliging) tanggal 4 Februari 1921.

Seturut informasi dari laman Stadtarchief Amsterdam, bisnis raksasa Gebroeders Veth berawal dari kakak beradik Bastiaan “Bas” Veth (1860-1922) dan Franz Herman Veth (1863-1938). Mereka adalah anak pertama dan kedua dari seorang pembuat layar dan pemilik kapal layar asal Delft, Belanda, bernama Jan Veth (1833-1899).

Selain Bas dan Franz, Jan Veth masih memiliki tiga anak lagi, yaitu Jan Cornelis Veth (1864-1923), Cornelis Gerard Veth (1868-1948) dan si bungsu Arie Adriaan Ferdinand Veth (1876-1956).

Mulanya Perusahaan Keluarga

Pada 1886, Bas Veth dan Franz Veth mendirikan CV Gebroeders Veth dengan Jan Veth sebagai komanditernya. Semula, CV Gebroeders Veth menjalankan bisnis perdagangan di Hindia Belanda. Mereka juga menjadi agen bagi para pemilik kapal layar, termasuk milik Jan Veth sendiri serta keluarga istrinya.

Kantor utama CV Gebroeders Veth berlokasi di Amsterdam. Seiring dengan perkembangan bisnisnya, ia membuka kantor cabang pertama di Padang lalu diikuti beberapa cabang lain di Makassar, Sibolga, dan Medan. Saudara-saudara yang lain pun kemudian bergabung satu persatu usai menamatkan pendidikannya.

Dengan cabang-cabang baru ini, perusahaan mulai membangun basis bisnis kuat dari barat hingga timur Hindia Belanda. Beragam keahlian dari Keluarga Veth juga dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk merambah ke berbagai bidang usaha baru kemudian.

Di awal menjalankan bisnis, Gebroeders Veth masih menggunakan kapal layar untuk mengekspor kopi arabika dari Hindia Belanda. Sebagian besar komoditas kopi itu mereka peroleh dari Sumatera Barat dan disimpan di depot di Padang. Dari sana, komoditas langsung diangkut ke Amerika Serikat.

Dari laporan Konsulat Amerika Serikat di Padang, Gebroeders Veth telah masuk dalam direktori rutin firma-firma komersial milik konsulat paling tidak sejak 1889. Dalam The Chronicle and Directory (direktori dagang tahunan kawasan Asia) yang terbit di Hongkong, perusahaan tersebut juga tercatat sebagai firma dengan usaha ekspor dan impor di Makassar. Di sana, ia disebut sukses besar dalam perdagangan kopra.

Gebroeders Veth kemudian juga bertindak sebagai agen perusahaan kapal uap Oceaan (Holt Lijn) dan Nanyo Yusen Kaisha. Lain itu, ia juga menjadi koresponden Nederlandsch Indische Handelsbank dan agen perusahaan-perusahaan asuransi. Di saat itu, Gebroeders Veth telah cukup kuat secara finansial sehingga berani menjadi investor pada firma-firma dagang lainnya.

Bas Veth

Pada 1900, memoar Bas Veth terbit. Buku berjudul Het Leven in Nederlandsch-Indië itu mengungkap 12 tahun (1879-1891) riwayatnya keliling Hindia Belanda sebagai pedagang dan pebisnis. Yang menarik, memoar tersebut penuh sinisme dan ungkapan kemuakan bernada sarkastik.

Menurut Bas Veth, alam Nusantara tidaklah seindah kata para pelancong. Warganya juga disebutnya berkarakter buruk, pun makanannya tak menarik, dan cuacanya panas. Dia menjuluki koloni tersebut “de incarnatie van de ellende” (inkarnasi kesengsaraan).

Meski demikian, dia juga membenci karakter para kolonialis Eropa yang tamak. Dia bahkan menyebut mereka de barbaren.

Itu semua agaknya merupakan tuangan rasa frustrasi Bas Veth selama membangun bisnis. Di masa itu, menjalankan bisnis di tanah jajahan tentu bukan perkara gampang. Dia mesti berkompromi dengan kaum bumiputra dan sekaligus dengan pihak kolonialis. Pun dia mesti bersaing dengan sesama pebinis.

Sindiran Bas Veth dalam memoar itu lantas memancing beberapa penulis lain untuk membuat sanggahan. Van Vleuten, misalnya, menyebut memoar Bas Veth itu sebagaieen kreet van verontwaardiging” (seruan kejengkelan). Ada pula Paul J. Koster yang menyindir Bas Veth bisa memiliki berpandangan buruk meski datang dari keluarga saudagar terpandang.

Untung Besar di Sumatra Barat

Peruntungan terbesar Firma Gebroeders Veth ada di Sumatera Barat. Di sana, ia turut serta mendirikan perusahaan semen pertama di Asia Tenggara (berdiri 1910), yakni NV Nederlandsch Indisch Cement Portland Maatshappij (NIPCM). Pabrik semennya berdiri di Indarung.

NIPCM berdiri atas kerja sama antara Gebroeders Veth dan Carl Christophus Lau si penemu pertama potensi luar biasa batu kapur di kawasan itu. Keluarga Veth tertarik pada peluang bagus dari potensi alam Padang tersebut dan lalu mengajak sejumlah pihak berkongsi. Di perusahaan kongsi yang kemudian dibentuk, Veth bersaudara menanam saham awal sekitar 235 ribu gulden.

Pabrik semen NIPCM memanfaatkan energi dari PLTA tertua di Indonesia, yakni PLTA Rasak Bungo yang berdiri sejak 1908. Lain itu, pabrik juga memakai bahan bakar serbuk batu bara yang diambil dari tambang batu bara tertua di Asia Tenggara, Ombilin.

Gebroeders Veth menempatkan orang-orangnya menjadi direksi di NIPCM sejak perusahaan ini berdiri. Mereka pula yang memimpin perusahaan ini hingga sukses meraup untung ratusan ribu gulden setiap tahun dan memiliki aset jutaan gulden. Untuk gambaran betapa jayanya NIPCM, nilai dari 1 gulden di masa itu setara dengan 6 euro atau Rp100 ribu di masa kini.

NIPCM tak hanya unggul lantaran menjadi satu-satunya produsen semen di Hindia Belanda. Ia juga unggul dari segi kualitas produk. Kualitas semen produksinya disebut-sebut sejajar dengan produk-produk pabrik Eropa.

Usai sukses di bisnis produksi semen, Gebroeders Veth melirik juga sektor tambang. Gebroeders Veth turut menjadi direksi di Kinandam-Sumatra Mijnbouw (berdiri 1911). Perusahaan inilah yang membuka dan mengolah lagi tambang emas Salido yang telah lebih seabad dikuras VOC hingga tutup pada 1737.

Infografik Mozaik Gebroeders Veth

Infografik Mozaik Gebroeders Veth. tirto.id/Tino

Selain itu, Gebroeders Veth–yang telah menjadi NV—juga turut menjalankan manajemen perusahaan tambang emas lain, di antaranya Barisan Mijnbouw (1929) yang menjalankan konsesi Goenoeng Aroem dan Kinandam-Trust.

Bidang-bidang lain yang juga dirambah oleh Gebroeders Veth adalah manajemen perkebunan sawit di Deli. Lain itu, Keluarga Veth masih juga membangun berbagai anak perusahaan, seperti Priaman Coprabereiding (1917), Pantei Kiarah Cultuur (1935), dan pabrik kertas Veth's Papierenzakken Fabriek (1936).

Banyak dari bidang usaha itu yang bersifat pionir sehingga makin berlipat pula keuntungan yang mereka peroleh.

Kemunduran

Meski sempat mencapai masa jayanya, riwayat bisnis Gebroeders Veth pada akhirnya mencapai antiklimaksnya. Hal ini mulai terjadi pada pertengahan 1920-an. Lantarannya adalah persaingan bisnis yang semakin berat. Di bidang semen, misalnya, ia mulai keteteran bersaing dengan produk semen dari Jepang.

Jalan Gebroeders Veth makin terseok oleh hantaman Great Depression (1929-1939). Ia juga dipaksa menyerahkan asetnya oleh tentara pendudukan Jepang yang menginvasi Hindia Belanda pada 1942.

Setelah Perang Dunia II, keadaan tak membaik bagi bisnis Veth Bersaudara. Situasi perang yang rusuh membuat satu per satu usaha Gebroeders Veth berguguran. Pukulan terakhir yang kemudian menamatkan riwayat Gebroeders Veth adalah kebijakan nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia pada 1958.

Baca juga artikel terkait GEBROEDERS VETH atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Fadrik Aziz Firdausi