tirto.id - Pada pertengahan abad ke-18, mimpi yang pernah disebut Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (menjabat 1618–1623 dan 1627–1629) dalam program reformasinya tahun 1615, yaitu mengembangkan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) menjadi mesin dagang antarwilayah di Asia kurang lebih sudah berhasil terwujud.
Dibandingkan dengan perdagangan Eropa, neraca dagang antarwilayah Asia dari kompeni menunjukkan angka yang jauh lebih besar. Singkatnya, perdagangan antarwilayah dilakukan dengan pertukaran komoditas yang dihasilkan di suatu pos dagang Asia dengan pos dagang Asia yang lain.
Seperti dapat kita lihat dalam “Emergence of Deerskin Exports from Taiwan under VOC” (2017), di Formosa dan Siam, misalnya, kompeni mendapatkan komoditas kulit rusa yang kemudian ia dagangkan kembali ke pos dagangnya di Jepang—Pulau Hirado (1609–1639) dan kemudian pindah ke Dejima (1639–1860). Kulit rusa digunakan prajurit dan samurai Jepang sebagai pelapis perisai. Dengan cara ini, siklus dagang komoditas tidak perlu mencapai Eropa. Biaya operasional menjadi lebih rendah sehingga kesangkilan itu bermuara pada penghematan kas kompeni.
Kejayaan praktik perdagangan macam itu—yang sebagian besarnya dicapai kompeni berkat kerja samanya dengan gilda-gilda pedagang swasta—mencapai kesuksesan besar di bawah Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (menjabat 1761–1775). Tentu saja, Van der Parra termasuk di antara pejabat-pejabat kompeni yang korup, gila hormat, dan hidup mewah. Ia adalah orang yang mudah disenangkan dengan pujian sehingga membuat para pedagang swasta yang mendekatinya menikmati keuntungan.
Apakah kelancaran praktik tersebut menguntungkan bagi kompeni? Secara teori, seharusnya iya. Namun, praktik perdagangan pribadi para pejabat kompeni membuat kesuksesan perdagangan antarwilayah tidak berbanding lurus dengan keuntungan perusahaan dagang tersebut. Penurunan performa perusahaan justru ditemani oleh kesuksesan bertubi-tubi dari praktik dagang antarwilayah Asia yang difasilitasi oleh kompeni. Secara sederhana, kompeni “kaya tetapi tidak menguntungkan”.
Bukan Pribadi Bersih di Antara Orang-orang Korup
Dalam keadaan yang demikian, gubernur jenderal independen terakhir dari kompeni, Willem Arnold Alting (menjabat 1780–1796/1797) datang ke Asia. Pemuda kelahiran Groningen itu sampai di Jawa pada tahun 1750 segera setelah ia menyelesaikan pendidikannya di bidang hukum di Universitas Groningen.
Ia datang pada awalnya sebagai pedagang junior dan dipromosikan sebagai pedagang penuh empat tahun setelahnya. Alting kemudian menduduki berbagai jabatan administratif hingga pada puncaknya ia diberikan jabatan Direktur Jenderal Perdagangan pada tahun 1777 oleh Tuan-tuan Tujuh Belas (Heeren Zeventien) yang merupakan dewan pimpinan VOC di Negeri Belanda.
Menurut penuturan W. van Geer yang menulis biografinya dalam jilid pertama Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek (1911), ketika ia memangku jabatan ini, terjadi penarikan yang janggal dari uang kas perusahaan secara besar-besaran. Aliran dana tersebut sangat mungkin masuk ke kantong pribadi dan kroni-kroninya.
Dari jabatan tersebut, jenjang selanjutnya sudah jelas, ia akan menggantikan gubernur jenderal bila masa jabatannya habis atau meninggal dalam tugas. Jabatan tertinggi itu akhirnya jatuh padanya pada 2 September 1780, satu hari setelah pendahulunya, Gubernur Jenderal Reynier de Klerck (menjabat 1778–1780) wafat di vilanya di Molenvliet (kini menjadi bangunan Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada).
Sulit untuk menilai apakah naiknya Alting ke puncak pimpinan kompeni membawa perbaikan atau pemburukan kepada perusahaan itu. Kompeni pada periode itu jelas menuju ambang kehancuran. Dalam kata-kata Van Geer (1911), kompeni “membutuhkan gubernur jenderal baja, yang tidak korup dan lebih bergairah... dan sayangnya Alting bukanlah pribadi yang seperti itu.”
Beberapa tindakannya menunjukkan bahwa ia bukanlah orang bersih di antara orang-orang korup, dan beberapa tindakannya yang lain meninggalkan kesan ambigu. Saya akan membeberkan beberapa kesaksian dari saksi sezaman sang gubernur jenderal dan membiarkan sumber-sumber tersebut memberikan kisahnya sendiri.
Praktik Korupsi di Tubuh Kompeni
Kisah pertama datang dari seorang perantau yang akhirnya bergabung sebagai pedagang junior kompeni, Reinier Bernardus Hoynck van Papendrecht. Beberapa surat yang ia kirim dari pos-pos dagang VOC di Asia telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh kerabat jauhnya, P. C. Hoynck van Papendrecht, dalam “Some old Private Letters from the Cape, Batavia, and Malacca (1778–1788)” (1924).
Ia datang ke Batavia pada tahun 1778 dan memuji kota itu sebagai “kota terbaik yang pernah dibangun” serta membandingkannya dengan Tanjung Harapan yang menurutnya “sangat buruk”. Meskipun kondisi di dalam kota memang tidak sehat, kondisi wilayah sekitarnya jauh lebih baik. Oleh sebab itu, pejabat dan orang kaya kebanyakan tinggal di luar kota, terutama di selatan kota, mulai dari Molenvliet (Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang) hingga ke Weltevreden (areal Gambir).
Ia menyaksikan bagaimana perempuan-perempuan Eropa di Batavia berdandan dan bersikap. Menurut kesaksiannya, satu perempuan Eropa di sini “memakai perhiasan yang setara dengan dua puluh istri adipati di aula-aula kerajaan [di Eropa].” Berbanding terbalik dengan gaya hidup mewah yang dilihatnya, ia mengamati—sebagai pejabat VOC—bahwa kesehatan keuangan perusahaan sedang sekarat.
Meminjam kata W. S. Rendra, kompeni pada senja kala hidupnya bagaikan “pengantin yang tergolek di tengah padang sawit yang kaya”. Produksi tanaman dagang seperti kopi, tebu, dan indigo meningkat drastis di bawah kekuasaan Alting (Van Geer 1911). Namun, keuntungan tidak mengalir ke kas kompeni, tetapi justru ke tangan pedagang Inggris dan Amerika sebagai akibat dari perdagangan pribadi. Gubernur jenderal pun tidak melakukan apa-apa untuk mencegah hal ini.
Di luar korupsi dalam ranah perdagangan antarwilayah Asia, penyelundupan juga terjadi pada kasus perdagangan Eropa. Pada awal pemerintahan Alting, Papendrecht mengabarkan kepada paman yang menjadi kawan korespondensinya bahwa Pulau Onrust (sekarang menjadi bagian Kepulauan Seribu) yang berfungsi sebagai galangan dan gudang kompeni yang paling sibuk di seantero Hindia Timur, juga berfungsi sebagai sarang penyelundupan.
“Tidak satu tahun pun berlalu tanpa penyelundupan sebesar seratus pikul [dari barang komoditas] yang dilakukan oleh orang-orang yang menduduki jabatan [dua administrator kompeni] di Pulau [Onrust] itu, dan keuntungan yang mereka peroleh dari setiap pikulnya mencapai seribu écu (koin emas Prancis)!”. Ia melanjutkan, “sekali lagi, saya tidak membesar-besarkan kenyataan ini.”
Nepotisme dan Komisi Pemeriksa yang Impoten
Di samping penyelundupan yang mengkhawatirkan, tingkat nepotisme yang ditunjukkan oleh administrasi Alting juga memperparah keadaan. Dalam kasus Papendrecht sendiri, Alting yang merupakan sahabat dari ayah mertua Papendrecht, Thomas Schippers—anggota dari pengadilan umum (raad ordinaris) dan Kepala Mahkamah Tinggi (Raad van Justitie)—menjanjikan untuk memberinya jabatan jika ia naik ke kursi gubernur jenderal. Ini diucapkan bahkan sebelum Alting menerima jabatan itu. Tidak jelas apakah Papendrecht kemudian secara riil menerima “bantuan” Alting atau tidak, sekalipun dalam surat-suratnya Papendrecht menyatakan bahwa ia memperoleh kekayaannya “tanpa merugikan kompeni”.
Kisah lain tentang penunjukan semacam itu diungkapkan oleh diplomat dan ahli Jepang yang terkenal, Isaac Titsingh. Menjelang akhir masa kekuasaannya, Alting tampaknya ingin memperbaiki kesehatan neraca dagang kompeni. Ia mengetahui bahwa Titsingh memiliki pengalaman berurusan dengan Jepang dan perdagangan antarwilayah Asia.
Titsingh memang sempat hidup di pos Belanda di Jepang, Pulau Dejima, ketika dekret Sakoku—isolasi diri Jepang—ditegakkan. Alting kemudian menawarkan Titsingh untuk menjadi penerusnya pada 1795, tetapi—seperti tergambar dalam surat no. 133 dalam De particulière correspondentie van Isaac Titsingh(1783–1812) (2009)—sang diplomat menolak dan memilih menjadi duta besar VOC bagi Tiongkok.
Tingkah laku dan kebijakan politik pemerintah tinggi di Batavia yang korup dan nepotis seperti itu disampaikan pula oleh beberapa pejabat yang lebih rendah di lapangan. Keresahan ini dialamatkan pada pimpinan mereka di Belanda saat itu, yaitu Willem V dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal VOC. Untuk menjawab keresahan tersebut, Willem V mengirimkan sebuah komite yang diketuai Sebastiaan Cornelis Nederburgh (1762–1811).
Namun, alih-alih menyembuhkan perilaku korup pemerintah Batavia, sesampainya di pusat kompeni, Nederburgh malah langsung bergabung sebagai kroni Alting dan bekerja sama untuk menjadikan menantu Alting, Johannes Siberg, menjadi Direktur Jenderal Perdagangan VOC untuk menggantikan H. van Stockum.
Jabatan tersebut kemudian mengantarkan Siberg menuju kursi gubernur jenderal tunjukan pemerintah pada 1801 hingga 1805. Bernard H. M. Vlekke dalam Nusantara (2016:220–222), menceritakan bagaimana trio Alting-Nederburgh-Siberg kemudian justru menggunakan kekuatan komite untuk menyingkirkan musuh-musuh pribadi mereka. Kesehatan VOC pun tidak terselamatkan.
Badai Politik di Eropa
Pada periode kekuasaan Alting, episode lain juga sedang bermain di Eropa. Pada 1795, terjadi revolusi di Belanda. Wali negeri—stadhouder—Willem V dari Wangsa Oranye dan para pendukungnya berhasil disingkirkan dari kekuasaan negeri oleh kelompok oposisi yang republikan. Orang-orang ini disebut sebagai kaum “patriot” yang pro-Revolusi Prancis. Garis komando pun bercabang dua, Batavia dipaksa untuk memilih berada di pihak Willem V atau parlemen Belanda yang kini menjadi Republik Bataaf.
Memihak parlemen berarti berperang dengan Inggris. Namun, bila mengikuti Willem V, administrasi kompeni harus menyerahkan komando lapangan kepada pihak Inggris, sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan oleh Willem V dari Istana Kew di Inggris pada 7 Februari 1795. Pilihan terakhir terasa lebih mengerikan bagi gubernur jenderal dibandingkan pilihan pertama. Akhirnya, Alting—yang disebut Papendrecht sebagai orang “yang tidak terlalu memihak Wangsa Oranye” memilih berada di bawah parlemen.
Hindia Timur telah mengalami sekitar satu dekade ketidakpastian perjalanan laut ke Eropa. Blokade Inggris terhadap kapal-kapal Belanda di Asia telah berlangsung sejak 1779. Praktis, perdagangan Eropa pun macet dan kompeni hanya memiliki opsi perdagangan antardaerah Asia.
Nasib kompeni dan wilayah yang didominasi oleh perusahaan dagang itu pun tidak jelas di tengah badai politik yang menerpa Eropa. Setelah revolusi 1795, parlemen Belanda ingin semua direktur dan pejabat VOC diganti. Alting kemudian mengajukan pengunduran diri pada tahun 1796. Namun, proses serah terima jabatan yang rumit membuat akta pengunduran dirinya bertanggal 17 Februari 1797. Sedangkan secara de facto ia telah meletakkan jabatan pada 16 Agustus 1796.
Tidak lama kemudian, yaitu pada 7 Juni 1800—tepat hari ini 222 tahun silam—sang mantan gubernur jenderal wafat sebagai warga negara awam di vilanya yang berada di Kampung Melayu. Ia mengakhiri silsilah panjang para gubernur jenderal independen dari VOC yang tidak ditunjuk oleh pemerintah. Sebelum meninggal, ia menyaksikan VOC, mesin dagang raksasa yang pernah ia nahkodai, dilikuidasi pada 31 Desember 1799.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi