Menuju konten utama

Uang yang Menumpulkan Taring Penjara

Sejarah penjara adalah sejarah memangkas kemerdekaan terhukum. Seharusnya begitu.

Uang yang Menumpulkan Taring Penjara
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengunjungi Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jum'at, (27/5). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Sejak peradaban berkembang, hampir semua peradaban kuno menggunakan konsep penjara untuk menghukum orang-orang jahat— setidaknya yang mereka anggap begitu. Penjara yang dimaksud adalah segala upaya menghilangkan kemerdekaan orang tersebut, untuk mengganjar mereka yang dianggap tak taat hukum pada saat itu, di tempat khusus.

Dari data yang dirangkum prisonhistory.net, sistem penjara yang pertama kali tercatat ada di daerah Mesir dan bekas Mesopotamia. Mereka sudah ada sejak 200 tahun sebelum masehi. Di masa itu, penjara cuma digunakan sebagai tempat persinggahan sebelum seseorang didakwa mati atau jadi budak. Biasanya penjara-penjara itu berada di bawah tanah, sesuatu yang membuat orang-orang ngeri mendengar kata "penjara".

Berkembangnya pengetahuan juga berdampak pada sistem penjara di muka bumi. Yunani menjadi pelopor yang mengubah konsep penjara bawah tanah. Mereka lebih memilih bentuk sederhana berupa kandang dibuat dari kayu. Namun, kesan seram penjara tidak serta-merta hilang. Kaki-kaki tahanan biasanya diikat ke kandang, sebagai simbol hilangnya kemerdekaan.

Di era Kekaisaran Roma, konsep penjara lebih kompleks. Tak hanya dikurung, metode penyiksaan tahanan lebih dipertajam. Tak hanya ditahan di kandang, tahanan biasanya juga dirantai di dinding, untuk sementara waktu, atau seumur hidup bagi yang sial. Tahanan bahkan bisa diperjualbelikan untuk jadi budak, yang artinya seumur hidup kemerdekaannya diatur oleh manusia lain yang dipanggilnya majikan.

Penjara yang sebenarnya bagian dari sistem keadilan kembali berubah konsep ketika makna keadilan juga berkembang di peradaban manusia. Kekerasan terhadap para tahanan pelan-pelan mulai ditata ulang. Tindak kejahatan mulai diklasifikasikan, seturut dengan jenjang hukuman yang juga diseragamkan. Keputusan bersalah seseorang lantas tak lagi ditentukan oleh penguasa belaka. Sistem pengadilan mulai dikembangkan.

Orang pertama yang mengembangkan sistem itu adalah Raja Henry II dari Kerajaan Inggris Raya, pada 1166. Kemudian salah satu aturan pemenjaraan yang paling berpengaruh lahir pada 1215, ketika Raja John—King of England—menandatangani Magna Carta, piagam yang menegaskan tak akan ada manusia yang dihukum tanpa melalui proses peradilan.

Pengaruh piagam ini masih berdampak hingga kini, masa ketika fungsi penjara sudah jauh lebih berkembang. Tak hanya menahan tersangka kriminal, penjara juga jadi tempat mengurung tahanan politik, tahanan perang, dan musuh negara. Bentuknya pun juga bermacam-macam, sesuai hukum yang dijunjung di tanah ia dibangun.

Tapi, yang tak berubah sejak konsep penjara itu ada di muka bumi ini adalah: kenyataan bahwa penjara digunakan sebagai tempat mengurung manusia yang dicabut (sebagian) hak merdekanya.

Tapi apakah kesan ngeri yang dulu sengaja dilekatkan pada penjara masih ada? Atau sudah patah taringnya? Jawaban atas pertanyaan itu masih dalam perdebatan. Setidaknya, begitu yang terjadi di Indonesia.

Dalam artikel "Misalkan Buni Masuk Bui", Dea Anugerah dari Tirto menuliskan pengalaman sang ayah yang pernah merasakan kekejaman penjara Indonesia. “Selain kena pelasah sampai terkaing-kaing dan berak darah, mereka lazim dipaksa merancap dengan balsam otot atau cabai giling sebagai pelumas, disaksikan banyak orang. Belum lagi kemungkinan liang bo’ol yang terancam menjadi lebih lentur. Cerita itu nyata, tetapi ia tak semengerikan kisah-kisah yang tak diketahui khalayak.” Ia mengulang cerita ayahnya tentang nasib narapidana kasus pemerkosaan yang jadi kasta paling rendah dalam penjara.

Ia juga mengutip laporan Human Right Watch, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menulis: Penyiksaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penjara Indonesia ... Laporan-laporan mengenainya terlampau konsisten untuk dianggap bualan, dan kalau perlu bukti tambahan, kami sudah melihat bekas-bekas luka di tubuh para narasumber kami.

Laporan itu menegaskan satu hal: Jarak sepanjang lebih dari dua dekade di antara laporan HRW dan cerita Si Abang (ayah Dea -red) membuktikan bahwa waktu hanya bergerak di luar penjara. Di dalam penjara, detik tak pernah beranjak.

Infografik Hak Hak Narapidana

Cerita seram tentang penjara sudah diabadikan dalam ragam folklore yang beredar dari mulut ke mulut. Tapi kekejaman itu tidak merata terjadi. "Kasta" nyata adanya. Dan uanglah alat utama yang mengatur perputaran kasta itu. Narapidana tindak pidana korupsi umumnya berada di puncak teratas. Kehidupan mereka tidak semengerikan napi lain.

Lihatlah kemewahan dan fasilitas serba lengkap yang pernah terungkap dari sel Artalyta Suryani, serta keleluwasaan Gayus Tambunan dan Anggoro Widjojo keluar-masuk lapas. Kenyataan ini menggambarkan kondisi ketidakadilan yang terjadi dalam penerapan hukum di Indonesia. Sebab, yang dilakukan para koruptor tersebut masih difasilitasi oleh konstitusi Indonesia.

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur hak narapidana yang tidak dihukum seumur hidup. Di antaranya: mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. Poin ini yang kemudian banyak dimanfaatkan para napi-napi berduit untuk mencurangi penjaranya sendiri.

Penerapan hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah ini bisa jadi mengurangi esensi penjara yang juga punya tujuan memberi efek jera pada para pelanggar hukum. Penjara yang harusnya terasa seperti hukuman rupanya bisa kehilangan efek ngerinya. Sehingga seorang koruptor bisa saja ingin cepat-cepat dipenjarakan, dan tersenyum santai saat dikerubungi pewarta, seperti yang dilakukan Choel Mallarangeng.

Mungkin, kalau sudah begini, pemiskinan koruptor seperti yang tertera dalam Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah tidak cukup lagi. Ide memenjarakan mereka di pulau terpencil dengan sistem keamanan superketat mungkin bisa diterapkan segera. Agar taring penjara tak hanya tajam pada tahanan yang tak punya duit, tapi juga pada mereka yang berduit karena mencuri hak orang lain.

Baca juga artikel terkait NAPI KORUPTOR atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS