tirto.id - 156 narapidana terorisme menduduki rumah tahanan cabang Salemba di Kelapa Dua, yang terletak di kompleks Markas Komando Brimob, Depok. Versi polisi: kericuhan berawal dari percekcokan seorang narapidana dengan petugas soal makanan titipan, yang lantas berkembang menjadi horor. Enam anggota Brimob disandera, lima di antaranya tewas, plus seorang napi teroris tewas.
Kejadian ini bisa jadi pendudukan penjara terburuk dalam beberapa tahun belakangan di Indonesia. Tetapi, jelas ini bukan yang pertama di dunia. Menilik sejarah, pernah pula terjadi beberapa peristiwa pendudukan penjara yang berakhir berdarah-darah.
Horor di Penjara Attica
Pendudukan penjara yang paling sohor barangkali terjadi di Penjara Attica, New York, AS. Pendudukan berlangsung selama empat hari, dari 9 hingga 13 September 1971. Ratusan narapidana di penjara dengan level keamanan tertinggi di New York itu merebut kontrol penjara dan menyandera staf penjaga penjara.
Pangkal pemberontakan narapidana adalah kondisi penjara yang begitu buruk. Tahun itu penjara Attica menampung 2.250 tahanan, padahal kapasitasnya hanya 1.600. Di luar itu ketegangan rasial turut berpengaruh. 55 persen tahanan di sana adalah orang Afrika-Amerika dan 10 persen Hispanik, sementara semua penjaga berkulit putih.
Peristiwa yang memicu pemberontakan terjadi pada 8 September. Saat itu dua narapidana terlihat berkelakar dan agak ribut. Penjaga yang salah paham mengira mereka bertengkar, sehingga terjadi pertengkaran antara penjaga dan tahanan. Dua orang tahanan itu pun akhirnya menerima hukuman.
Marah oleh sikap sipir penjara, esoknya beberapa tahanan menyerang salah seorang penjaga dan dengan segera seluruh penjara terprovokasi. Kekacauan terjadi. Para narapidana merebut akses pusat kendali. Sekitar 1.300 narapidana ikut terlibat dalam kekacauan itu dan menyandera 38 petugas penjara.
Ensiklopedia Britannica menyebut tak ada titik temu antara aparat keamanan dan napi yang berontak setelah empat hari bernegosiasi. Kepolisian negara bagian New York lantas memilih untuk menyerbu penjara demi mengakhiri pemberontakan itu. Penyerbuan itu menewaskan 29 narapidana dan 10 staf penjara yang ditawan.
Pendudukan Penjara di Brasil
Pemberontakan narapidana yang terbilang masif pernah terjadi juga di Penjara Urso Branco, Brasil, pada Desember 2005. Kerusuhan ini adalah buntut dari serangkaian kericuhan sebelumnya di penjara itu.
Australia Broadcasting Channel melaporkan pemberontakan dimulai saat narapidana menerima kunjungan Natal. Saat itu keluarga tahanan yang berkunjung, jumlahnya sekitar 200 orang dan sebagian besarnya perempuan, disandera selama empat hari.
Para tahanan yang memberontak menuntut pengembalian pemimpin mereka, Ednildo Paula Souza, ke Urso Branco. Ednildo Paula Souza adalah pemimpin geng tahanan yang dua minggu sebelumnya kabur dari penjara. Ia berhasil ditangkap lagi, tetapi dipindahkan ke penjara lain. Mereka juga menuntut jaksa yang memerintahkan pemindahan Souza dipecat.
Para tahanan menggertak polisi dengan mengatakan mereka telah membunuh beberapa sandera. Namun, setelah dilakukan pencarian di sekitar penjara, polisi tak menemukan tubuh sandera itu. Setelah negosiasi alot, polisi akhirnya mau memenuhi tuntutan para tahanan, kecuali soal pemecatan jaksa.
“Setelah itu barulah mereka mau kembali ke selnya masing-masing dan melepas para sandera,” kata juru bicara kepolisian negara bagian sebagaimana dikutip nbcnews.com.
Kerusuhan pada 2005 bukanlah yang pertama terjadi di sana. Urso Branco memang dikenal sebagai penjara paling keras di Brasil. Kelebihan tahanan semakin memperparah kondisi itu. Ada sekitar 950 tahanan di Urso Branco, padahal kapasitasnya hanya mampu menampung setengahnya.
Kondisi itulah yang memicu kerusuhan di penjara itu pada 2002, yang berlangsung selama lima hari dan menewaskan 26 tahanan. Pada April 2004 kerusuhan yang lebih berdarah juga meledak di penjara tersebut.
Kerusuhan di Penjara Indonesia
Sementara di Indonesia, pemberontakan narapidana dan pendudukan penjara yang menggegerkan pernah terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, pada 2013. Musababnya tak jauh-jauh dari soal fasilitas dan buruknya kondisi Lapas.
Pada 11 Juli 2013, aliran listrik diputus di Lapas. Akibatnya persediaan air habis. Para narapidana protes kepada sipir, tetapi tak ditanggapi dengan baik. Para tahanan yang kesal lalu memberontak dan menjebol pintu utama Lapas. Kantor sipir menjadi sasaran perusakan berikutnya. Usai membakar Lapas, mereka kabur.
Sekitar 200 narapidana melarikan diri. "Dari jumlah itu, 15 di antaranya diduga tahanan kasus terorisme,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Heru Prakoso sebagaimana dikutip tempo.co.
Tetapi, tak semua narapidana kabur. Beberapa narapidana bertahan dan menduduki Lapas. Kepada petugas keamanan yang berjaga di luar Lapas, mereka menyuarakan tuntutan untuk bertemu dengan Menkumham Amir Syamsudin. Para napi yang menduduki Lapas menuntut agar peraturan pemerintah yang merugikan mereka dihapus.
Beleidyang ingin dihapuskan adalah PP 99 tahun 2012. Menurut Farida Noris Ritonga, wartawan Sumut Pos yang meliput kerusuhan itu, para napi menuntut aturan itu dihapus karena dianggap menghilangkan hak remisi dan pembebasan bersyarat. Aturan itu berlaku untuk narapidana korupsi, narkotika, pembalakan liar, dan terorisme.
Hingga dua hari setelah kerusuhan, aparat keamanan masih sulit mengendalikan situasi Lapas. Aparat tak bisa masuk ke Lapas dan hanya bisa berjaga di luar.
"Napi masih menguasai penjara. Setiap ada petugas yang mau masuk, mereka dilempari," ungkap Farida kepada bbc.com.
Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta itu menyebabkan empat napi dan petugas Lapas tewas. Penyebabnya diduga karena terkena ledakan saat kebakaran terjadi.
Langganan Rusuh di Krobokan
Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali, justru kerap dilanda kerusuhan. Kerusuhan pertama di Lapas Kerobokan terjadi pada 19-22 Februari 2012.
Laman kompas.com melaporkan kerusuhan bermula saat Made Eriyasa, salah seorang tahanan penghuni Blok C 2 Lapas Kerobokan, bertengkar dengan sesama narapidana bernama Basori. Made Eriyasa tertusuk dalam perkelahian itu. Penusukan itu lantas pecah menjadi amuk massa. Narapidana yang mengamuk menerobos pintu dan merusak fasilitas di lapas.
Kepolisian sempat berhasil mengendalikan situasi. Namun kerusuhan kembali dua hari kemudian. Kali ini para narapidana berhasil menduduki penjara. Dilaporkan tempo.co, mereka bahkan menghalau petugas dengan melemparkan batu dan bom molotov.
Menurut Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, narapidana kembali berontak karena tak puas dengan penyelesaian kasus penusukan Made Eriyasa. Para narapidanan yang berontak merasa ada perlakuan diskriminatif dalam pengusutan kasus itu. Mereka juga protes karena petugas jaga suka meminta uang kepada keluarga tahanan.
Kapasitas Lapas Kerobokan yang jauh dari ideal juga menjadi sumber protes lain. Kapasitas asli Lapas Kerobokan sebenarnya hanya mampu menampung 300 tahanan. Namun, saat itu lapas dijejali sekira 1.000 tahanan. Kerusuhan baru mereda setelah perwakilan tahanan dan kepolisian bernegosiasi.
Namun, itu bukan yang terakhir. Lapas Kerobokan kembali rusuh pada Desember 2015. Percekcokan antar sesama tahanan kembali jadi sebab. Kali ini bahkan melibatkan dua ormas luar, Laskar Bali dan Baladika, yang kawannya terlibat perselisihan di lapas. Bentrokan yang semula hanya terjadi dalam lapas pun merembet ke luar.
Akibat kerusuhan itu empat orang tewas, dua di dalam lapas dan lainnya di luar lapas. Tiga korban tewas itu adalah anggota ormas yang ikut bertikai, sementara seorang lagi tak teridentifikasi.
“Pemicunya tidak terlalu jelas. Mereka memberi keterangan kepada kami, (bentrokan) diawali dengan senggolan, saling melotot. Kemudian terjadi perkelahian antarnapi. Mereka lalu membawa kelompok yang berafiliasi dengan organisasi massa tertentu,” ujar Kapolda Bali Inspektur Jenderal Sugeng Priyanto, dikutip dari laman bbc.com.
Satu hal yang dapat disimpulkan dari beberapa kejadian kerusuhan itu. Titik kisarnya hampir selalu sama: kondisi penjara yang buruk dan perlakuan petugasnya.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Zen RS