Menuju konten utama

Ancaman Bom dari Kambuhnya Napi Terorisme

Teror bom molotov terjadi di Gereja Oikumene Samarinda dan Vihara Budi Dharma Singkawang hanya dalam rentang 15,5 jam. Pelaku bom Samarinda ternyata mantan narapidana (napi) terorisme. Mereka kembali leluasa melakukan aksinya karena tak pernah ada pengawasan lagi setelah para napi terorisme itu bebas dari jeruji besi.

Ancaman Bom dari Kambuhnya Napi Terorisme
Personel Brimob Polda Kaltim mengamankan lokasi ledakan bom di Gereja Oikumene Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (13/11). Ledakan bom tersebut menyebabkan lima orang terluka yang semuanya merupakan masih anak-anak, empat diantaranya mengalami luka bakar parah dan seorang terduga pelaku peledakan berhasil ditangkap warga. ANTARA FOTO/Amirulloh

tirto.id - Dua bom molotov meledak hanya berselang 15,5 jam, di dua tempat ibadah, di dua kota berbeda di Kalimantan, pada Minggu siang (13/11/2016) dan Senin dini hari (14/11/2016). Aksi teror pertama terjadi di Gereje Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, sedangkan aksi teror kedua di Vihara Budi Dharma, Singkawang, Kalimantan Barat.

"Ini sekali lagi memberikan warning bahwa radikalisme dan terorisme masih ada di sekitar kita," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Kantor Wapres, pada Senin (14/11/2016).

Pernyataan Wapres JK terlontar merespons jatuhnya korban akibat aksi terorisme di halaman Gereja Oikumene. Intan Olivia Marbun (2,5) meninggal dengan kondisi luka bakar 78 persen dan infeksi saluran pernafasan. Sementara tiga balita lainnya yang turut menjadi korban juga menderita luka bakar dan kini dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah IA Moeis Samarinda Seberang. Pelaku pelemparan bom molotov ditangkap setelah meloncat ke sungai menghindari kejaran massa.

Berbeda dengan teror bom Samarinda, serangan bom molotov di Singkawang tak mengakibatkan jatuhnya korban. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 03.00 WITA. Polisi menemukan dua botol berisi bensin dan bersumbu yang dilemparkan pelaku di halaman Vihara Budi Dharma terletak di Jalan GM Situt.

Pada Senin pagi (14/11/2016), Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian melansir pelaku pengeboman Gereja Oikumene. Pelaku diduga bernama Juhanda alias Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia (32). Hal yang mencengangkan, Kapolri menyebut bahwa pelaku bom Samarinda adalah mantan narapidana kasus teror bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Tangerang. Dia dipenjara selama 3,5 tahun sejak 2012 dan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014.

Juhanda merupakan anggota kelompok pelaku teror bom buku Puspitek yang dipimpin Pepi Fernando. Pepi sendiri divonis hukuman penjara 18 tahun pada awal Maret 2012. "Pelaku sudah ditangkap. Percayakan kepada penegak hukum untuk menangkap jaringannya," kata Tito.

Program Deradikalisasi Tak Efektif

Terlepas dari janji Kapolri untuk menangkap pelaku bom Samarinda dan jaringannya, ada pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab, yakni mengapa seorang bekas narapidana tindak terorisme bisa kembali melakukan aksi terorisme? Apakah tidak ada pengawasan khusus terhadap para mantan pelaku terorisme ketika mereka keluar Lembaga Pemsyarakatan (Lapas) dan kembali berbaur dengan masyarakat?

Guna menanggulangi terorisme, pemerintah sudah membentuk sebuah lembaga ad hoc di luar kementerian, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Perpres Nomor 46 yang diteken Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2010. Cikal bakal lembaga ini adalah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibentuk tahun 2002 pasca peristiwa bom Bali yang mencuat 12 Oktober 2002.

BNPT telah menggelar Program Deradikalisasi yang bertujuan mengikis pemahaman radikal yang tertanam dalam benak para pelaku terorisme, khususnya para narapidana pelaku terorisme. Sampai September lalu, sebanyak 242 narapidana terorisme mengikuti Program Deradikalisasi yang merupakan salah satu bagian dari hukuman yang harus dijalani.

Sementara di tahun 2014-2015, sebanyak 128 napi terpidana teroris mengikuti Program Deradikalisasi. Hanya masalahnya, dari 40 mantan napi terpidana teroris yang mengikuti program deradikalisasi, sebanyak 31 orang justru mengulangi kejahatan melakukan aksi teror.

Bagaimana BNPT menanggapi bom Samarinda?

Menurut Prof. Dr. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT, pihaknya mengetahui bahwa Juhanda, pelaku pelemparan bom molotov, merupakan mantan napi teroris yang pernah melakukan bom buku. Dia juga menyebut Juhanda tak mengikuti Program Deradikalisasi.

Ia juga menyebut aksi terorisme sebagai sebuah tindakan yang tidak bisa diprediksi. “Siapa yang bisa memprediksi kepala orang? Yang pasti kita lakukan waspada. Jangan nanti ada begini ribut lagi,” katanya ketika dihubungi tirto.id. Dia justru mengimbau agar semua masyarakat sadar dan peduli terhadap aksi terorisme.

Wawan Purwanto, peneliti intelijen yang juga staf ahli di BNPT menjelaskan, dari 100 persen napi terorisme, sebanyak lima persen sudah dibebaskan dan 95 persen masih mengikuti Program Deradikalisasi. “Nah yang ancaman nyata itu yang lima persen ini. Karena ada banyak yang sudah keluar tapi setelah itu tidak diketahui lagi rimbanya. Itu yang terjadi,” katanya kepada tirto.id.

Apakah lima persen napi yang bebas tidak diawasi secara khusus oleh intelijen atau aparat negara? Menurut Wawan, berpotensi muncul persoalan baru jika pengawasan seperti itu dilakukan. Pemerintah bisa dituding telah melanggar HAM.

Rp700 Miliar untuk Tanggulangi Terorisme

Munculnya teror bom di Gereja Oikumene ditanggapi sinis oleh kalangan Komisi III DPR. Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaidi Mahesa menilai, bom Samarinda menunjukkan BNPT telah gagal melakukan pembinaan dan antisipasi terhadap persoalan-persoalan radikalisasi.

“Padahal dalam tupoksi mereka, selain pembinaan, mereka juga melakukan pengawasan gerak mantan-mantan narapidana. Berarti dalam konteks hari ini, Lapas dan BNPT gagal melakukannya,” kata Desmond kepada tirto.id.

Infografik Teror bom Samarinda

Ahmad Sahroni, anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, lebih menyorot anggaran tahun 2016 buat BNPT sebesar Rp700 miliar yang disiapkan khusus untuk menanggulangi terorisme. Maka wajar jika untuk tahun 2017, anggaran tersebut dipangkas menjadi Rp500 miliar. “Ya ngapain ngasih anggaran tapi nggak maksimal kerjanya? Buat apaan? Tutup aja,” katanya sinis.

Sementara itu, Muhammad Najib Azca, peneliti masalah keamanan dan gerakan radikal keagamaan, menyatakan pentingnya mengumpulkan data selengkap dan seakurat mungkin tentang seorang mantan napi teroris. Sebut saja bagaimana posisi politis, posisi ekonomi, finansial, dan lain-lain.

“Kadang-kadang juga sering tidak akurat, sehingga kita tidak tahu harus bagaimana men-treatment narapidana teroris. Men-treatment pelaku terorisme yang sudah berubah, harusnya berbeda dengan mereka yang belum berubah,” katanya kepada tirto,id, Senin (14/11/2016).

Tugas pemerintah dalam mencegah dan mengantisipasi aksi terorisme memang tidak mudah. Namun munculnya teror bom molotov di Samarinda dan Singkawang harus menjadi sinyal bahaya bahwa para mantan napi terorisme tetap berpotensi mengulang aksi terornya. Agar tak ada lagi korban berjatuhan.

Baca juga artikel terkait BOM SAMARINDA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana, Mawa Kresna, Andrian Pratama Taher & Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti