tirto.id - Nala, bukan nama sebenarnya, perempuan 26 tahun yang menghuni Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIA Jakarta Timur sejak 24 Maret 2017.
Kedapatan mengantongi narkoba, ia terancam penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun. Nala dijerat pasal 112 ayat (1) UU 35/2009 tentang narkotika.
Masa pengurungan Nala sempat diperpanjang dua kali. Surat kuasa penahanan yang dilakukan jaksa penuntut umum berakhir pada 10 Juni 2017. Namun, hingga hari ini, Nala tetap berada di rutan.
Jam 9.00, pintu setinggi 1,5 meter di gerbang besi rutan dibuka. Antrean pengunjung mengular. Suami, ibu, dan anak laki-laki Nala berada di barisan ke-8. Mereka datang dari Jorong, Girijati, Purwosari, Yogyakarta.
Pada saat bersamaan, seorang polisi menyerahkan ponsel dan senjata api genggam jenis revolver di tempat penitipan barang. Ia menyalami saya dan mengatakan bahwa senjata jenis apa pun harus dilucuti biar tak direbut penghuni rutan.
Suami Nala melewati pemeriksaan awal. Ia menyerahkan surat izin kunjungan dan KTP. Kemudian petugas membongkar isi dua tas kresek hitam yang dibawanya. Seluruh kemasan makanan dibuka. Sebotol air mineral dikocok-kocok dan dihirup aromanya.
Setelah itu suami Nala masuk ke bilik mirip kamar pas berukuran 1x1 meter. Seluruh bagian tubuhnya digeledah. Bagian punggung tangan kanan distempel dan tanda pengenal dikalungkan ke lehernya.
Ketika melewati gerbang besi kedua, identitas dan surat besuk diperiksa kembali.
Kepala rutan Eko Suprapti Rudhatiningsih mengizinkan saya datang dua kali. Namun saya harus dikawal Kepala Pengamanan Rutan, Yuliana, yang memastikan saya tak membuka komunikasi dengan seorang pun tahanan.
Yuliana berseragam dan memakai sandal merah muda. Ia menjelaskan area mana saja yang boleh saya akses. Saat saya bertanya, bagaimana mungkin bisa memastikan hak tahanan terpenuhi jika tak diizinkan mengakses sel tahanan, ia tetap membatasi saya mengetahuinya.
“Jangankan kamu, petugas laki-laki saja tidak boleh ke sana,” ujar Juliana pada akhir Mei lalu.
Saat itu dari Blok C, Nala keluar dari pintu masuk utama tahanan, yang disebut para petugas sebagai "cangkang". Ia memakai rompi oranye bertuliskan 'Warga Binaan Rutan Jakarta Timur'. Para tahanan bebas memakai sepatu, aksesoris seperti kacamata, gelang, kalung, jam tangan, dan cincin.
Setengah berlari, Nala menghampiri keluarganya. Ia merengkuh bocah laki-laki dari gendongan ibunya. Nala memeluk dan mencium putranya.
Ruang pertemuan berupa lapangan basket. Hanya ada 1 kios berukuran 1 meter berjualan jus buah. Terpal biru berukuran 8x6 meter dibikin sebagai tenda. Bising dan sempit. Sebagian besar dari 47 pengunjung yang datang, termasuk keluarga Nala, memilih berbincang dengan tahanan di luar tenda yang sesak.
Meski waktu berkunjung berakhir jam 11.30, tetapi jam 10.45 petugas telah membunyikan lonceng tanda pertemuan harus diakhiri. Tiga tahanan pendamping berbaju merah langsung melipat terpal.
Suasana berubah makin haru. Beberapa pengunjung perempuan mengusap air mata dengan ujung kerudung. Sebagian lain mencium kening tahanan, memeluk, saling menghapus air mata, dan perlahan melepas genggaman tangannya kepada tahanan yang mereka jenguk.
Nala memeluk ibu dan anaknya secara bersamaan, kira-kira sekitar 16 detik. Sampai wajah Nala dan ibunya makin sembab.
Nala melambaikan tangan kiri kepada anaknya, ibu, dan suaminya. Pada jari manis tangan kiri Nala terdapat cincin nikah. Di lengan kirinya terdapat gelang warna biru yang diukir nama anaknya.
Nala kembali ke "cangkang" terakhir di antara lalu-lalang tahanan yang menjinjing dua tas kresek di kedua tangannya.
Dibagi untuk Lapas Baru
Rutan ini semula ditempati narapidana dan tahanan di lahan seluas sekitar 14.586 meter persegi. Ketika saya datang, rutan ini baru saja dipaksakan untuk dibagi dua dengan Lapas Perempuan Kelas IIA berkapasitas 208 orang yang baru dibentuk. Ada 402 narapidana yang dipindahkan ke lapas tersebut. Ia diresmikan Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Kusmiantha Dusak dengan status sebagai Rutan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.
Keduanya dipisah dengan seng warna hijau berukuran sekitar 2 meter. Di atasnya menjalar 2 kawat berduri. Rutan hanya menempati sepertiga dari keseluruhan luas lahan.
Masjid, wihara, dan gereja terdapat di kompleks lapas. Narapidana dan tahanan bergantian ke tempat ibadah tersebut. Dengan pengawalan ketat, para tahanan hanya bisa mengakses fasilitas ibadah itu pada Senin, Rabu, dan Jumat pagi. Jadwal tersebut tak ada perubahan meski memasuki bulan Ramadan.
“Untuk ke masjid dibatasi 75 warga binaan,” kata Noor Farikhah, Kepala Sub Seksi Bimbingan Kegiatan. Di luar itu, para tahanan harus beribadah di dalam sel masing-masing.
“Rutan ini UPT yang paling kecil. Di sini pun punya Pemda bangunan dan tanahnya,” imbuhnya.
Begitu juga dengan akses pendidikan seperti sistem kejar paket A, B, C untuk para penghuni rutan. Ia hanya terdapat di dalam kompleks lapas. Para tahanan di rutan tidak akan mengikutinya sebab belum ada keputusan resmi dari pengadilan jika mereka terbukti bersalah.
Ada beberapa fasilitas yang masih melekat pada rutan, di antaranya salon yang dikelola tahanan pendamping, perpustakaan berisi 3 lemari yang minim buku, pendampingan hukum, ruang menjahit, dan telepon umum berbayar.
Warga Binaan Rutan kelas IIA Pondok Bambu menonton televisi di ruang serba guna tempat mereka melakukan kegiatan sosial dan keterampilan, (30/5). tirto.id/Arimacs Wilander
Melebihi Kapasitas
Hari itu dua tahanan dirawat di RS Pengayoman, satu orang baru kembali dari cuci darah di Klinik Cipta Husada. Ada 11 tahanan yang hari itu mengikuti proses pengadilan. Sementara empat tahanan berada di ruang isolasi.
Sel isolasi berukuran 1,5 x 3 meter. Kepala Rutan Eko Suprapti Rudhatiningsih menjelaskan pelanggar tata tertib seperti merokok atau bertengkar, setelah diperiksa keterangannya, harus mendekam di sel isolasi dan diminta bersih-bersih rutan.
“Selnya bersih. Cuma terisolasi dari teman-temannya saja. Lebih sempit karena dipakai sedikit, 2 orang 1 sel,” kata Suprapti.
Pada 30 Mei lalu, total penghuni rutan ada 706 tahanan. Padahal kapasitas maksimal hanya mampu menampung 619 tahanan. Pada 16 Juni lalu, jumlahnya bertambah menjadi 711 tahanan.
Eko Suprapti menuturkan, pada 30 Mei itu Blok A diisi 166 tahanan, Blok C ada 269 tahanan, dan Blok D ada 247 tahanan. Di Blok A terdapat 19 sel, serta masing-masing Blok C dan Blok D ada 13 sel.
Sepanjang Mei, rutan ini menyerap anggaran negara sebesar Rp1,63 miliar.
Setiap blok hanya diawasi 2 petugas perempuan. Jumlah penjaga blok akan berkurang jika ada tahanan yang harus rawat inap di rumah sakit. Biasanya satu penjaga blok akan menjaga satu tahanan saat di rumah sakit.
Blok A dihuni para tahanan yang sakit, usia lanjut, dan ibu menyusui serta anaknya. Letaknya di belakang klinik. Saat ini terdapat 7 anak bawaan, 3 laki-laki dan 4 perempuan. Kamar tahanan Blok A ini berbentuk huruf 'U'. Di tengahnya terdapat 2 kamar tahanan khusus ibu hamil.
“Ada satu bayi yang ibunya terkena HIV, kan, tidak boleh menyusu ke ibunya. Anaknya baru berumur 5 bulan,” ungkapnya. Anak bawaan ini saat berumur 2 tahun harus diserahkan ke keluarga yang memiliki hubungan sedarah. Sejauh ini tidak pernah ada penolakan dari keluarga.
Noor Farikhah menambahkan, Blok C diisi tahanan kasus narkoba, sedangkan Blok D dihuni tahanan tindak pidana umum. Karena terlalu banyak tahanan kasus narkoba, sebagian dicampurkan ke Blok D.
“Bagusnya kriminal sama narkoba dipisah, tapi karena kami tidak memiliki kamar lagi, akhirnya yang di Blok D ada 3 kamar diisi orang dengan kasus narkoba,” kata Farikhah, akhir Mei lalu.
Idealnya, setiap sel hanya diisi 8 tahanan. Tapi di rutan tersebut diisi hampir 3 kali lipat: setiap sel diisi rata-rata 22 hingga 23 tahanan.
“Kenyamanan pasti berkurang, sangat sumpek,” tuturnya.
Ukuran setiap sel beragam, mulai 3x3 hingga 4x6 meter. Pintu dan jendela, disusun dengan teralis besi, berukuran sekitar 2x1 meter dan 6x2 meter, yang memudahkan pengawasan.
Di setiap sel terdapat satu televisi, beberapa lemari pakaian, dan tikar di bagian tengah. Penghuninya tidur di kasur yang terletak pada bagian kanan dan kiri kamar tahanan. Di bagian kanan dan kiri tersebut dipasang kipas angin.
Di kamar tahanan terdapat toilet berukuran sekitar 1x2 meter. Tingginya hanya sekitar 1 meter. Di dalamnya terdapat bak mandi dan WC jongkok.
“Pasti bau, tapi mereka menyiasati dengan minyak wangi. Kalau mau pup, semprot pakai pewangi dulu,” ujarnya.
Pada akhir jam kunjungan, gerobak berukuran 6x3 meter berisi 75 kotak makanan keluar dari "cangkang." Seorang pendamping tahanan, dengan membawa buku dan pulpen, mendorong gerobak itu menuju dapur.
Tadinya gerobak itu berisi 180 kotak makanan. Tiap hari 2 kotak makanan harus dikirim ke ruang kerja Eko Suprapti sebagai percontohan.
Dalam sehari, para tahanan diberi asupan makanan sebanyak tiga kali. Makan pagi jam 07.00-08.00, siang 11.00-12.00, dan malam saat jam 16.00-17.00. Setiap pagi dan sore secara bergantian para tahanan diberi bubur kacang hijau atau ubi rebus.
Menu makanan berubah tiap hari. Ada daftar tiap 10 hari. Para tahanan akan diberi lauk daging gepuk, rendang, soto daging di hari tertentu.
Sekitar 1 jam usai jadwal kunjungan, Nala memakai kemeja putih dan celana hitam. Ia bersiap menghadapi persidangan.
Karena rutan ini hanya ruang penitipan sementara dari pihak kejaksaan maupun kepolisian, Nala dan 10 rekannya menunggu jemputan dari institusi yang menahannya. Di luar gerbang rutan, kendaraan tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sudah siap membawa mereka.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam