tirto.id - Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mondar-mandir di Direktorat Polisi Satwa Mako Brimob, Rabu malam (9/5/2018). Begitu bertemu wartawan, ia dicecar banyak pertanyaan, dari kondisi terkini penyanderaan hingga hasil negosiasi.
“Kami belum bisa cerita itu, masih rahasia,” katanya menjawab pertanyaan salah seorang wartawan soal negosiasi.
Malam itu ia mungkin polisi paling sibuk di Indonesia. Hampir tiap menit ia harus meladeni pertanyaan wartawan. Dalam semalam, ia pun sudah menggelar dua kali konferensi pers. Matanya sudah sedikit merah. Makin malam, suaranya makin pelan. Mungkin sudah kelelahan.
Saya hadir dalam konferensi pers terakhir Setyo. Saat itu ia baru saja tiba dari gedung terdekat dengan blok rumah tahanan tempat para narapidana dan terdakwa terorisme melakukan penyanderaan. Ia datang dengan informasi baru: Brigadir Iwan Sarjana, sandera terakhir, sudah berhasil dibebaskan.
“Brigadir Iwan mengalami luka-luka lebam di muka dan di tubuhnya, sejam lalu sudah berhasil dibawa keluar,” ujar Setyo.
Jika sandera sudah habis, mengapa polisi tidak segera bertindak? Apakah adakah sandera lain? Pertanyaan itu tidak dijawab Setyo.
Kronologi Tak Sinkron
Sejak awal, polisi memang irit komentar tentang kasus kerusuhan di Mako Brimob. Setelah informasi bocor dan menyebar, polisi barulah buru-buru membenarkan. Sekali berkomentar pun muncul banyak versi.
Simpang siur pertama adalah waktu kejadian. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, kericuhan ini bermula seusai magrib. Saat itu salah seorang terdakwa kasus terorisme menemui sipir untuk menanyakan titipan makanan. Sialnya, petugas jaga sudah ganti. Titipan makanan itu disimpan oleh petugas jaga sebelumnya.
Tak terima dengan alasan itu, si terdakwa lantas mengamuk dan mengajak teman-temannya membuat kerusuhan di Blok C. Terdakwa itu belakangan diketahui bernama Wawan Kurniawan alias Abu Afif, pimpinan Jamaah Ansharut Daulah Pekanbaru, Riau.
Keterangan Argo Yuwono ini berbeda dari keterangan Wakapolri Komjen Syafruddin. Versi Syafruddin, kerusuhan sudah terjadi sejak pukul 5 sore. Soal penyebabnya, Syafruddin tak menjelaskan. Namun, Kepala Biro Penerangan Mabes Polri, Brigjen Mohamad Iqbal, menjelaskan penyebab kerusuhan sama dengan omongan Argo.
Waktu kerusuhan versi Syafruddin tidak masuk akal. Sebab hari itu, Wawan tengah mengikuti persidangan di Jakarta Barat hingga sore. Pengacara Wawan, Asludin Hatjani, mengatakan masih bersama Wawan sampai pukul 4 sore.
Sebelum mulai persidangan, Wawan sempat mengeluh pada Asludin bahwa makanan titipan dari istrinya tak boleh masuk ke sel. Persoalan ini sudah terjadi beberapa kali, tetapi Wawan baru bercerita kepada Asludin hari itu.
Kerusuhan itu, kata Argo, melibatkan satu Blok C yang berjumlah 34 penghuni. Para tahanan di Blok C lantas memprovokasi Blok B lalu merusak ruang penjaga dan penyidikan. Di sanalah empat polisi dihajar dan mendapat luka-luka lebam. Keempatnya berhasil kabur.
Waktu kerusuhan itu menurut versi Syafruddin terjadi pukul 19.30. Namun, versi lain ada yang menyebutkan kerusuhan baru dimulai pukul 22.00. Waktu mulai kerusuhan ini penting karena terkait penyanderaan enam polisi yang berakhir tragis.
Polisi tak memberikan keterangan apa pun setelah itu, sampai akhirnya pada Rabu dini hari, Brigjen M. Iqbal mengumumkan kerusuhan itu hanya membuat beberapa polisi terluka.
"Ada beberapa korban luka. Baik dari petugas, tapi lukanya tidak serius. Tetapi saat ini, saat ini, tepat pukul 01.00 dini hari, tidak ada yang meninggal dunia," kata Iqbal.
Dalam keterangan pers, Iqbal tak menyinggung enam polisi yang disandera para teroris di dalam. Ini cukup aneh. Sebab, malam itu, kantor berita ISIS Amaq sudah mengklaim aksi teror di Rutan Mako Brimob adalah bagian dari mereka dan sudah menewaskan lima polisi. Kabar itu justru dibantah oleh polisi.
Pada waktu hampir bersamaan, polisi sudah mensterilkan area di sekitar Mako Brimob. Para jurnalis yang meliput dijauhkan dari Mako. Mereka bahkan sudah membentangkan pagar berduri. Penjagaan di sekitar Mako makin ketat. Sejumlah polisi sudah berjaga di setiap jalan yang masuk dan keluar Mako Brimob.
Polisi baru memberi pernyataan resmi tentang kematian 6 orang dalam insiden tersebut pada pukul 16.20. Dari jumlah itu 5 orang adalah polisi, 1 orang teroris. Mereka adalah Bripda Wahyu Catur Pamungkas (Idensos), Bripda Syukron Fadhli (Idensos), Ipda Rospuji (Penyidikan), Bripka Denny (Penyidikan), Briptu Fandi (Penyidikan), dan teroris Benny Syamsu Tresno.
Pernyataan itu jauh terlambat. Amaq sudah lebih dahulu merilis kematian para polisi pada Selasa malam, 8 Mei, bahkan mengunggah videonya. Sedangkan polisi baru merilis pada Rabu sore, 9 Mei. Terlambatnya polisi merilis informasi itu menunjukkan polisi menyembunyikan sesuatu dari publik.
Munculnya video ini tentu menimbulkan pertanyaan: Bagaimana bisa para narapidana dan terdakwa itu memiliki ponsel untuk berkomunikasi dengan pihak luar?
Negosiasi Lunak dengan Teroris
Polisi baru bisa membawa keluar jasad korban meninggal sekitar pukul 10 pagi Rabu (9/5). Semua jasad itu tiba satu jam kemudian di Rumah Sakit Kramat Jati untuk visum. Setelahnya, polisi baru memberikan keterangan pers soal jumlah korban pada petang harinya.
Hilangnya nyawa enam orang itu tidak lantas membuat eskalasi menurun. Para teroris justru makin beringas. Pada pukul 22.00, polisi mengabarkan para teroris sudah berhasil menguasai tiga blok, yakni Blok A, B dan C. Polisi pun makin mengetatkan keamanan.
Malam itu semua akses jalan ke Mako Brimob ditutup. Tidak ada yang boleh masuk tanpa rekomendasi dari dalam Mako. Saya sempat diadang polisi ketika menuju ke arah Mako Brimob. Mereka sudah lengkap memegang senjata api dan mengenakan rompi anti peluru serta helm. Meski sudah menjelaskan bahwa saya adalah jurnalis, saya tidak diperbolehkan masuk, kecuali dengan satu syarat: shifting dengan jurnalis di dalam Mako.
Untuk masuk ke Mako pun tidak mudah. Para jurnalis harus menunjukkan kartu pers dan mencocokkannya dengan data KTP, setelah itu difoto dengan tangan memperlihatkan KTP dan kartu pers. Di dalam pun jurnalis tak bisa bergerak dengan leluasa. Semua informasi hanya bisa didapat dari satu sumber kepolisian.
Jarak lokasi pusat informasi, tempat jurnalis menunggu, tidak terlalu jauh dari Blok A, B dan C. Lokasi penyanderaan itu ada di sebelah kanan Direktorat Polisi Satwa yang gedungnya menjadi tempat pusat informasi. Jika Anda hendak ke blok tersebut, Anda harus berjalan melewati deretan asrama Brimob, sebuah lapangan serba guna, dan barulah terlihat gedung tempat para teroris bersembunyi.
Saat saya sampai di sana, polisi tengah melakukan negosiasi. Cukup mengesankan, para negosiator berhasil meyakinkan teroris untuk melepas sandera hidup, Brigade Iwan Sarjana. Sebagai gantinya, teroris meminta makanan. Pukul 00.00, Iwan pun dibebaskan.
Setyo enggan mendetailkan permintaan lain dari para teroris. Bahkan untuk jumlah porsi dan menu makan untuk para teroris itu, Setyo tidak bisa memberitahukan. “Mereka minta dukungan makanan. Kami bujuk untuk mau bebaskan dulu,” katanya.
Pilihan polisi memilih jalan negosiasi ini patut diapresiasi. Meski demikian, pilihan ini cukup aneh jika melihat rekam jejak kepolisian. Selama ini polisi terkenal garang jika berhadapan dengan kelompok yang dianggap mengganggu. Misalnya, dalam kasus pengamanan sengketa lahan di desa Patiala Bawa, Sumba Barat, pada 25 April 2018. Di sana Brimob justru garang. Bahkan tak segan menembak warga. Poro Duka, seorang warga dalam kasus konflik agraria itu, mati dengan luka tembak di dada.
Sikap itu tidak ditunjukkan polisi terhadap para teroris di Mako Brimob. Alih-alih bertindak tegas, polisi bernegosiasi meski sandera sudah bebas semua. Polisi bahkan memfasilitasi para teroris untuk pindah ke Nusakambangan.
Kamis pagi, sekitar pukul 4, dua buah bus dan 5 truk berisi pasukan polisi terlihat memasuki Mako Brimob. Bus itu yang nantinya digunakan untuk memindahkan teroris ke Nusakambangan. Kedatangan dua bus itu kemudian disusul mobil berpelat RI 13. Tampaknya sejak malam itu sudah ada kesepakatan antara polisi dan para teroris.
Tembakan dan Ledakan Bom
Pemindahan ke Nusakambangan rupanya tak disepakati utuh oleh para teroris. Dari 155 teroris, 145 orang di antaranya sepakat menyerahkan diri dan pindah ke Nusakambangan. Sementara 10 sisanya bersikeras angkat senjata.
Sebanyak 145 teroris menyerahkan diri pada pukul 5 pagi. Mereka kemudian disiapkan untuk diangkut dalam bus. Pukul 07.20, tiba-tiba terdengar suara ledakan bom sebanyak empat kali, kemudian disusul suara rentetan tembakan.
Baku tembak tidak berlangsung lama. Kata Menkopolhukam Wiranto, sepuluh teroris turut menyerahkan diri setelahnya. Namun, sepuluh orang terakhir ini tidak masuk dalam kesepakatan pemindahan ke Nusakambangan.
Wakapolri Komjen Syafruddin menegaskan suara tembakan dan ledakan bom itu bukan dari baku tembak, melainkan proses sterilisasi oleh polisi. Karena saat itu polisi menemukan bom rakitan yang dibuat oleh para teroris.
“Di dalam ada banyak senjata. Tapi ledakan yang Anda dengar, tidak ada korban jiwa,” katanya.
Senjata yang dipegang oleh para teroris adalah senjata sitaan yang diambil oleh para teroris dari gudang barang bukti di sebelah Blok A. Menurut Wiranto, ada sekitar 30 senjata api yang diambil oleh para teroris.
“Bukan senjata organik dari kepolisian, tapi senjata sitaan dari aparat keamanan pada saat melaksanakan operasi lawan terorisme sebelumnya,” kata Wiranto.
Klarifikasi terakhir dari kepolisian datang dari Syafruddin. Ia mengkritik penggunaan nama Rutan Mako Brimob karena sebetulnya Rutan itu adalah Rutan cabang Salemba. Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM, Sri Puguh Budi Utami membenarkan hal itu. Namun untuk pengawasan Rutan tersebut sepenuhnya menjadi wewenang Brimob.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam