tirto.id - “Saya dulu dianggap sampah. Dipandang sebelah mata," ungkap Raka, 40 tahun.
Raka, bukan nama sebenarnya, mengurut masalah lalunya saat ia berkenalan dengan putau, narkoba golongan satu jenis heroin, sejak masuk perguruan tinggi. Ia menyaksikan kuliahnya di jurusan fisika, Universitas Indonesia, hancur secara perlahan.
Awalnya Raka mencoba menyuntikkan putau ke otot pembuluh darah pada 1994. Harga 1 gram putau saat itu Rp300 ribu dan untuk paket sekali suntik seharga Rp5.000. Saat itu, kata Raka, "begitu mudah" mencari penjual narkotika.
“Satu gram bisa untuk pemakaian 3 sampai 4 bulan. Sehari bisa 3 sampai 4 kali pakai. Makin lama dosisnya makin tinggi,” kata Raka. Isi rumah dikuras Raka pelan-pelan demi memenuhi ketagihannya pada putau.
Pada 2005, saat berburu putau, ayahnya meninggal. Saat harga putau naik hampir dua kali lipat, ia mencoba memutus ketergantungan pada narkotika.
“Kalau sudah ketergantungan," ujarnya, "segala penyakit keluar semua: batuk, pilek, pinggang sakit. Nangis ... nahan sakit."
Raka memilik terapi "pasang badan", maksudnya putus dari pemakaian narkoba jenis apa pun. Ia memilih jadi pasien di salah satu tempat rehabilitasi dengan pendekatan agama di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Selang dua tahun ia bebas dari ketergantungan obat dan bisa baca Alquran. Ia kembali ke Jakarta. Ia berusaha meredam sugesti yang melekat dalam benaknya untuk kembali mengonsumsi narkoba.
Hingga akhirnya Raka bertemu seorang rekan yang lemas tak berdaya di samping tempat tidur karena putus obat. Raka membantu si rekan, mencari-cari pembuluh vena yang akan ditimpa jarum suntik. Setelahnya, Raka justru kembali menjadi pemadat.
“Sugesti itu enggak bakal hilang seumur hidup. Itu hawanya kepingin. Balik dari Tasik, harga putau sudah Rp15 ribu sampai Rp20 ribu per sekali pakai,” ujarnya.
Pada 2017, hanya berlangsung sekitar dua minggu, Raka kembali memutus ketergantungan pada putau. Ia mencoba terapi metadon di salah satu Puskesmas Jakarta Pusat. Puskesmas ini adalah Instansi Penerima Wajib Lapor—biasa disingkat IPWL—yang memiliki Program Terapi Rumatan Metadon, salah satu satelit pelayanan Kementerian Kesehatan.
Dalam laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2016, berdasarkan Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah BNN, ada 434 IPWL di bawah Kementerian Kesehatan dan BNN serta 118 IPWL di bawah Kementerian Sosial.
IPWL adalah fasilitas negara bagi setiap orang yang jujur menjadi pengguna, dan membutuhkan pertolongan buat mengurangi ketergantungan, terhadap narkoba. Selain itu, IPWL menjadi bagian dari ruang rehabilitasi bagi para pengguna yang ditangkap polisi atau yang telah divonis hakim dalam peradilan.
Metadon ialah obat opioid sintetik untuk detoksifikasi adiksi heroin. Pemakaian metadon dibolehkan asalkan diawasi dan atas seizin pelayan kesehatan. Bentuk obatnya cair serupa air putih dan pahit di lidah.
Dalam jangka 100 hari pertama, Raka harus datang sendiri ke IPWL untuk meminta asupan metadon. Setelahnya ia bisa mengambil metadon sesuai dosis untuk dibawa pulang—istilah Take Home Dosis. Ia meminta pelayan kesehatan untuk mencampur metadon dengan air putih agar bisa tahan lama.
Kali mula menjalani terapi, Raka mendapat asupan 25 miligram metadon untuk sekali minum sehari. Dosis awal ini akan dinaikkan 5 sampai 10 miligram setiap 3 hingga 5 hari sekali sampai pasien merasa nyaman, dalam artian tak muncul gejala akibat putus aliran narkoba dalam tubuh.
Itu sesuai keputusan Menteri Kesehatan tahun 2008 yang mengatur pemberian dosis awal metadon kepada pasien rehabilitasi dianjurkan antara 15 hingga 30 miligram. Bila melebihi dosis awal 40 miligram, sering terjadi kematian pada pasien.
Kini sudah 10 tahun Raka mengonsumsi metadon secara rutin. Dosis metadon yang masuk ke tubuhnya 25 miligram tiap.
Raka juga bergabung dengan komunitas mantan pencandu dan kerap mendampingi kasus pengguna yang dicokok polisi. Di sisi lain, ia masih tak tahu kapan berhenti bergantung pada metadon.
Instansi Rehabilitasi Gagal
Raka semula membayar Rp5 ribu setiap hari di IPWL untuk membeli metadon. Pada 2012, pemerintah Jakarta menanggung seluruh biaya pasien metadon untuk yang ber-KTP Jakarta atau memiliki BPJS. Pasien hanya membayar tes urine Rp50 ribu.
Ketika metadon mengalir ke tubuhnya, Raka bisa terjaga selama 36 jam. Ini berbeda dari putau yang bikin pengguna terjaga maksimal 24 jam.
“Harga putau sekarang mahal karena susah cari. Sekali pakai sekitar Rp700 ribu. Ganja 3 linting sekitar Rp50 ribu,” tuturnya. Karena itu, tambah Raka, pasien metadon membeludak.
Soal patokan harga, Albert Wirya Suryanata dari Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat pernah meneliti IPWL di Jakarta, Medan, Batam, Samarinda, Bali, dan Makassar, selama Oktober 2015 hingga Februari 2016. Respondennya dari beragam profesi: pengusaha, pekerja seks komersial, penjaga keamanan, hingga pengangguran.
Temuannya, metadon sekali minum di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik (Medan) seharga Rp15 ribu. Di RSUD Embung Fatimah (Batam) seharga Rp 10 ribu. Di RSUP Sanglah (Denpasar) seharga Rp8 ribu.
Sementara di Puskesmas Jumpandang Baru (Makassar), RS Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam (Samarinda), dan Puskesmas Gambir (Jakarta), obat metadon gratis.
Dalam riset itu, Albert menghimpun pengguna amphetamine type stimulants ada 32 persen, heroin (20,5 persen), ekstasi (16,8 persen), dan ganja (26,8 persen). Dan ada 3,9 persen memakai asam lisergat dietilamida, jamur ajaib, antidepresan, dan kokain.
Ada juga 56,4 responden yang tidak tahu sebelumnya bagaimana cara mendaftar di IPWL. Ada 69 persen yang tidak paham berapa biaya mengakses metadon. Ada 61 persen responden memahami bahwa pasien yang memakai atau memiliki narkoba dalam jumlah kecil idealnya tidak diadili.
Dari temuan itu, sebagian besar responden (74,9 persen) kembali kambuh usai menjalani perawatan. Dan hanya 32 persen responden yang merasa keberatan saat harus membayar metadon.
Karena itu, Albert menilai, tujuan IPWL telah gagal bila diarahkan pengguna narkoba tidak kembali tergantung pada obat-obatan.
Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi antara 17 - 22 Mei 2017. Temuannya, ada kejanggalan administrasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta, RSUP Fatmawati, Poliklinik BNN, dan Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit.
Menurut Ombudsman, biaya paket rehabilitasi selama sebulan di RSKO Jakarta sebesar Rp4,4 juta. Ini tidak termasuk biaya obat, pemeriksaan penunjang, tindakan medis, dan sebagainya.
Untuk rawat inap, diberikan fasilitas berjenjang. Di kamar VIP, uang muka bagi pasien Rp5,9 juta dan biaya per hari Rp585 ribu. Di ruang kelas I dan High Care Unit (HCU), uang mukanya Rp3,6 juta dan biaya per hari Rp355 ribu.
Selain itu, uang muka untuk ruang kelas II Rp2,8 juta dan biaya harian Rp355 ribu. Untuk kelas paling rendah, yakni kelas III, uang mukanya Rp1 juta dan biaya harian Rp85 ribu. Adapun tarif rawat jalan dengan konsultasi dokter sebesar Rp100 ribu dengan biaya administrasi Rp20 ribu.
Temuan lain Ombudsman, para petugas tak memberi informasi biaya yang ditanggung pemerintah, sehingga mengarahkan calon pasien membayar biaya layanan rehabilitasi. Seluruh biaya ini tak ditanggung oleh kartu BPJS.
Di RSUP Fatmawati, pasien rumatan metadon yang baru harus membayar Rp125 ribu. Untuk tiga hari pertama dikenakan tarif Rp50 ribu. Selanjutnya, setiap hari pasien membayar Rp15 ribu.
Di Poliklinik BNN, ditemukan masalah pasien tak segera diberi kartu lapor diri setelah mendapat penilaian. Poliklinik ini memiliki aplikasi pendataan pasien rehabilitasi tetapi tak terintegrasi dengan IPWL lain.
Di RSKD Duren Sawit, pasien rehabilitasi rawat jalan dibebankan biaya pendaftaran Rp50 ribu dan biaya obat penenang suboxon Rp75 ribu.
Ombudsman menilai, tidak terintegrasi data pasien antar-IPWL berpotensi seseorang bisa mendapat metadon lebih dari satu tempat. Selain itu, dalam Permenkes 50/2015, pembiayaan IPWL kelas III ditanggung Kementerian Kesehatan. Begitu juga IPWL di bawah BNN dan Kementerian Sosial ditanggung oleh masing-masing kementerian dan institusi tersebut.
Dalam Permenkes juga diatur bahwa harga maksimal biaya penilaian (assessment) rawat jalan yang ditanggung negara Rp100 ribu. Tiap konseling dikenai tarif Rp50 ribu dan pemeriksaan urine Rp500 ribu.
Untuk rawat inap, biaya paket rehabilitasi yang ditanggung negara maksimal Rp4,2 juta, biaya penilaian Rp100 ribu, obat-obatan Rp800 ribu, pemeriksaan urine Rp200 ribu, dan pemeriksaan laboratorium maksimal Rp1 juta.
Pembayaran klaim biaya pasien ini langsung oleh kas negara kepada rekening IPWL. Pembayaran hanya bisa diterima setiap Desember.
Namun, bila perlu tindakan pemeriksaan medis atau terapi lain di luar program penilaian dan rehabilitasi, pembiayaan dapat dibebankan kepada keluarga, atau mekanisme pembayaran lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rawan Pungli di IPWL
Anggaran klaim biaya pasien rehabilitasi IPWL Kemenkes hanya bisa ditransfer mendekati akhir tahun. Komisioner Ombudsman Adrianus Eliasta Meliala menilai hal ini berpotensi memunculkan pungutan liar alis pungli. Ada tiga motif pungli, kata Adrianus.
“Pertama, orang diminta uang untuk talangan; kedua, dimintai uang untuk mengompensasi kelebihan; dan ketiga, orang dimintai uang untuk pungutan liar.”
Selain itu, ada dampak buruk dari IPWL di bawah Kemensos. Sebab IPWL digabung dengan panti sosial. Ini berpotensi apa yang disebutnya "swastanisasi IPWL", sarana untuk mencari laba ketimbang menyembuhkan residen.
“Dilihat oleh beberapa orang sebagai komoditas, sebagai usaha. Maka, muncullah pusat rehabilitasi swasta yang kemudian memungut biaya Rp5 juta sampai Rp500 juta,” kata Adrianus.
Metode pengobatan IPWL swasta ini mulai dari terapi tradisional, medis profesional, hingga supranatural.
Ia menyarankan rehabilitasi tak dilakukan oleh tiga kementerian dan lembaga, melainkan satu saja. Ini bisa memudahkan pengawasan rencana kerja, capaian, dan meminimalisir potensi pungli.
Supriyadi Widodo Eddyono, direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menjelaskan seseorang bisa masuk IPWL melalui tiga jalur. Ketiganya rawan pungli dan rentan kriminalisasi, katanya.
Pertama, mengakui diri sebagai pencandu lalu mendaftar menjadi pasien rumatan metadon. Mereka yang justru secara sukarela berobat rentan dikriminalisasi. Dengan gencarnya praktik pemburuan para pengedar narkoba, otomatis ada target penangkapan. Jika target ini tak terpenuhi, pasien metadon bisa jadi sasaran.
“Takut ikut IPWL. Dia akan jadi objek menuhin kuota,” kata Widodo.
Kedua, setelah penangkapan, bisa muncul potensi lobi agar tak diproses hukum, melainkan direhabilitasi. Selain itu, dalam tahap vonis di pengadilan, hakim bisa dipengaruhi untuk menentukan terdakwa dimasukkan ke IPWL tertentu. Misalnya ke IPWL koleganya.
Ketiga, IPWL cuma membuat pasien jadi pencandu metadon secara permanen.
“Hampir semuanya seumur hidup,” ujarnya.
Mengutip Laporan BNN 2016, mayoritas pasien IPWL di bawah deputi rehabilitasi BNN tidak akan bisa sembuh.
Dari 33.267 jiwa yang menjadi pasien metadon, hanya 25.379 jiwa yang konsisten mengikuti terapi setiap hari. Namun, hanya 9.423 jiwa yang sembuh.
Kepala Humas BNN, Kombes Sulistiandriatmoko mengakui jika upaya rehabilitasi selama ini gagal. Ia mengklaim hal itu lantaran Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial "memiliki kepedulian yang lebih rendah" dari BNN.
“Kementerian Kesehatan, kan, punya rumah sakit dari provinsi, kabupaten, sampai puskesmas. Tapi mereka tidak melaksanakan secara ofensif layanan rehabilitasi itu. Sementara BNN tidak punya rumah sakit, tidak punya kepanjangan tangan untuk menggerakkan rumah sakit,” ujarnya.
Ia menegaskan kembali bahwa biaya rehabilitasi ditanggung oleh negara. Selain itu, bagi para pencandu yang ingin sembuh dengan mengikuti rumatan metadon, mereka dilindungi dari jerat hukum.
"Semua prosesnya tidak ada proses hukum dan semuanya gratis ditanggung pemerintah," kata Sulistiandriatmoko. "Yang menjadi masalah adalah mereka yang tertangkap tangan, positif pengguna, kalau barang bukti lebih dari batasan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Maka mereka ditahan.
"Tapi, kalau barang bukti di bawah SEMA, bisa ditempatkan di rehabilitasi sambil proses hukum."
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam