tirto.id - Ratusan tahanan kabur dari Rumah Tahanan Sialang Bungkuk Kelas IIB, Kota Pekanbaru. Para tahanan ini berhasil keluar setelah mendobrak salah satu pintu kamar. Sebelumnya, mereka berunjuk rasa karena pelayanan kurang optimal dari Lapas akibat kelebihan kapasitas. Kelebihan kapasitas di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) sudah lama menjadi problematika klasik di Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Jendral Pemasyarakatan, per 30 Juni 2016, jumlah tahanan dan narapidana (napi) baik di Rutan maupun Lapas berjumlah 194.419 orang. Jumlah ini meningkat 12,38 persen menjadi 218.495 orang pada 30 April 2017.
Narapidana laki-laki, yang dewasa maupun anak-anak termasuk yang terbanyak menghuni rutan dan lapas di Indonesia. Pada 30 April 2017, proporsi napi laki-laki yang menempati Rutan dan Lapas mencapai 64,32 persen dari total napi dan tahanan. Sedangkan, tahanan perempuan merupakan jumlah terendah yang menempati Rutan dan Lapas dengan jumlah 3.855 tahanan per 30 April 2017.
Kanwil Sumatera Utara adalah wilayah dengan jumlah tahanan dan napi terbanyak yang berjumlah 27.089 orang per 30 April 2017. Dilanjutkan oleh Kanwil Jawa Barat dengan jumlah tahanan dan napi sebesar 22.134 untuk periode yang sama. Sedangkan, Kanwil Sulawesi Barat merupakan wilayah dengan jumlah napi dan tahanan terendah, yaitu 703 orang.
Berdasarkan kapasitasnya, per 30 April 2017, hanya enam kanwil di Indonesia yang tidak mengalami kelebihan kapasitas, yaitu DI Yogyakarta, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat. Sedangkan, jumlah kanwil yang mengalami kelebihan kapasitas adalah 27 wilayah, seperti DKI Jakarta, Aceh dan Riau.
Kanwil Kalimantan Timur adalah wilayah dengan persentase kelebihan kapasitas rutan dan lapas terbesar di Indonesia. Per 30 April, kelebihan kapasitas di Kanwil Kalimantan Timur mencapai 235 persen, dengan kata lain, dari kapasitas rutan dan lapas yang hanya bisa diisi oleh 2.928 orang, saat ini ditempati oleh 9.795 tahanan dan napi.
Kanwil DKI Jakarta menempati posisi ketiga dalam hal wilayah dengan persentase kelebihan kapasitas rutan dan lapas terbesar di Indonesia. Tercatat ada 16.346 tahanan dan napi, sedangkan kapasitasnya hanya 5.851 orang. Kelebihan kapasitas ini tak lepas hubungannya dengan sistem hukuman di Indonesia, dimana seluruh napi maupun tahanan harus dipenjarakan. Dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana penjara dipergunakan sebagai ancaman pemidanaan sebanyak 485 kali. Pidana kurungan diterapkan sebanyak 37 kali. Sedangkan, pidana denda hanya dipergunakan sebanyak 123 kali.
Dalam Buku III KUHP, pidana kurungan dipergunakan sebagai ancaman pemidanaan sebanyak 55 kali. Sedangkan, pidana denda digunakan sebanyak 84 kali sebagai ancaman pemidanaan. Tak berbeda dengan KUHP, bahkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini masih dalam pembahasan DPR, jumlah perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara menempati porsi terbanyak. Dari 1.251 perbuatan pidana yang masuk dalam RKUHP, yang diancam pidana penjara adalah 1.154. Selain itu, tercatat 44 perbuatan yang diancam dengan penjara seumur hidup.
Sedangkan, alternatif pemidanaan, seperti pidana denda tercatat 822 perbuatan yang terancam dengan sistem hukuman ini. Selain denda, hanya 3 perbuatan pidana yang terancam dengan pemidanaan rehabilitasi dan 1 perbuatan yang terancam dengan pidana adat. Permasalahan kelebihan kapasitas dalam penjara ini erat kaitannya dengan sistem hukuman yang diterapkan di Indonesia, dimana seluruh napi maupun tahanan harus dipenjarakan, bukan mendapatkan pemidanaan alternatif, seperti kerja sosial. Seperti yang terlihat baik dalam KUHP maupun R KUHP, pemidanaan penjara masih menempati proporsi terbesar dalam proses hukuman.
Padahal, seperti yang dikutip dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (2010), pemidanaan harus mengandung unsur kemanusiaan, edukatif dan keadilan. Tak hanya semata memberikan efek jera dengan mengurung pelaku dalam sel tahanan. Bila dilihat lebih mendalam, pidana pemenjaraan tak semata berdampak bagi kapasitas penjara tetapi juga akan membuat biaya bantuan hukum meningkat.
Mudahnya, tak sebatas area tempat tinggal, napi dan tahanan dalam penjara juga harus dipenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan dan aktivitas lainnya yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pemerintah. Karenanya, jika pemidanaan alternatif masih belum menjadi pilihan para pemutus hukuman, maka dapat dipastikan permasalahan kelebihan kapasitas di lapas dan rutan serta rendahnya tingkat kesejahteraan napi dan tahanan tak akan pernah selesai malah akan semakin memburuk. Pemerintah tak mampu memenuhi unsur utama pemidanaan, yaitu kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra