Menuju konten utama
Mozaik

Joan van Hoorn di antara Perang Suksesi dan Monopoli Kopi

Joan barangkali tak menyangka, biji kopi yang ia bagikan ke sejumlah kepala daerah kelak menjadi bencana berkepanjangan bagi kaum bumiputra. 

Joan van Hoorn di antara Perang Suksesi dan Monopoli Kopi
Header mozaik Joan Van Hoorn. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Joan (atau Johan) van Hoorn lahir di Amsterdam pada 16 November 1653. Ayahnya bernama Pieter Janszn van Hoorn, sedang ibunya Sara Bessels. Sebelum menjadi Anggota Dewan Luar Biasa Hindia, sang ayah merupakan pengusaha bubuk mesiu.

Ketika berusia 12 tahun, Joan menjadi sub-asisten VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Berkat kedekatan ayahnya dengan orang-orang penting di Hindia, kariernya perlahan-lahan meroket.

Setelah menemani sang ayah dalam misi diplomatik ke Tiongkok, ia diangkat menjadi asisten (1671), sub-pedagang (1673), lalu pedagang dan juru tulis pertama pada sekretaris jenderal (1676). Pada 1678, ia dipromosikan sebagai Sekretaris Pemerintahan Agung, menyusul Anggota Dewan Luar Biasa Hindia (1682), kemudian Dewan Biasa Hindia (1685).

Joan menikah tiga kali. Pertama dengan Anna Struis dan dikaruniai anak bernama Petronella Wilhelmina. Petronella kemudian menikah dengan Lubbert Adolf Torck, penguasa Roozendael yang sangat kaya.

Pada 1691, Joan yang kala itu sudah menjabat sebagai Direktur Jenderal VOC terlibat konflik dengan Gubernur Jenderal VOC, Willem van Outhoorn. Akhir dari perseteruan ini adalah antiklimaks, yakni dengan dilangsungkannya pernikahan antara Joan, yang sudah ditinggal mati istrinya, dengan Susanna, putri van Outhoorn.

Khawatir terjadi nepotisme dari pernikahan tersebut, Dewan XVII di Amsterdam mendesak van Outhoorn mengundurkan diri dan mengangkat Joan menantunya sebagai pengganti.

Desakan tersebut diabaikan van Outhoorn, dan sebagaimana ayah mertuanya, Joan juga menolak pengangkatannya. Dewan XVII bergeming. Mereka bahkan menunjuk Abraham van Riebeeck sebagai Direktur Jenderal yang baru.

Saat itulah dualitas kepemimpinan dalam sejarah VOC terjadi, yakni antara van Outhoorn yang enggan mengundurkan diri dari kursi Gubernur Jenderal dan Joan menantunya yang resmi diangkat untuk menggantikannya. Pada saat yang sama, jabatan Direktur Jenderal di satu sisi masih dijalankan Joan tapi di sisi lain sudah diamanatkan pada van Riebeeck.

Sejak 1701 ketika masih menjabat Direktur Jenderal, hubungan Joan dengan van Riebeeck kurang akur. Lagi-lagi, Joan mengatasi masalah tersebut dengan cara menikahi putri van Riebeeck yang bernama Joanna Maria van Riebeeck. Pernikahan itu dilangsungkan pada 16 November 1706, ketika Joan sudah menjabat sebagai Gubernur Jenderal.

Menjebak Amangkurat III

Pelantikan Joan van Hoorn sebagai Gubernur Jenderal VOC ke-17 bersamaan dengan kisruh di antara para ahli waris takhta Kasultanan Mataram, yakni antara Pangeran Puger dan keponakannya, Amangkurat III. Konflik yang memuncak menjadi Perang Suksesi Jawa Pertama (De Eerste Javaansche Succesie-oorlog) itu meletus pada 1704.

Meski awalnya bersikap netral, Joan akhirnya memberikan dukungan pada Pangeran Puger. Aliansi Amangkurat III dan Untung Suropati--buronan yang menewaskan utusan khusus VOC untuk Mataram yakni Kapten François Tack--menjadi dalih Pangeran Puger untuk meyakinkan VOC bahwa mereka memiliki musuh bersama.

Seturut M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia c. 1200 (2001:110), Pangeran Puger juga mendesak VOC untuk mengakui kekuasaannya, sebab menurutnya masyarakat Jawa banyak yang menginginkannya menjadi raja. Klaim tersebut dikuatkan penguasa Madura barat yakni Cakraningrat II, sekutu dekat VOC.

Pada 1705 sebagai implikasi pengakuan VOC atas kekuasaannya, Pangeran Puger (selanjutnya bergelar Pakubuwana I) memberikan sederet konsesi pada sekutunya itu, mulai penegasan batas-batas Batavia yang mencakup Priangan, pengakuan Cirebon sebagai protektorat VOC, penyerahan wilayah Madura bagian timur, hak untuk membangun benteng di wilayah mana pun di Jawa, hingga penyerahan 1.300 ton beras setiap tahun selama 25 tahun.

Pada tahun yang sama, gabungan prajurit Jawa, Madura, Bugis, Makasar, Bali, Melayu, Banda, Ambon, dan Mardijkers (bekas tawanan perang VOC di wilayah jajahan Portugis di Asia) menyerbu Kartasura. Mengetahui banyaknya tentara musuh yang mendekat, pasukan Amangkurat III membelot dan membuat raja mereka meninggalkan keraton.

Dalam keputusasaan, Amangkurat III pergi ke timur dan mencari perlindungan pada sekutunya, Untung Surapati. Berturut-turut sejak 1706 hingga 1708 VOC mengadakan operasi militer besar-besaran ke Jawa bagian timur dengan didukung pasukan dari Madura dan Kartasura.

Banyak kerugian diderita VOC akibat operasi militer itu, termasuk korban jiwa, baik karena tewas di medan perang maupun penyakit. Besarnya anggaran yang digunakan juga sangat memengaruhi kondisi keuangan mereka. Pada 1706, Untung Surapati dikalahkan di Bangil, tapi Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Malang.

Warsa 1708, tahun terakhir Joan menakhodai VOC, Amangkurat III menerima tawaran VOC untuk bernegosiasi, dengan catatan dirinya diizinkan memerintah sebagian wilayah Jawa tanpa keharusan membayar upeti pada Pakubuwana I.

Amangkurat III cukup percaya diri tuntutannya akan dipenuhi, tapi seperti dicatat Ricklefs dalam buku yang sama, “VOC lebih bisa diandalkan untuk bertempur daripada menepati janji.” Terbukti bukan negosiasi yang mereka siapkan untuknya, tapi jebakan. Ketika tahu tuntutannya tidak dikabulkan, Amangkurat III menyadari dirinya telah masuk perangkap.

Susuhunan Mataram yang hanya dua tahun berkuasa itu kemudian ditangkap dan diasingkan ke Ceylon (Srilangka) hingga meninggal dunia pada 1734.

Eksperimen yang Membawa Bencana

Tidak ada yang menyangka bahwa eksperimen Joan van Hoorn dalam membudidayakan kopi membuka jalan bagi revolusi ekonomi dan sosial yang mengubah nasib penduduk Jawa. Lebih-lebih pohon kopi yang dikirim mertuanya pada 1696 dari Pantai Malabar, India, tidak dapat tumbuh subur di tanahnya yang luas di dekat Batavia.

Seturut Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008:216), pada 1707 Joan membagikan biji kopi kepada para kepala daerah di Batavia dan Cirebon untuk ditanam. Dia tidak mengetahui kelanjutan proyek tersebut, sebab setahun kemudian tepatnya pada 2 Maret 1708 ia mengundurkan diri dari jabatannya.

Untuk menggantikannya, mertua Joan yakni Abraham van Riebeeck dilantik sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Karena alasan tertentu, VOC melarang Joan tinggal di Hindia. Dengan terpaksa, ia kembali ke Amsterdam dan menempati rumah barunya yang megah di Herengracht, temoat ia meninggal pada 21 Februari 1711.

Pada tahun yang sama dengan kematiannya, untuk pertama kalinya 50 kilogram biji kopi berhasil dipanen Arya Wiratana, Bupati Cianjur, dari perkebunan kopi di wilayahnya. Biji-biji tersebut berasal dari tanaman kopi yang benihnya diberikan oleh Joan van Hoorn.

Infografik mozaik Joan Van Hoorn

Infografik mozaik Joan Van Hoorn. tirto.id/Parkodi

Pada 1720, panen kopi di Priangan menyentuh angka 45 ton dalam satu tahun, dan 12 tahun kemudian meledak hingga 5.500 ton. Hasil yang menakjubkan, tapi sebagaimana dicatat Vlekke, angka itu justru membuat VOC waswas.

“Para Direktur itu hanya ingin suplai terbatas produk-produk Asia yang dapat mereka jual dengan harga tinggi dan, untuk menjaga suplai itu terbatas, mereka menuntut kontrol ketat atas produksi berlebih dan ketaatan mutlak terhadap sistem monopoli. Keberhasilan perkebunan kopi yang tak terduga itu mengguncang seluruh sistem sampai ke dasar-dasarnya.”

VOC kemudian mengambil kebijakan sepihak dengan menurunkan harga produk mentah di Batavia dari 50 menjadi 12 gulden per pikul. Untuk memaksa harga semakin murah, VOC membedakan “pikul gunung” seberat 102 kg dan “pikul Batavia” seberat 56 kg.

Para produsen dipaksa tunduk pada sistem tersebut dengan menjual kopi seberat pikul gunung tapi dengan pembayaran seharga pikul Batavia. Dengan memanipulasi jenis pikul yang berbeda, VOC memeroleh ganti yang memadai atas pekerjaan mereka sekaligus menutup potensi kerugian yang mereka tanggung.

Sistem yang manipulatif itu semakin menyengsarakan rakyat sebab diperparah oleh keculasan para bupati. Mereka berhasil mengumpulkan banyak uang dengan memaksa rakyat menanam kopi tapi membayar hasilnya dengan sangat rendah, padahal dari kompeni mereka menerima harga yang cukup tinggi.

Selain produksi kopi, rakyat juga dibebani untuk membawa hasil bumi itu ke gudang-gudang di Batavia. Mula-mula kopi diangkut ke gudang kabupaten, lalu dikirim dengan konvoi kerbau ke titik bongkar muat di sungai-sungai di dataran rendah. Akibatnya, ratusan kerbau mati kelelahan dan di Batavia ratusan orang Jawa tewas karena terserang malaria.

Baca juga artikel terkait ZAMAN KOLONIAL atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Politik
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi