tirto.id - Roberto Zangrandi meninggalkan tanah kelahirannya di Italia dan mencoba peruntungan di Hindia-Belanda. Pada 1930, berbekal keterampilan membuat es krim yang masih sangat langka, dia membuka kedai es krim di Surabaya.
Zangrandi merintis usahanya di sebuah bangunan yang kiwari terletak di Jalan Tunjungan nomor 55. Nama kedai itu Ijspaleisje Tutti Frutti. Karena suatu hal, kedai tersebut pindah ke Jalan Yos Sudarso nomor 15 dan berganti nama menjadi Renato Zangrandi Ijspaleis. Tak butuh waktu lama, kedai itu menjadi tempat kongko favorit warga Surabaya, utamanya golongan kulit putih.
Imigran Italia di Jantung Surabaya
Figur penting di balik lezatnya es krim Zangrandi tak lain istrinya sendiri, Zomers. Selain panggilan akrabnya yaitu Mevrouw Zangrandi, sangat sedikit catatan tentangnya. Yang pasti, wanita tersebut adalah penemu resep es krim yang dipasarkan di kedai itu, yang terdiri dari empat rasa, yakni cokelat, stroberi, vanila, dan moka.
Ketika baru berdiri, kedai es krim milik Zangrandi hanya menyajikan tiga menu, yaitu Tutti Frutti, Macedonia, dan es krim Soda. Untuk memperkenalkan usahanya, dia berpromosi lewat surat kabar. Di antara arsip yang bisa ditemukan adalah di De Indische Courant edisi 25 Agustus 1924, 5 Desember 1925, dan 11 Mei 1932.
"De Opening van Tutti-Frutti", begitu judul berita yang dimuat koran tersebut tentang pembukaan Ijspaleisje Tutti Frutti. Pada malam peresmian, ruas antara Jalan Simpang dan Jalan Gemblongan macet total. Antrean mobil, trem, dan kendaraan lain tak bisa diurai. Sejak pukul 17.00, pihak berwenang dan pers sudah berada di lokasi.
Publik sudah berjejalan di teras kedai jauh sebelum acara dimulai. Ketika pukul 19.00 tuan rumah membuka acara, pengunjung sudah memadati ruang utama. Lampu-lampu yang menghiasi kedai itu “menarik semua manusia seperti magnet yang kuat dan akibatnya polisi kehilangan akal.”
Situasi kian meriah ketika Granada, sebuah grup band asal Manila yang pernah mengadakan konser di Paris memungkasi acara.
Zangrandi membidik golongan Eropa sebagai konsumennya. Di Surabaya kala itu, sebagaimana di kota-kota besar lain di Hindia Belanda, warga Eropa menempati kelas paling atas dalam strata sosial masyarakat. Tak heran jika kedai Zangrandi ditata sedemikian apik menyesuaikan gaya hidup mereka.
Dinding-dindingnya dihiasi berbagai karya seni, termasuk lukisan karya Seipgens. Furnitur dan perabotannya terbuat dari kayu mahoni dan rosewood yang didatangkan dari Milan. Dalam sekejap, kedai Zangrandi menjadi alternatif tempat hiburan bagi kalangan Eropa, bersanding dengan Gedung Teater (Schouwburg) dan Rumah Biliar (Biljartzaal).
Seiring berkembangnya permintaan, kedai Zangrandi tidak hanya menyajikan es krim tapi juga minuman keras. Ijspaleis atau “istana es” itu pun kemudian dikenal sebagai pusat hiburan malam. Lagu-lagu yang sebelumnya diperdengarkan melalui gramofon diganti dengan live music, lengkap dengan aula dansa.
Sorbetto, Granita, dan Gelato
Es krim citarasa Italia diminati banyak konsumen, termasuk di Hindia Belanda. Selain Zangrandi di Surabaya, ada Ragusa di Jakarta. Setelah beroperasi selama hampir seabad, keduanya sama-sama melegenda.
Di Italia, es krim memiliki sejarah panjang. Meski menurut sejarawan penemu es krim bukan orang Italia, sentuhan tangan merekalah yang membuat hidangan penutup tersebut memiliki rasa, tekstur, dan tampilan seperti yang kiwari kita kenal.
Berkat Marco Polo, petualang cum saudagar asal Venesia, es krim yang mula-mula berkembang di Cina digemari publik Italia. Resepnya sangat sederhana, hanya berbahan es parut atau salju pergunungan. Agar tidak mudah meleleh, garam batu yang bersifat hidrofilik atau mengikat molekul air ditambahkan.
Meski begitu, sumber lain menyatakan sejak lama es krim menjadi menu dessert kaisar Romawi. Bangsa Arab pun konon sudah mengenal hidangan ini dengan campuran jus buah untuk memperkaya rasa.
Orang Arab menyebut hidangan ini sharbat, secara linguistik berarti minuman. Dari merekalah orang Italia mewarisi sorbetto. Dalam perkembangannya, rakyat Sisilia berinovasi dengan memberinya gula dan penambah rasa. Mereka menamai hidangan tersebut granita.
Pada 1500-an, seniman dan arsitek Bernardo Buontalenti (1531-1608) menjadi orang pertama yang menambahkan susu pada resep es krim yang sudah ada. Hasilnya adalah hidangan penutup yang segar, manis, dan lembut dengan tampilan yang menarik, yang kemudian disebut gelato. Buontalenti pun dipatenkan sebagai penemu gelato.
Temuan Buontalenti kemudian dipasarkan Francesco Procopio dei Coltelli (1651-1727), seorang pengusaha restoran asal Palermo yang bermigrasi ke Paris. Dari kafe yang bernama Procope, gelato menyebar ke seantero Prancis sebelum merambah ke wilayah lain di Eropa.
Seiring waktu, gelato hadir dalam berbagai rasa, mulai buah-buahan, cokelat, hingga hazelnut. Belakangan sejumlah chef Italia berinovasi dengan menghadirkan rasa baru, seperti tomat, wine, zaitun, dan kemangi. Menariknya, varian rasa tradisional seperti cokelat, hazelnut, stroberi, dan lemon tetap yang paling diminati.
Seturut Linda Civitello dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People (2008:268), gelato atau publik Amerika menyebutnya es krim Italia memiliki ciri khas yang tidak ditemukan dalam es krim Prancis atau Amerika. Es krim Prancis lebih kental dengan tambahan telur, sedangkan es krim Amerika mengandung lebih banyak krim tapi sama sekali tidak menggunakan telur.
Satu Abad Es Krim Zangrandi
Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada 1942 membuat operasional kedai es krim Zangrandi tak menentu. Terkebih setelah Zomers, istrinya, meninggal dunia. Dan masih di tahun yang sama, pemilik Renato Zangrandi Ijspaleis itu ditawan tentara Jepang.
Ia ditawan Jepang sekitar tiga tahun. Lepas dari penjara, dia kembali menahkodai bisnis es krimnya dan berusaha meraih kesuksesan untuk kedua kalinya. Sayangnya setelah jungkir balik menata kembali usahanya, di tengah situasi yang penuh ketidakpastian pasca perang kemerdekaan, dia dihadapkan pada dilema.
Saat itu Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan warga asing lainnya, yang diikuti tuntutan untuk beralih kewarganegaraan menjadi warga negara Indonesia atau tetap menjadi warga negara asing dengan konsekuensi meninggalkan Indonesia. Kebijakan yang disambut baik kaum buruh itu memaksa Zangrandi memilih opsi yang kedua.
Pada 1959, Zangrandi pulang ke Italia, negara asalnya. Kedai es krimnya yang berumur 25 tahun sejak didirikan pada 1930 dia jual pada Adi Tanumulia, seorang pengusaha winery berdarah Tionghoa. Sejak itu bangunan, mesin produksi, furnitur, perabotan, dan tentu saja resep kedai es krimnya dimiliki Tanumulia.
Meski berganti pemilik, menu andalan kedai es krim Zangrandi tidak berubah. Bangunan indis yang menjadi ciri khas kedai juga dipertahankan. Selain namanya yang diubah menjadi Graha Ice Cream Zangrandi, kedai yang hampir berusia satu abad itu juga memperkenalkan rasa baru, antara lain kopyor, raspberi, leci, kismis, dan durian.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi