Menuju konten utama

Balada Pulau Penjara Nusakambangan: Dari Amangkurat hingga Teroris

Nusakambangan mulai difungsikan sebagai pulau penjara sejak era pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Namanya sudah dikenal dari zaman Amangkurat I.

Balada Pulau Penjara Nusakambangan: Dari Amangkurat hingga Teroris
Lokasi Lapas Kelas I Batu yang berada di Pulau Nuskambangan, terlihat dari Segara Anakan Cilacap, Jateng, Minggu (22/1/2017). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Sebanyak 145 orang narapidana terorisme yang terlibat insiden berdarah di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, mulai dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan, Kamis (10/5/2018). Di pulau yang berada di perairan pantai selatan Jawa, dekat Cilacap (Jawa Tengah), itu, mereka masing-masing bakal ditempatkan di sel terpisah dengan pengamanan ketat.

Dikenal sebagai pulau penjara layaknya Alcatraz di Teluk San Francisco, Amerika Serikat, tidak sembarang pesakitan yang bisa menempati ruang-ruang kelam di Nusakambangan. Biasanya, narapidana berlabel kakap yang dikirim untuk menjalani hukuman di pulau ini.

Nusakambangan memang bukan pulau biasa. Fungsinya sebagai pulau penjara resmi dimulai pada awal abad ke-20, di era kolonial Hindia Belanda. Namun, riwayat Nusakambangan sudah tercatat jauh sebelum itu.

Dari Mataram Sampai VOC

Menurut catatan Glinter Schilder dalam The Charting of the South Coast Java (1981), pada pertengahan abad ke-16, kapal berbendera Inggris dengan nama Royal George dilaporkan merapat ke sebuah pulau yang berada di sebelah timur pesisir Pangandaran (hlm. 99). Keberadaan kapal Inggris itu tak pelak menarik perhatian otoritas VOC yang berpusat di Batavia.

VOC, yang digawangi orang-orang Belanda dan merupakan rival utama Inggris dalam persaingan dagang di kawasan Asia, lantas bereaksi. Sebenarnya, puluhan kapal VOC sempat nyaris berlabuh pada 1739 di pulau yang kemudian dikenal dengan nama Nusakambangan itu, namun tidak sempat ditindaklanjuti. Waktu itu, kapal-kapal VOC tersesat di perairan selatan Jawa.

Namun, kehadiran kapal pesaing membuat VOC mau tak mau harus bertindak cepat. Belanda tentu saja tidak ingin pulau itu diklaim Inggris. Maka, VOC mengirimkan tim yang dipimpin Paulus Paulusz. Diungkapkan J.R. Bruijn dalam Commanders of Dutch East India Ships in the Eighteenth Century (2011), Paulusz adalah seorang kartografer (pembuat peta) utama di Batavia (hlm. 182).

Paulusz memimpin tim ekspedisinya menjelajahi perairan itu, dan memang, ada sebuah pulau memanjang yang terletak di antara Cilacap dan Pangandaran. Menurut penilaian Paulusz, pulau itu cocok untuk dijadikan sebagai benteng pertahanan dan pengawasan, sekaligus pelabuhan, bagi VOC di pesisir selatan Jawa.

VOC memang tidak segera membangun benteng di Nusakambangan setelah ekspedisi Paulusz. Namun, setidaknya VOC telah mengklaim pulau tersebut dan posisinya lebih kuat dibandingkan Inggris.

Sebenarnya, sebelum ditemukan orang-orang Inggris atau Belanda, Nusakambangan konon sudah menjadi lokasi keramat bagi keluarga istana Dinasti Mataram dan kerap dijadikan tempat untuk melakukan ritual.

Susanto Zuhdi dalam Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa (2002), misalnya, mencatat kutipan dari Babad Tanah Jawi mengenai keterkaitan Nusakambangan dengan wangsa Mataram. Dituliskan, Amangkurat I (1645-1677) memerintahkan kepada abdinya yang bernama Ki Pranataka pergi ke Nusakambangan untuk mencari bunga Wijayakusuma.

“[…] pergilah ke Donan atau Nusakambangan. Kemudian carilah kembang Wijayakusuma dan jangan pulang sebelum kamu mendapatkannya. Tetaplah di situ meskipun rambutmu telah memutih,” demikian titah Amangkurat I kepada Ki Pranataka (hlm. 116).

Bunga Wijayakusuma dipercaya mampu mengembalikan takhta Amangkurat I yang kala itu dalam pelarian ke Tegal karena istana Kartasura diduduki oleh Trunojoyo. Terlepas apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar terjadi, yang pasti bahwa suatu pulau bernama Donan atau Nusakambangan sudah dikenal sejak era Amangkurat I.

Membangun Pulau Penjara

Orang-orang Belanda baru memulai pembangunan di Nusakambangan pada 1836. Sesuai yang disarankan Paulusz sekitar satu dasawarsa sebelumnya, pulau tersebut akan dijadikan sebagai benteng pengawasan sekaligus pertahanan. Ancaman yang paling nyata saat itu adalah bajak laut.

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 Jilid I (2011), mengutip catatan Godfrey Philip Baker (1786-1850), menjelaskan bahwa ada sejumlah kelompok bajak laut, di antaranya berasal dari Bali, Bugis, dan Timor, yang beroperasi di sekitar perairan Nusakambangan. Kaum perompak ini biasanya merampas harta-benda dan bahan pangan, bahkan menculik orang (hlm. 25)

Bahkan, seperti diungkap dalam artikel berjudul “Charlie dan Kampung Laut” yang dimuat Mingguan Hidup (Volume 57, 2003: 9), Nusakambangan sempat dijuluki sebagai pulau bajak laut pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Tahun 1850, wabah malaria melanda Nusakambangan. Sebagian besar orang yang dipekerjakan di pulau itu pun terjangkit dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebagai gantinya, didatangkanlah ratusan narapidana dari berbagai wilayah untuk melanjutkan pembangunan benteng Belanda yang sempat terhenti.

Pada kurun waktu yang sama, didirikan pula bangunan penjara yang bisa menampung hingga 300 orang di sekitar benteng itu. Inilah awal-mula Pulau Nusakambangan digunakan sebagai tempat untuk memenjarakan orang.

Seperti dicatat M. Unggul Wibowo dalam Nusakambangan: Dari Poelaoe Boei Menuju Pulau Wisata (2001), pulau ini sempat dinyatakan tertutup untuk warga sipil lantaran wabah malaria kembali menyerang tahun 1862. Lalu, pembangunan di Nusakambangan kembali digencarkan pada awal abad ke-20. Sejak 1908, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Nusakambangan sebagai “Pulau Bui” (hlm. 22).

Dua tahun berselang, pada 1910, pembangunan penjara dengan kapasitas 700 orang selesai. Jadilah Nusakambangan benar-benar berfungsi sebagai pulau penjara. Selain itu, tenaga para narapidana yang ditempatkan di pulau itu juga dimanfaatkan untuk membuka hutan yang rencananya akan dijadikan sebagai perkebunan karet.

Pembangunan terus digalakkan di Nusakambangan dari tahun ke tahun. Selaras dengan itu, jumlah pesakitan yang didatangkan pun semakin bertambah karena pemerintah kolonial membutuhkan lebih banyak orang untuk proyek perluasan lahan di pulau tersebut.

Dua bangunan penjara digarap sekaligus pada 1912, masing-masing bisa menampung 750 orang narapidana. Dekade berikutnya, didirikan lagi empat bangunan penjara, yakni pada 1924, 1927, 1928 dan 1935. Hingga era pendudukan kolonial Belanda di Indonesia berakhir, setidaknya ada 9 bangunan yang difungsikan sebagai bui di Nusakambangan.

Infografik Pulau Penjara Nusakambangan

Abadi Sebagai Pulau Bui

Pemanfaatan Nusakambangan sebagai lokasi terisolasi untuk memenjarakan para pesakitan terus berlanjut pada era Sukarno, Soeharto, bahkan hingga saat ini. Penjara ini diperuntukkan bagi mereka yang dianggap sebagai penjahat kelas wahid.

Penjahat legendaris macam Johny Indo, Kusni Kasdut, Sastrowiyono bin Wongso, juga Nanggo alias Bang Timong, misalnya, pernah merasakan kehidupan sebagai penghuni Nusakambangan. Untuk kabur dari situ dinilai sulit karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sementara di sisi lainnya dibatasi sungai yang memisahkan pulau ini dengan permukiman kampung nelayan.

Namun, ternyata ada pesakitan yang bisa kabur dari penjara di Nusakambangan. Johny Indo dan Bang Timong pernah melakukannya bersama puluhan narapidana lain pada pertengahan 1982 dengan cara mengeroyok penjaga gerbang. Namun, sebelum sempat keluar pulau, mereka sudah dapat ditangkap, ada pula yang terpaksa ditembak mati oleh aparat.

Sebelumnya, Juni 1979, aksi pelarian juga pernah terjadi. Pelakunya adalah perampok sadis asal Lampung bernama Sastrowiyono bin Wongso yang baru setahun dipindahkan ke Nusakambangan. Setelah melompati pagar setinggi 4 meter, ia berenang semalaman menyeberangi sungai di sisi utara pulau. Bahkan, Sastrowiyono berhasil pulang ke Lampung sebelum akhirnya dicokok lagi dan dipenjara lebih lama.

Tak hanya bromocorah, anak presiden juga pernah mendekam di Nusakambangan, yakni Hutomo Mandala Putra alias Tommy, yang terlibat sejumlah kasus kejahatan, termasuk pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 2001. Kamar penjara anak bungsu Soeharto ini bersebelahan dengan sel Bob Hasan, koruptor kelas berat sekaligus mantan menteri yang lekat pula sebagai kroni ayahnya.

Bagi tahanan politik, terutama selama era Orde Baru, Nusakambangan juga menyediakan ruang inap, seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer. Selama 4 tahun sejak 13 Oktober 1965, Pram dibui di pulau yang terhampar di Samudera Hindia itu tanpa proses pengadilan, sebelum dipindahkan ke Pulau Buru.

Begitu pula dengan narapidana terorisme. Trio terpidana mati terkait aksi teror Bom Bali 2002, yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas, bahkan harus mengakhiri hidup di pulau ini. Ketiganya dieksekusi pada November 2008.

Kini, potensi lain Nusakambangan semakin digali, termasuk habitat flora dan fauna yang beberapa di antaranya terbilang langka, juga potensi pariwisata. Namun, sampai kapanpun, citra Nusakambangan bakal tetap abadi sebagai pulau bui.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN MAKO BRIMOB atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan