tirto.id - Tak berbeda dengan Amangkurat I, putra mahkota bernama Raden Mas Rahmat (selanjutnya bergelar Amangkurat II) menjalankan pemerintahan dengan tangan besi. Jejak muslihatnya terentang saat berurusan dengan VOC atau Kompeni, pemberontakan Trunojoyo, suksesi kekuasaan, hingga hubungan gelap dengan adik iparnya sendiri.
Menjebak Kompeni
Untung Surapati akhirnya mendapatkan suaka di Mataram. Bersama 80 pengikutnya, ia diterima dengan tangan terbuka oleh Susuhunan Amangkurat II dan diberi tempat di sebuah kawasan di dekat keraton Kartasura.
Buronan asal Bali itu yang sejak kecil menjadi budak di rumah seorang pejabat VOC, punya catatan panjang yang membuatnya harus keluar-masuk penjara. Ia pernah berpacaran dengan anak sang majikan, menjadi penyamun di dataran tinggi di selatan Batavia, bahkan membantai 20 tentara VOC.
Bagi Amangkurat II, Untung Surapati adalah sekutu alami di tengah sentimen anti-VOC yang terus tumbuh di Mataram. Cucu Sultan Agung tersebut memang berutang jasa pada VOC. M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001:105) bahkan menyebut kekuasaan Amangkurat II sepenuhnya buatan VOC.
Namun, pada warsa 1680 ketika kekuasaannya makin kuat, yang ditandai dengan keberhasilannya memadamkan berbagai pemberontakan dan ketergantungannya terhadap militer VOC berkurang, rasa hormat pada sekutunya ia campakkan.
Pada 1685, Kapten François Tack diangkat sebagai utusan khusus VOC dan ditempatkan di Kartasura. Tack mengemban sejumlah tugas berat, di antaranya menegosiasikan pembayaran utang Amangkurat II pada VOC, dan yang tak kalah berat adalah menangkap Untung Surapati.
Ketika mendengar kedatangan Tack, Amangkurat II menghadapi dilema. Di satu sisi ia enggan menyerahkan Untung Surapati, di sisi lain ia tahu imbas kemarahan VOC jika menolak melakukannya. Sebagai muslihat, pada 8 Februari 1686 ia perintahkan pasukan keraton untuk bersandiwara mengepung kediaman buronan tersebut.
Tack mengira pengepungan itu adalah upaya untuk membantunya. Ketika ia dan pasukannya bergerak ke tempat kejadian, ia diserang Untung Surapati dan pasukan kerajaan yang menyamar sebagai orang-orang Bali. Akibatnya, utusan khusus VOC itu mendapatkan 20 luka tusuk. Ia meregang nyawa bersama 74 tentaranya.
Amangkurat II mencoba berkelit dari tanggung jawab dan mengirim surat ke Batavia yang menyatakan dirinya tak bersalah. Namun, VOC segera menemukan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya, sekaligus menjelaskan bagaimana posisi Amangkurat II.
Di antara bukti-bukti itu adalah sepucuk surat yang menghubungkan Amangkurat II dan Raja Sakti Ahmad Syah bin Iskandar, seorang petualang Minangkabau yang pernah menyerang VOC di Sumatra. Lain itu, VOC menemukan surat-surat Amangkurat II pada kerajaan Cirebon, Siam, Johor, dan Palembang yang berisi ajakan untuk membentuk aliansi anti-VOC.
Siasat Melengserkan Raja
Muslihat, konspirasi, pengkhianatan, dan pembunuhan adalah jalan hidup Amangkurat II. Sandiwara pengepungan Untung Surapati untuk menjebak Kapten François Tack hanyalah satu dari sederet jejak hitam tiran Mataram tersebut. Jauh sebelum itu, tepatnya pada 1677, ia membuat ayahnya, Amangkurat I, terjungkal dari singgasana dengan cara yang sama.
Jika bukan karena campur tangan VOC, Trunojoyo mungkin sudah menjadi pendiri dinasti baru di Jawa, seperti diramalkan Raden Kajoran. Namun, sejarah mencatat bangsawan asal Sampang itu tak lebih dari pion yang dimainkan Amangkurat II untuk merebut takhta ayahnya.
Sejak lama hubungan Amangkurat II (saat itu masih putra mahkota) dan ayahnya, Amangkurat I, penuh masalah. Pada 1660 tersiar kabar Amangkurat I berniat membunuhnya, dan setahun kemudian benar-benar melakukannya.
Rumor itu terbukti omong kosong belaka. Namun, pada 1663 raja disebut-sebut meracun putranya tapi gagal. Sejauh mana kebenaran berita tersebut tak pernah terkonfirmasi. Yang pasti, pada 1661 terdapat sejumlah bukti keterlibatan putra mahkota dalam kudeta gagal terhadap ayahnya, yang karena kuatnya dukungan membuatnya selamat dari hukuman.
Puncak pertikaian putra mahkota dan Amangkurat I terjadi pada 1670, setelah Raden Kajoran, tokoh suci keturunan Sunan Bayat yang diyakini memiliki kekuatan gaib, memperkenalkannya dengan Raden Trunojoyo, yang tak lain menantunya sendiri.
Bukan hal sulit bagi Raden Kajoran untuk menyatukan aspirasi kedua tokoh muda itu. Sejak lama putra mahkota mengincar takhta Amangkurat I, sedang Trunojoyo menyimpan dendam pada orang yang sama karena telah membunuh ayahnya, Demang Malaya.
Hasil dari pertemuan itu adalah sebuah konspirasi untuk menggulingkan Amangkurat I. Trunojoyo mengobarkan pemberontakan dan jika Amangkurat I berhasil dikalahkan, putra mahkota akan menggantikannya. Sebagai kompensasi, Trunojoyo akan menguasai Madura dan sejumlah wilayah Jawa bagian timur.
Pada 1671, seluruh wilayah Madura jatuh ke tangan Trunojoyo. Hingga empat tahun kemudian, satu per satu kota di sepanjang pesisir utara bagian timur pulau Jawa ia kuasai. Kemenangan demi kemenangan terus ia raih, hingga pada 1677, bersamaan dengan penaklukan Cirebon, ia berhasil menyerbu Keraton Plered.
Ketika pasukan Trunojoyo memasuki Keraton Plered, Amangkurat I sudah melarikan diri. Mereka lantas menjarah harta benda keraton dan membawanya ke Kediri. Putra mahkota, yang pura-pura menemani Amangkurat I menyelamatkan diri, selanjutnya resmi menjadi raja setelah sang ayah yang tua dan sakit-sakitan mangkat dalam pelarian.
Akhir cerita Trunojoyo, sekutu Amangkurat II dalam menggulingkan ayahnya, justru tragis. Setelah melalui sejumlah pemberontakan, Trunojoyo ditangkap dan dibunuh oleh sekutunya sendiri, Amangkurat II.
Tipu-tipu Si Mata Keranjang
Amangkurat I bukan tidak pernah curiga putra mahkotanya terlibat dalam pemberontakan yang dikobarkan Trunojoyo. Buktinya, saat menyiapkan pasukan untuk melawan pihak pemberontak ia menjadikan sang putra mahkota sebagai panglima perang.
Untuk memastikannya menjalankan perintah, saudara tiri sekaligus pesaing utamanya di keraton yakni Pangeran Singasari, ikut serta dan mengawasi. Pengeran Purbaya, saudara Sultan Agung, dan sejumlah pangeran lain juga terjun langsung dalam pertempuran itu.
M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001:97) menengarai keputusan Amangkurat I sebagai cara untuk mengorbankan putra mahkotanya, tapi mungkin juga putra mahkota sengaja memanfaatkannya dengan pura-pura berperang melawan Trunojoyo agar kecurigaan padanya surut.
Amangkurat II tak hanya bermuslihat dalam hal politik, tapi juga asmara. Sebagaimana ayahnya yang mata keranjang, saat masih menjadi putra mahkota ia sudah menjalin hubungan gelap dengan istri Pangeran Singasari, yang tak lain adik iparnya sendiri.
Seturut C.F. Winter Sr. dalam Babad Tanah Jawi, The Chronicle of Java (2022:104), skandal tersebut tidak diketahui sang adik karena Raden Ayu Singasari, setali tiga uang dengannya, juga memiliki hubungan asmara dengan pria lain lagi. Ironisnya, pria bernama Pangeran Dhobras itu adalah salah satu anak Pangeran Pekik dari Surabaya.
Pangeran Pekik adalah mertua Amangkurat I sekaligus kakek sang putra mahkota dari pihak ibu. Artinya, diam-diam Raden Ayu Singasari bermain mata dengan kakak iparnya sendiri, yakni putra mahkota sekaligus paman putra mahkota yaitu Pangeran Dhobras.
Ketika mengetahui perselingkuhan istrinya dengan Pangeran Dhobras, Pangeran Singasari marah besar. Sementara itu, Amangkurat II melihat skandal tersebut sebagai jalan untuk mengaburkan fakta, yakni dengan pura-pura bersimpati pada sang adik sembari memanas-manasinya dengan berbagai gosip tentang hubungan gelap tersebut.
Pangeran Singasari akhirnya menjebak Pangeran Dhobras dengan mengajaknya pergi ke area perbukitan. Di tempat tersebut, ia menghabisi nyawanya. Jenazah Pangeran Dhobras kemudian dibuang di sebuah sumur. Di bagian atas sumur itu ditanam pohon pisang sebagai penanda.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi