Menuju konten utama

Melawan Rekrutmen Teroris di Lapas

BNPT membuat Program Deradikalisasi bagi para narapidana teroris yang masih berada di Lapas. Kebijakan ini dinilai tidak memiliki framework utuh yang melibatkan Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Kemenkumham, juga lembaga negara lainnya. Buktinya, Lapas justru bisa menjadi ajang rekrutmen.

Melawan Rekrutmen Teroris di Lapas
Juhanda alias Jo saat menjalani sidang perdana di PN Jakarta Barat, Senin (31/10/2011). Juhanda menjadi pelaku pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda setelah bebas dari penjara. [ANTARA Foto/Reno Esnir]

tirto.id - Umar Patek, pelaku bom Bali I, menjadi pengibar bendera Merah Putih pada upacara Kebangkitan Nasional, 21 Mei 2015, di Lapas Porong, Jawa Timur. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan syal warna merah dan peci hitam saat bertugas.

Tidak hanya menjadi pengibar bendera, Umar juga menjadi pembaca teks Pancasila. Dengan lantang dia mengucapkan satu persatu sila.

Penampilan Umar Patek menjadi pengibar bendera sekaligus pembaca teks Pancasila, seolah pesan lugas dari BNPT: Kami berhasil menaklukkan teroris sekaliber Umar Patek.

Menurut Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pihaknya memang memiliki program khusus untuk para teroris. Program tersebut dinamakan Program Deradikaliasi dikemas dalam berbagai kegiatan seperti pembinaan keagamaan, wawasan kebangsaan dan kewirausahaan.

“Bentuknya dialog, keagamaan, wawasan kebangsaan, penguatan kewirausahaan dan dana untuk usaha kecil mereka,” kata Irfan kepada tirto.id, Senin (14/11/2016).

Masalahnya, tidak semua teroris adalah Umar Patek.

Juhanda alias Muhammad Aceng Kurnia (34) contohnya. Dia kembali ditangkap setelah melempar bom molotov ke halaman Gereja Oikumene Samarinda, pada Minggu (13/11/2016). Akibatnya, Intan Olivia Marbun (2,5) meninggal dunia akibat luka bakar dan infeksi saluran pernafasan.

Jo begitu panggilan Juhanda, juga pernah terlibat dalam aksi teror serupa. Pada Maret 2011, Jo terlibat dalam serangan bom buku bersama Pepi di di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Tangerang. Buntutnya, dia divonis 3 tahun 6 bulan penjara di PN Jakarta Barat, pada 29 Februari 2012.

Hukuman tiga tahun ini dijalaninya tidak penuh. Dia dinyatakan bebas bersyarat dari Lapas Kelas I Tangerang setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014. Agaknya memang penjara tiga tahun yang dijalaninya tidak mampu membuat jera. Terbukti, berselang dua tahun setelah keluar dari tahanan, Jo kembali ke jalannya berjihad, menebar teror bom.

Hal yang sama dilakukan oleh Afif alias Sunakim dan Muhamad Ali alias Marwan. Kedua mantan teroris itu kembali menebar teror lewat pengeboman dan penembakan di Sarinah, Jl Thmarin, Jakarta, Kamis (14/1/2016). Afif merupakan narapidana kasus latihan para militer di Jantho, Aceh. Sedangkan Ali, mantan kelompok bersenjata di Medan. Bukannya insyaf setelah di penjara, keduanya justru makin brutal.

Infografik Teror bom Samarinda

Rekrutmen di Lapas

Kembali beraksinya para mantan teroris ini mendapat perhatian dari peneliti gerakan radikal keagamaan di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca. Menurutnya, ada permasalahan serius dalam proses hukuman yang dijalani oleh para teroris itu.

Najib mengritik Program Deradikaliasi yang digaungkan oleh BNPT. Menurutnya, Program Deradikalisasi tidak memiliki kerangka yang utuh dan melibatkan berbagai pihak, seperti Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Kemenkumham, juga lembaga negara lainnya.

“Jadi yang dilakukan masih secara parsial dan seringkali sektoral oleh masing-masing pihak, tapi tanpa keutuhan framework yang melibatkan berbagai pihak yang sama-sama terlibat,” kata Najib kepada tirto.id, Senin (14/11/2016).

Selain itu, Najib juga menilai bahwa salah satu kelemahan Program Deradikalisasi disebakan BNPT lebih fokus pada kegiatan seremonial seperti seminar, diskusi dan kajian agama. Padahal, persoalan terorisme tidak bisa selesai hanya dengan melakukan diskusi.

Dalam beberapa kasus, banyak narapidana teroris yang akhirnya terjerumus lagi ke kelompok serupa. Hal itu disebabkan stigma kuat di masyarakat yang membuat mereka tidak bisa diterima layaknya warga lainnya. Pada saat bersamaan, pemerintah juga tidak melakukan pemantauan dan pendampingan.

Pada Februari 2016, BNPT sendiri merilis ada 584 orang mantan teroris yang kini ada di luar penjara. Dari jumlah tersebut, hanya 386 yang terdata. Itu pun tidak semuanya diketahui tempatnya.

Melihat fakta itu, rasanya tidak salah jika banyak mantan teroris yang kemudian kembali lagi muncul menebar teror.

Masalah lainnya yang lebih akut, tak lain peluang rekrutmen teroris yang justru dilakukan oleh para napi teroris di dalam penjara. Menurut Najib, ada beberapa napi biasa yang setelah bebas justru menjadi teroris karena dipengaruhi napi teroris di dalam penjara.

Hal itu pun dibenarkan oleh Nasir Abbas, mantan teroris bom Bali I yang kini menjadi konsultan di Center for Police and Terrorism Research. Menurutnya, pola rekrutmen teroris baru banyak dilakukan di dalam penjara. Terutama mereka yang berpaham Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.

“Mereka pasti (berkomunikasi). Mereka di dalam penjara mungkin tidak ketemu, tapi mereka bertemu dengan teroris-teroris lain. Banyak dari mantan teroris itu keluar dari penjara kemudian bergabung dengan ISIS,” tegas Abbas.

Masalah itu pun harus segera dicari solusinya. Sebab jika tidak, penjara justru menjadi tempat rekrutmen para calon teroris baru.

“Monitoring dan evaluasi mengenai apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Misalnya di Lapas dan waktu keluar Lapas. Semua harus berbasis data yang disusun untuk memetakan saling pengaruhnya di mana, saling bekerja samanya di mana. Nah itu yang selama ini tidak dimiliki, ” papar Najib.

Baca juga artikel terkait DERADIKALISASI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna, Dieqy Hasbi Widhana & Andrian Pratama Taher
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho