tirto.id - Jack Swarez, seorang narapidana di lapas Lowdham Grange, Nottinghamshire, Inggris meramaikan berita di edisi terbaru Inside Time. Surat kabar untuk para narapidana tersebut menuliskan permintaan Swarez untuk mendapatkan boneka seks yang menyerupai perempuan cantik.
Napi yang menjalani hukuman hingga 17 tahun karena kasus narkoba tersebut menyatakan ia memerlukannya untuk mengimbangi efek testosteron para laki-laki agar dapat mengendalikan kenakalan tahanan di dalam penjara.
Swarez menganggap bahwa sarannya adalah solusi, karena hukum di Inggris tidak mengizinkan kunjungan suami atau istri untuk melayani hasrat seksual narapidana. Menurut Swarez, boneka seks bisa membantu meredakan kejahatan seksual yang sering terjadi di penjara-penjara Inggris.
Ia mengatakan bahwa 82 ribu boneka diperlukan untuk narapidana di seluruh Inggris. Bahkan, napi asal Merseyside itu telah melakukan riset dan menemukan pabrik yang bisa memproduksi boneka secara custom.
”Ada perusahaan yang memproduksi boneka wanita dan jika gagasan ini diterima, setiap orang yang membelinya bisa mengirim foto kekasih mereka dan meminta perusahaan memasukkan ciri mereka ke dalam boneka itu,” kata Swarez.
Penyediaan boneka seks untuk narapidana sebenarnya sudah diberlakukan di penjara lain, salah satunya di penjara La Joya, Panama, Amerika Tengah.
Di penjara ini, terdapat lebih dari 60 persen tahanan di La Joya tinggal bertahun-tahun dipenjara tanpa diadili. Pengacara sekaligus vice president dari National College of Lawyers, Juan Carlos Arauz menyatakan bahwa di Panama tidak ada batasan seseorang dipenjara dan dihukum. Itu sebabnya banyak tahanan muda yang produktif tidak jelas menunggu nasibnya. Karena kondisi tersebut juga, mereka diperbolehkan menggunakan boneka seks untuk bercinta di penjara.
Seks sebagai Kebutuhan
Kebutuhan biologis adalah unsur penting dalam pemenuhan hak asasi manusia. Hak atas pemenuhan kebutuhan biologis narapidana merupakan pengejawantahan dari hak atas masalah pribadi dan keluarga, hak atas perlakuan manusiawi, dan hak atas kesehatan dan hidup yang layak.
Namun, sampai saat ini, di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak tahanan maupun narapidana untuk melakukan hubungan biologis antara suami istri di dalam lapas maupun rutan. Khusus untuk narapidana, hubungan suami istri tersebut dapat dilakukan pada saat narapidana mengambil cuti mengunjungi keluarga.
Berdasarkan Pasal 42 PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, cuti mengunjungi keluarga tersebut diberikan paling lama 2 (dua) hari atau dua kali dua puluh empat jam. Izin cuti tersebut diberikan oleh Kepala lapas dan wajib diberitahukan kepada Kepala Balai Pemasyarakatan setempat. Hal ini dapat dilakukan dengan catatan, tidak semua narapidana bisa mendapatkan cuti tersebut.
Wacana mengenai pembuatan ruangan khusus untuk hubungan suami istri pernah dibahas oleh DPR, tetapi hal tersebut belum direalisasikan dan masih ditelaah lebih lanjut. Selama ini, baik pada tataran legal-normatif maupun praktik, negara seakan-akan abai terhadap kebutuhan dasar itu. Padahal konsekuensi dari pengabaian itu cukup kompleks. Yang paling tragis adalah kekerasan dan penganiayaan seksual di dalam penjara.
Pada tahun 2012, Kementerian Hukum AS menerbitkan laporan yang memperkirakan bahwa lebih dari 209,400 orang dianiaya dengan pendekatan seksual di penjara penjara AS.
Penganiayaan seksual di penjara merupakan krisis hak asasi manusia global. Pelaku-pelakunya bisa dari narapidana sampai dengan petugas penjara yang justru bertugas untuk menjaga keamanan para narapidana. Ini pernah terjadi di Indonesia, tepatnya di lapas Klas II A Abepura, Jayapura. Kejahatan seksual justru dilakukan oleh kepala Sub Seksi Keamanan lapas berinisial AE (40 tahun) terhadap narapidana berinisial PEM (16).
Kasus ini mendapat perhatian oleh Komnas Perlindungan Anak. Pihak KPA mendesak Kementerian Hukum dan HAM melakukan investigasi dan memberikan perlindungan bagi korban. Ia menyampaikan bahwa kejahatan yang dilakukan AE merupakan kejahatan yang serius atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Baca juga: Mengakhiri Kekerasan Seksual di Penjara
Sayangnya, di kebanyakan negara, tidak ada kajian resmi mengenai seringnya penganiayaan seksual di penjara, dan jarang ada narapidana yang melaporkan bahwa mereka pernah dianiaya. Kebanyakan korban penganiayaan seksual di penjara masih membisu soal pengalamannya sebagai korban penganiayaan seksual karena malu, atau takut pelakunya membalas dendam. Ada juga pikiran bahwa tidak akan ada bantuan untuk mereka.
Baca juga
- Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak adalah Orang Dekat Korban
- "Pelecehan Seksual Banyak Terjadi Sebelum Era Dating Online"
Dalam "Rape is Not Part of The Penalty" disebutkan bahwa pemerkosaan dan bentuk-bentuk penganiayaan seksual yang lain, baik yang dilakukan di rumah maupun di komunitas atau di penjara memiliki dampak psikologis dan fisik yang amat serius.
Pengalaman masing-masing korban punya kekhasan. Beberapa dampak yang bersifat umum di antaranya adalah ketakutan, malu, kemarahan dan gejala kecemasan, trauma, mimpi buruk, dan kenangan buruk. Untuk para narapidana, gejala-gejala ini bisa menjadi lebih keras lagi karena mereka tidak berdaya atas lingkungan pribadi dan seringkali orang yang memerkosa itu tetap ada di dalam penjara di mana dia berdiam.
Selain beban-beban emosional yang dipikul korban perkosaan di penjara, korban juga terekspose HIV dan penyakit lain yang bisa juga mematikan. Banyak korban penganiayaan seksual juga menderita luka fisik seperti patah tulang, yang sering tidak diobati petugas berwenang. Narapidana perempuan berisiko hamil bila diperkosa dan terpaksa menjalani aborsi.
Pada 1980 Russell Dan Smith, seorang Amerika yang jadi korban pemerkosaan di dalam penjara, mendirikan Just Detention International. JDI adalah organisasi hak asasi manusia dan kesehatan yang mencari cara untuk menghentikan pemerkosaan dan penganiayaan seksual lain di penjara
JDI memiliki tiga tujuan pokok dalam pekerjaannya, di antaranya untuk tetap memandang petugas pemerintah bertanggungjawab atas pemerkosaan di penjara; untuk mempromosikan sikap publik yang tinggi nilainya soal kesehatan dan keselamatan para narapidana di penjara; dan untuk menjamin bahwa korban pemerkosaan di dalam penjara mendapatkan segala bantuan yang mereka butuhkan.
Prinsip kunci bagi pekerjaan JDI: ketika pemerintah menghilangkan kemerdekaan seseorang, mereka harus bertanggung jawab penuh dalam menjaga keselamatan orang tersebut. Pemerkosaan di penjara dapat dicegah.
Maka, JDI pun bergerak. Organisasi ini mengembangkan hukum dan kebijakan, bekerja sama dengan penjara untuk melatih petugas-petugasnya, mendidik narapidana-narapidana, dan membagikan informasi kepada ribuan korban-korban pemerkosaan di penjara setiap tahun.
Tak cukup sampai di situ, JDI juga berusaha menjalin hubungan dengan pembela hak asasi manusia, staf penjara, pembuat kebijakan, pemberi program kesehatan dan bantuan konsultasi kejiwaan, dan korban-korban perkosaan di penjara pada skala global. Mereka membantu terbangunnya gerakan-gerakan lokal dan nasional dengan tujuan penghentian pemerkosaan di penjara.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani