tirto.id - Setelah mencuri sebuah mobil, seorang wanita transgender bernama Mary dijebloskan ke penjara laki-laki di Boggo Road Gaol, Queensland. Saat itu ia benar-benar merasakan neraka dalam hidupnya. Ia mengaku telah diperkosa hingga 2.000 kali selama empat tahun mendekam di balik jeruji besi.
"Itu pemerkosaan, dan ya aku dicambuk dan dipukul. Aku tahu, aku harus melakukannya untuk bertahan hidup, tetapi hanya untuk kesenangan tahanan lain," kata Mary kepada news.com.au pada April 2016 lalu.
Peristiwa pahit itu bermula ketika ia menjalani pemeriksaan tubuh. Saat itu, petugas memerintahnya untuk membuka seluruh pakaian. Ketika Mary membalikkan tubuhnya, seluruh narapidana langsung menatapnya dengan penuh nafsu.
Ia kemudian dimasukkan ke dalam sel. Baru beberapa menit berada di dalam sel, Mary langsung dikelilingi beberapa tahanan laki-laki. Mereka menawarkan perlindungan agar Mary terhindar dari keganasan tahanan lainnya. Bukan rasa aman yang didapat, Mary malah diperkosa secara bergantian di dalam sel.
“Mereka mencoba memanipulasi Anda atau mengancam Anda agar terlibat kontak seksual dengan mereka. Dan setelah melakukan ancaman seks itu, maka Anda akan jadi sasaran empuk karena yang lain akan ikut minta jatah seks dengan Anda,” ungkap Mary.
Meskipun ia seorang transgender, Mary sama sekali enggan berhubungan seks dengan para tahanan itu. Ia melakukan itu hanya semata-mata takut dipukul. Hal tersebut sangat menyiksa dirinya karena tak memiliki cara untuk membela diri.
Saat malam pertamanya di penjara, Mary mencoba membela diri dengan cara mendorong para tahanan yang mencoba memperkosanya. Upaya itu malah menyebabkan dia dicambuk. Semakin ia berkata “tidak”, semakin ganaslah para tahanan itu menyodok buritnya. Bukan hanya satu atau dua orang saja, tetapi dalam jumlah yang banyak.
Selain mengalami perkosaan, para tahanan itu juga memotong rambut Mary hingga cepak dan membiarkan kumis dan janggutnya tumbuh lebat. Tak tahan dengan perlakuan itu, Mary pun beberapa kali mencoba kabur dari penjara. "Saya tidak melarikan diri untuk hal lain, saya hanya harus menjauh dari kekerasan seksual."
Mary bukan satu-satunya transgender yang menjadi korban perkosaan di penjara. Transgender wanita lain bernama Tara Hudson juga mengalami hal sama ketika berada di penjara laki-laki di Gloucestershire. Peristiwa pahit itu dialaminya selama seminggu berturut-turut. Hudson akhirnya selamat dan dipindahkan ke penjara wanita setelah banyak pihak mendatangani petisi untuk menyelamatkannya.
Akibat kejahatan ini, banyak dari korban kekerasan seksual yang memilih mengakhiri hidupnya, salah satunya adalah Vicky Thompson. Wanita transgender itu ditemukan tewas di penjara laki-laki di Armley. Saat itu Thompson sempat mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia akan bunuh diri jika harus menjalani hukuman di penjara laki-laki.
Penyebaran HIV Melalui Perkosaan
Kisah Mary, Hudson dan Thompson merupakan sedikit gambaran tentang keganasan seksual di penjara. Kekejian itu juga tidak hanya berlaku pada wanita transgender, tetapi juga berlaku pada laki-laki. Perbuatan biadab itu menyebabkan penularan penyakit menular HIV/AIDS, yang membuat beberapa di antaranya tak lagi bergairah menjalani hidup.
Mereka adalah Francois, Thabo dan Vincent. Tiga pemuda asal Afrika Selatan ini mengaku menjadi korban perkosaan selama meringkuk di jeruji besi Afrika Selatan. Beberapa di antaranya bahkan mengaku sempat ingin mengakhiri hidupnya karena mengidap HIV akibat pemerkosaan di penjara.
Francois mengaku telah dua kali mengalami pemerkosaan. Peristiwa pahit itu membuatnya trauma berat. Ia berupaya mencari keadilan dengan telah melapor dan meminta perlindungan kepada sipir. Namun, Francois tetap gagal mendapat perlindungan. Karena depresi yang tak kunjung sembuh, ia pun sempat ingin bunuh diri, namun gagal.
Setelah dibebaskan, Francois menggugat departemen layanan pemasyarakatan. Ia pun menerima tawaran penyelesaian berbentuk perjanjian. Lembaga pemasyarakatan itu berjanji akan mengambil tindakan guna menghentikan kekerasaan seksual di penjara. Namun, tindakan itu juga tak mengalami perubahan.
Sementara Thabo juga mengaku telah diperkosa berkali-kali selama menghabiskan masa tahanannya di balik jeruji besi. Akibat peristiwa itu, ia mengalami trauma serius dan sangat malu. Beberapa kali ia mencoba bunuh diri, namun selalu gagal. Thabo berjuang untuk berinteraksi dengan orang-orang setelah tahu bahwa dirinya mengidap HIV-positif.
Sementara korban lainnya, Vincent mengaku diperkosa oleh dua anggota geng di dalam sel yang penuh sesak di Western Cape. Ini adalah pengalaman seksual pertamanya. Waktu itu Vincent sempat meminta bantuan kepada perawat, sipir, imam dan hakim untuk menyelamatkannya dari tindakan keji itu. Namun, semuanya bergeming. Ia baru mendapat bantuan medis setelah tiga tahun kemudian. Selanjutnya, Vincent harus belajar menjadi seseorang pengidap HIV-positif akibat pemerkosaan yang dialaminya di penjara.
Karena peristiwa itu, Vincent mendorong Department of Correctional Services untuk menghentikan semua kekerasan di penjara. Ia juga mengajak para korban untuk berbicara agar menghentikan tindakan keji itu. Setelah menceritakan kisahnya, Vincent terasa lebih kuat dari sebelumnya, dan mengatakan “Saya tahu, saya memiliki tujuan dalam hidup ini.” katanya seperti dikutip dari The Huffington Post.
Kekerasan seksual di penjara tidak hanya meninggalkan trauma berat, tetapi juga berdampak pada penyebaran penyakit menular HIV. Menurut sebuah studi yang dilakukan Centre for the Study of Violence and Reconciliation (CSVR), mayoritas para tahanan di Afrika Selatan berisiko tinggi untuk terinfeksi HIV. Selain itu, Institute for Security Studies (ISS) juga memperkirakan, pada tahun 2003 sekitar 40 persen narapidana laki-laki dan perempuan terinfeksi HIV.
Guna mencegah hal itu, The South African Department of Correctional Services telah memperkenalkan berbagai kebijakan untuk mengatasi HIV/AIDS di penjara, seperti penyediaan kondom, pengobatan, dan lain-lain. Namun, karena banyaknya jumlah para narapidana di penjara itu, kebijakan tersebut susah dilaksanakan.
Oleh sebab itu, guna mengatasi pelecehan seksual narapidana di Afrika Selatan, pada tahun 2013 lalu, Departemen Correctional Services kembali mencari formula baru dengan cara mengadopsi kebijakan dari Prison Rape Elimination Act di Amerika Serikat. Ini adalah langkah bersejarah dan penting untuk mengakhiri pemerkosaan tahanan di Afrika Selatan.
Jika tindak pemerkosaan narapidana di Afrika Selatan mampu berkurang, bagaimana dengan Queensland ?
Dikutip dari newsroom.unsw.edu.au, sebuah penelitian di penjara-penjara New South Wales dan Queensland menunjukkan, pemerkosaan di penjara setidaknya sedikit telah berkurang.
Profesor Donovan selaku Kepala Program Kesehatan Seksual di UNSW's Kirby Institute yang juga memimpin penelitian itu mengatakan, hanya 2,5 persen tahanan laki-laki dan 3,9 persen perempuan melaporkan bahwa mereka telah dipaksa melakukan hubungan seks. Hal tersebut tejadi karena manajemen yang benar-benar menerapkan prinsipnya dalam menjalankan tugas. Selain itu, jumlah tahanan per sel juga telah dikurangi serta dipasang kamera pengawas.
Departemen Pemasyarakatan juga telah memasok kurang lebih 30.000 kondom dalam sebulan untuk para tahanan sejak 1996. Petugas sempat merasa keberatan karena mereka berpikir bahwa hal itu akan menimbulkan lebih banyak seks dan perkosaan. Prediksi ini ternyata salah karena kondom digunakan oleh para narapidana itu sebagai alat bantu masturbasi.
Meskipun tindak kekerasan seksual di penjara sedikit berkurang, tetapi para narapidana harus tetap waspada, sebab menurut kesaksian seorang petugas yang tak ingin disebutkan namanya kepada Sunshine Coast Daily menyatakan, kasus pemerkosaan masih ada. Sampai dengan 30 April 2013, kurang lebih 15 tahanan telah menjadi korban kekerasan seksual di penjara Queensland, dan 176 tahanan telah disakiti secara fisik dan tindakan ini terjadi hampir setiap hari.
Ini artinya, Mary Mary lain kemungkinan masih akan menjadi korban kekerasan seksual di penjara.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti