tirto.id - Sudah sejak Oktober 2002 Gul Rahman, seorang bekas kombatan Afghanistan, meringkuk di dalam tahanan dan ruang penyiksaan CIA (Central Intelligence Agency). Setiap harinya selama 18 jam, ia diinterogasi dan mengalami siksaan berupa waterboarding (kepalanya dibungkus kain lalu disiram air dingin), pembatasan makanan dan minuman, serta berbagai teknik penyiksaan lainnya.
Dehidrasi, hipotermia, dan kurang tidur pun menyergap Rahman hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir pada 20 November 2002. Dalam laporan investigasi, Gul Rahman disimpulkan meninggal karena hipotermia.
Dalam laporan itu dijelaskan bahwa Rahman ditahan di ruangan yang dingin, ditelanjangi dan dirantai sehingga tak dapat bergerak untuk menghangatkan tubuh. Selain itu, bersentuhan langsung dengan lantai beton yang dingin menyebabkan hilangnya panas tubuh. Ia juga diperkirakan tidak makan sejak 36 jam sebelum kematiannya. Penyelidik menemukan kadar katekolamin tinggi dalam urin Rahman, yang menandakan kematian karena hipotermia.
Baca juga: Krisis Rutan dan Lapas di Indonesia
Ghairat Baheer, rekan Gul Rahman, juga ditahan di dalam sel CIA. Tapi Baheer beruntung karena akhirnya menghirup udara bebas. Invasi AS ke Afghanistan pasca-9/11 membuat Baheer sekeluarga geram dan melawan invasi AS. Dari sanalah kisah penahanan dan interogasi dimulai.
“Interogasi adalah siksaan lain [...] Jika Anda menolak bekerja sama, mereka lempar Anda ke dalam kotak panjang mirip peti mati yang akan mereka tutup. Tidak ada oksigen. Benar-benar tertutup. Mereka taruh batu di atas tubuh Anda. Rasanya seperti sekarat,” ujar Baheer.
Teknik Interogasi Ala CIA
Proses interogasi jamak dilakukan dalam dunia hukum guna mengorek informasi lebih lanjut terkait sebuah kasus. Prosesnya dilakukan secara tertutup dan rahasia. Kendati ilegal, siksaan seringkali menyertai interogasi. Lebih dari satu dekade Perang Melawan Teror berlangsung, siksaan diketahui mengiringi proses interogasi CIA terhadap tahanan (terduga) teroris atau kombatan di tempat-tempat seperti Afghanistan dan Pakistan. Pada 2016, CIA pun buka suara dengan mempublikasikan metode dan teknik interogasi yang mereka terapkan ke tahanan.
Dalam laporan berjudul Description of Physical Pressures, terdapat 12 metode interogasi CIA. Pertama, menarik tahanan di bagian kerah dengan kedua tangan dan mendorong mereka keras-keras ke arah tembok. Wajah tahanan dicengkeram agar kepala tak dapat bergerak, lalu ditampar dengan telapak tangan terbuka untuk memberi efek kejut alih-alih sakit.
Tahanan juga dikurung dalam ruangan sempit atau sedikit lapang dengan durasi berbeda. Durasi kurungan di ruang yang sedikit lapang bisa mencapai 18 jam, sedangkan kurungan yang sempit hanya satu jam. Selain itu, tahanan juga dipaksa berdiri 1,5 meter dari dinding ruangan dan menyandarkan tangannya ke tembok untuk menahan beban tubuh. Tahanan dilarang menggerakkan tangan maupun kaki.
Metode lainnya digunakan untuk memaksa tahanan agar terus terjaga sekaligus kelelahan, sehingga mereka bisa kooperatif. Selain waterboarding CIA juga memaksa tahanan mengenakan popok.
John Yoo, Torture Memo, dan Praktik Interogasi Era Bush
Sebulan setelah serangan 9/11, PBB mengendus indikasi bahwa perang yang dilakukan AS terhadap terorisme akan mengabaikan hukum internasional. Seorang Komisaris Tinggi PBB langsung mengirim surat resmi kepada pemerintah AS agar bertindak sesuai Konvensi Jenewa yang mengecam penyiksaan.
“Komite Melawan Penyiksaan yakin bahwa respons apapun terhadap ancaman terorisme internasional yang diadopsi oleh pihak negara, akan disesuaikan dengan kewajiban-kewajiban yang telah mereka mereka sepakati ketika meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.,” isi pesan singkat itu.
Perkiraan sang pejabat PBB ternyata benar. Profesor Hukum di University of California, Berkeley, John Choon Yoo menyusun kerangka memo yang berisi soal proses interogasi yang perlu dilakukan dengan siksaan mental hingga waterboarding terhadap tahanan Al-Qaeda dan Taliban. Memo itu dikenal dengan "Torture Memo".
“Saya dapat menjelaskan mengapa pemerintah memutuskan bahwa tindakan agresif, meski kadang tidak populer, diperlukan untuk melindungi Amerika dari serangan teroris lainnya,” ujar John Yoo yang pada 2001 menjabat wakil asisten jaksa agung di Kantor Penasihat Hukum Departemen Kehakiman AS pada zaman George W. Bush.
Padahal penyiksaan saat interogasi bertentangan dengan hukum internasional, lebih tepatnya Konvensi Jenewa III/1949 tentang Perlakuan Tawanan Perang dan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), yang selanjutnya disebut CAT.
Baca juga:Mengakhiri Kekerasan Seksual di Penjara
Siksaan yang dulu dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional kini dipraktikkan sebagai suatu keperluan, dan oleh sebab itu, legal. John Yoo berpandangan bahwa Konvensi Jenewa hanya akan membatasi proses penggalian informasi.
Dalam laporan The Intercept, pada 2005 John Yoo pernah menyodorkan argumen bahwa presiden pun dapat memerintahkan penyiksaan anak-anak jika diperlukan. Jika suatu saat hal tersebut benar-benar terjadi, maka hukum hukum internasional yang berlaku pun takkan sanggup menahannya.
“Karena Amerika Serikat membutuhkan informasi secepat mungkin dari para teroris yang telah tertangkap dan sponsor mereka untuk menghindari kekejaman lebih jauh terhadap warga sipil AS. Informasi tetap menjadi senjata utama untuk mencegah serangan Al-Qaeda ke AS kelak di masa depan,” ujar John Yoo.
Selain itu, untuk menghindari tuduhan pelanggar HAM berat, George W Bush juga menandatangani memo yang menyatakan bahwa konvensi Jenewa tidak berlaku untuk Al-Qaeda karena mereka bukan entitas negara yang menandatangani atau meratifikasi Konvensi Jenewa. Begitu pun dengan kelompok Taliban. Sehingga mereka tak berada dalam perlindungan Konvensi Jenewa.
Melalui memo tersebut pemerintahan Bush membatasi penyiksaan hanya dalam definisi fisik, sehingga 12 proses interogasi CIA yang menggunakan tamparan misalnya, AS bisa berdalih bahwa tindakan itu bertujuan memberikan efek kejut alih-alih menyakiti fisik. Dalih yang juga digunakan adalah keberadaan psikolog dalam interogasi untuk menentukan batas-batas siksaan terhadap tawanan. Kenyataannya, keterlibatan psikolog tak membuat keadaan lebih baik, karena korban seperti Gul Rahman tetap muncul dari proses interogasi yang melibatkan siksaan.
Baca juga: Polisi Tidak Boleh Melakukan Kekerasan Saat Menginterogasi
Keheningan soal tindakan brutal CIA itu akhirnya terbongkar setelah Daniel Jones membuka suara di sebuah ruang tertutup di Gedung Hart, AS. Jones adalah anggota staf komite intelijen di Senat yang kerap berurusan dengan penahanan dan interogasi CIA. Pada 11 Februari 2009 di hadapan komite dari partai Demokrat dan Republik, Jones melaporkan kebrutalan luar biasa dari program interogasi CIA.
Kasus-kasus penyiksaan sempat menyita perhatian Presiden Barack Obama di awal jabatannya. Ia tak butuh waktu lama untuk menghentikan praktik tersebut kendati CIA merasa keberatan. Namun, meski secara umum sudah dihentikan, masih ada laporan kekerasan dalam rumah-rumah tahanan AS.
Pada dasarnya, praktik semacam ini juga dilakukan di berbagai negara dengan berbagai tujuan seperti menggali informasi hingga pendisiplinan tahanan. Berdasarkan laporan Amnesty Internasional, sekitar 13.000 orang dibunuh di dalam penjara di Suriah sejak tahun 2011 hingga 2015.
Negara-negara Eropa juga kerap melakukan penyiksaan kepada tahanan. Dalam laporan Europe's Committee for the Prevention of Torture (CPT) tahun 2015, menemukan bahwa penyiksaan masih berlangsung di Armenia, Azerbaijan, Bulgaria, Yunani, Hungaria, Moldova, Rusia, Spanyol, dan Ukraina.
Di Indonesia, menurut laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), praktik penyiksaan terhadap tahanan terus dilakukan dalam proses penegakan hukum. Antara Januari-Juni 2016, lapor ICJR, terdapat 18 kasus penyiksaan.
Penyiksaan tahanan selalu menggunakan dalih “kebutuhan mendesak”. Minimnya payung hukum dan penegakan hukum yang dapat digunakan untuk menyeret pelaku penyiksaan, membuat penjara menjadi salah satu tempat penyiksaan terburuk di dunia.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf