tirto.id - "Pak! Tumbas!" teriak saya di suatu siang yang terik.
Sungguh suatu kebetulan, seorang penjual es puter lewat di depan rumah saya, di hari yang terik. Setelah sekian tahun saya tidak melihat penjual es puter berkeliling menjajakan dagangannya, hari itu dia memilih lewat di depan rumah.
Karena itulah saya segera keluar dari rumah dan memanggilnya saat suara "Dung-dung...!" terdengar nyaring. Sebagian memang karena hawa yang panas di hari itu, tapi sebagian besar karena kenangan. Kangen rasanya makan es puter.
Seperti yang bisa dibayangkan, nama es puter didapat dari cara pembuatannya yang membutuhkan teknik diputar-putar selama proses pembekuan. Dari cara ini pulalah nama es podeng didapat. Podeng sendiri rupanya merupakan bahasa Madura yang berarti putar. Dulu, saya kira nama es podeng didapatkan karena es ini kerap disandingkan dengan puding aneka rasa – ternyata bukan!
Sementara, nama es dung-dung yang merupakan nama lokal di daerah sekitar saya, didapat dari suara "dung-dung" dari gong kecil di gerobaknya. Suara ini dimainkan setiap gerobak es puter berkeliling, memberi tanda bahwa mereka sedang lewat. Mengabarkan pada anak-anak kecil, ini saatnya memanggil bapak atau ibu untuk membelikan satu sekup kelezatan es puter.
Ketika saya masih kecil, saya terhitung cukup sering membeli es puter, biasanya bersama Ibu dan kedua saudara saya yang juga masih sama-sama kecil. Saat itu es puter disajikan dalam beberapa pilihan: ditaruh di gelas, menggunakan cone, hingga dimakan dengan roti tawar. Seingat saya, belum ada pugasan (topping) di atas es puter, kecuali mesis.
Kalau ditanya yang mana yang favorit saya, pastilah yang roti tawar. Es puter rasa vanila campur coklat, ditaruh di antara setangkap roti tawar. Wuih, terbaik. Roti tawarnya tidak selembut sekarang. Di saat itu, roti tawar yang digunakan di es puter memiliki tekstur yang lebih kering dan kasar. Tapi semua tekstur itu hilang ketika es mulai mencair dan meresap ke dalam roti. Paduannya seperti roti tawar dicelup ke susu – atau dalam kasus ini, ke santan.
Kadang kala, saya juga memilih yang cone. Harganya lebih murah dibandingkan yang roti tawar, meski saya lupa berapa selisihnya. Tapi jangan bayangkan cone yang digunakan serenyah cone-cone es krim masa kini ya. Pada saat itu, cone yang biasa digunakan adalah cone yang juga kering, terkadang seperti melempem karena sudah dibuka terlalu lama. Namun, cone ini mudah sekali lembek ketika basah terkena es puter yang meleleh. Dan teksturnya menjadi liat seperti kardus basah.
Meski begitu, saya kecil sangat menikmatinya.
Ini adalah masa di mana es krim dengan berbagai merek belum dijajakan berkeliling dengan sepeda dan suara musiknya yang nyaring. Masa itu belum banyak warung yang memiliki freezer khusus es krim. Masa ketika saya masih duduk di bangku SD, di Yogyakarta.
Ketika itu, apabila menginginkan "es krim", pilihannya tak terlalu banyak. Yang mudah didapatkan adalah es mambo yang dijual di warung-warung di dalam termos es, atau ya es puter tadi. Es puter paling sering dijajakan dengan gerobak berkeliling, kadang didorong, kadang ditarik dengan sepeda. Es ini disimpan dalam termos-termos es besar di dalam gerobak.
Pada hari-hari tertentu, ketika Ibu juga ingin menikmati es, beliau akan mengajak menikmati es puter dalam bentuk lain: rujak es krim. Di sini, semangkuk rujak diberi tambahan es puter, memadukan rasa asam, manis, kecut, pedas, dan gurih. Seperti pesta di dalam mulut. Rujak es krim ini awalnya dijajakan di daerah Pakualaman, terkenal hingga saat ini. Tapi yang sering kami dulu datangi justru warung Rujak Gobet di Jl. Samirono, yang kini sudah tidak ada.
Kemunculan es puter ini tidak terjadi begitu saja. Menurut Laura B. Weiss dalam bukunya Ice Cream, sejak zaman Yunani kuno, minuman dingin merupakan minuman yang disukai oleh masyarakat. Namun rasa dingin ini sulit diperoleh sehingga membutuhkan usaha besar.
Sebelum adanya mesin pendingin, rasa dingin ini didapatkan dari salju-salju yang disimpan di tempat yang tak akan membuatnya leleh. Es tak hanya digunakan untuk minuman yang menyegarkan, tapi juga untuk mengawetkan makanan. Es krim pun berkembang dari sekedar es batu, sorbet, hingga pada akhirnya es krim yang merupakan paduan dari susu, gula, perasa dan es.
Di Indonesia, semua berawal ketika kita masih berada di era kolonial, di mana es merupakan barang langka. Pabrik Es Petojo merupakan pabrik es batu pertama yang berdiri di kisaran 1870-an. Walaupun tahun-tahun tepatnya tidak jelas, tapi es puter ini muncul setelah Belanda membawa es krim masuk ke Nusantara dan mengenalkannya pada masyarakat. Akibat kebutuhan untuk memenuhi keinginan menikmati es krim yang murah, terciptalah es puter.
Pada zaman itu, susu merupakan barang mahal karenanya menjadi barang yang eksklusif. Tak semua golongan masyarakat dapat menikmati susu, apalagi es krim. Akhirnya, santan digunakan untuk menggantikan susu. Di Indonesia, santan lebih mudah didapatkan dan harganya lebih terjangkau. Dengan pengolahan tradisional, es puter pun tercipta dengan rasa gurih yang kuat, menggantikan rasa creamy yang biasanya ada pada es krim berbahan dasar susu.
Es puter lantas menjadi es krim Indonesia yang sulit dicari di negara lain. Rasa santannya yang gurih menjadi penanda bahwa es krim ini pastilah berasal dari daerah yang memiliki keberlimpahan kelapa.
Ketika es krim mulai terjangkau dan dijajakan dengan masif, selera kami sekeluarga mulai bergeser. Apabila hari sedang terik dan panas, sesekali Ibu saya memanggil es krim keliling yang lebih sering lewat di depan rumah. Ibu lalu membeli beberapa es krim rasa coklat untuk kami nikmati bersama. Lambat laun, es puter tampaknya tersingkirkan dari selera kami.
Kini, suara "dung-dung" dari gong mini penjual es puter sudah jarang sekali terdengar di telinga. Gerobak-gerobaknya pun tak tampak berjualan di pinggir-pinggir jalan.
Es puter sekarang justru lebih sering ditemui di acara-acara pesta pernikahan atau hajatan lainnya. Kadang es puter dipasangkan dengan puding, kadang ditaburi dengan aneka topping buah, kadang hanya sendirian. Penggemarnya cukup banyak, tapi kebanyakan orang dewasa. Mungkin mereka ingin nostalgia?
Kedua anak saya tidak suka rasa es puter. Sejak pertama kali mencobanya, mereka menolak. Lidah mereka yang terbiasa dengan creamy-nya susu rupanya tidak menganggap es puter ini sebagai es krim. Karenanya, es puter bukan dessert yang mereka suka.
Meski begitu, es puter yang sempat ditinggalkan ini tampaknya mulai kembali dijual. Banyak yang mencari es puter sebagai es krim vegan, yang tak menggunakan susu. Kedai-kedai makan juga menyediakan es puter, tapi tidak lagi dijual setara dengan es krim. Es puter dijual karena nilai kenangannya. Es zaman dulu, atau es jadul, begitu penawarannya. Pasarnya jelas bukan anak-anak, tapi justru orang dewasa. Mereka yang ingin mengenang masa lalu melalui sececap rasa yang dibawa oleh es puter.
Gurih, manis, dingin, dengan sejumput kehangatan kenangan masa kecil....
Editor: Nuran Wibisono