tirto.id - Dinamika kerajaan di Jawa tidak bisa dilepaskan dari tindak tanduk rajanya selama berkuasa. Ia merupakan aktor utama pemegang kuasa tertinggi yang bahkan dianggap setara dewa oleh rakyatnya.
Namun demikian, raja sebagai pemegang fungsi pengayom dalam masyarakat Jawa juga tidak luput dari kekangan peraturan yang telah disepakati bersama.
B.J.O. Schrieke dalam Kajian Historis-Sosiologis Masyarakat Indonesia: Penguasa dan Kerajaan Jawa Masa Awal (2016) menyebutkan bahwa raja-raja Jawa baru dipandang absah apabila memiliki nilai-nilai kedewataan.
Apabila raja tidak memiliki nilai-nilai kedewataan, rakyat Jawa menganggap dunia telah kehabisan umur dan kehancuran massal akan berlaku (baca: pralaya). Ketika bencana sosial itu berlangsung, maka seorang juru selamat akan hadir untuk menggulingkan tatanan lama.
Kendati demikian, kerap kali perilaku negatif penguasa di masa lampau tidak serta merta menimbulkan api revolusi. Biasanya, rakyat Jawa akan terlebih dahulu menyampaikan kritik terhadap rajanya untuk kemudian dirumuskan kebijakan sebagai solusi oleh sang raja.
Kritik baru bisa menjadi api revolusi ketika sang raja mengkhianati rakyatnya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan represif. Kebijakan itu ada yang di tahap penangkapan, penghancuran, sampai dengan pembantaian. Namun terkadang revolusi justru disabotase oleh penguasa lain yang seakan-akan memancing di air keruh.
Pajak Tak Adil & Salah Sangka Kewarganegaraan
Bentuk respons raja di Jawa terhadap kritik rakyatnya dari periode yang paling awal bisa ditelusuri via satu jenis prasasti yang disebut jayapātra. Prasasti ini menurut Trigangga dalam Prasasti dan Raja-raja Nusantara (2015), isinya berkenaan dengan urusan-urusan hukum perdata, yakni meliputi utang-piutang (disebut suddhapātra), perpajakan, kewarganegaraan, dan pertanahan (jayasong).
Prasasti jayapātra sering kali dikeluarkan sebagai tanggapan dari keluhan atau kritik yang dilontarkan oleh rakyat terhadap rajanya. Salah satu prasasti yang sangat jelas menggambarkan peristiwa penyampaian kritik dari rakyat pada raja adalah Prasasti Palepangan (828 Śaka/ 906 Masehi).
Prasasti ini menyinggung soal penetapan kebijakan penarikan pajak di Desa Palepangan oleh Raja Daksottama Bāhubajra dari Kerajaan Mataram Kuno. Semula sang raja menetapkan bahwa setiap tampah (petak) sawah dikenai pajak 6 dhārana perak, karena menurut juru ukur raja ukuran sawah di Desa Palepangan adalah 6 lamwit.
Karena merasa keberatan dengan pajak yang ditetapkan sang raja, rakyat Palepangan kemudian menghadap pada raja dan memohon penimbangan ulang soal besaran pajak. Daksottama kemudian mengirimkan kembali juru ukur tanah ke Palepangan, sehingga didapati bahwa hasil pengukuran yang sebelumnya ternyata berlebih.
Desa Palepangan rupanya hanya memiliki 1 lamwit, 7 tampah dan 1 blah. Dengan demikian, sang raja memafhumi keinginan rakyat Palepangan dengan menurunkan pajak di desa itu.
Cerita lain muncul pada pembahasan Boechari dalam "Jayapattra: Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuno" (2012) mengenai Prasasti Wurudu Kidul (844 Ś/ 922 M).
Dikatakan di dalam prasasti itu terdapat seorang warga dari Desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi, yang protes karena dirinya dikenai pajak kilalan (orang asing) dari daerah Manhuri, tempat ia tinggal, padahal ia adalah orang Jawa tulen.
Untuk mengatasi permasalahan itu, ia mendatangi seorang pejabat daerah bernama Sang Tuhan i Padang untuk meminta pertanggungjawaban. Maka dari itu, didatangkanlah seluruh keluarga Dhanadi dari tiga desa sekaligus dan mereka semua mengaku bahwa Dhanadi beserta leluhurnya adalah abdi raja Jawa. Setelah terverifikasi, Dhanadi pun dibekali surat jayapātra agar belakangan tidak ditagihi pajak.
Namun, sayangnya 16 hari setelah pengadilan, Dhanadi malah didatangi tukang pungut pajak kembali, karena si penagih pajak yang bernama Sang Pāmārawira melapor bahwa Dhanadi adalah orang Khmer. Akhirnya, untuk kedua kalinya Dhanadi melapor pada Sang Tuhan i Padang mengenai duduk persoalannya dan ia kembali dibuatkan surat penanda bahwa ia asli orang Jawa.
Ketika Sang Pāmārawira dikirim surat panggilan oleh Tuhan i Padang, ia malah mangkir dari jadwal pengadilan dan malah tinggal di rumahnya. Dengan demikian, maka Sang Dhanadi yang malang pun berhasil memenangi peradilannya.
Suara Raja, Suara Dewa
Kadang-kadang, raja-raja Jawa di masa lampau juga tidak seramah contoh-contoh yang disebut di atas. Pada beberapa kasus, dapat dijumpai nama-nama raja yang seakan tidak mau kalah dari dakwaan rakyatnya. Contoh itu misalnya disinggung dalam Pararaton yang disunting oleh J.L.A. Brandes (1920).
Naskah kuno itu menggambarkan kelaliman Raja Kêrtajaya dari Kerajaan Kādiri. Ia meminta para pendita aliran Hindu Śaiwa dan Buddha untuk menyembahnya. Tentu perintah Kêrtajaya ini mengalami penolakan dari kalangan agamawan yang menganggapnya telah melakukan penistaan agama.
Namun demikian, penolakan para agamawan terhadap raja mereka masih terbilang santun. Sebab, dalam Pararaton dikatakan bahwa mereka menyebut sebelum Kêrtajaya memerintah, tidak pernah ada raja yang disembah oleh para pandita. Karena murka, Pararaton menulis bahwa Kêrtajaya kemudian mengeluarkan kekuatan sihirnya agar para pandita percaya bahwa ia adalah dewa yang berhak disembah.
Bukannya mendapat simpati dari para pandita, mereka malah dipengaruhi Ken Arok yang menunggangi kebencian mereka terhadap Kêrtajaya demi tujuannya memberontak melawan Kādiri.
Kisah lain dari keukeuh-nya seorang Raja Jawa juga dijumpai dalam kisah Raden Wijaya, sang pendiri Kerajaan Majapahit. Menurut naskah Pararaton, Kidung Ranggalawe, dan Wijayakrama, Raden Wijaya awalnya merupakan raja yang simpatik di mata rakyatnya. Ia dipuji-puji sebagai sosok yang berhasil membawa perubahan atas kekacauan Jawa di penghujung abad ke-13 setelah diserang Dinasti Yuan.
Namun, setelah ia berhasil menduduki takhta Majapahit menggantikan mertuanya, Kêrtanagara, Wijaya seakan ingkar janji dengan kolega-kolega politiknya. Bermula dengan ingkar janjinya Wijaya terhadap Arya Wiraraja—promotor Wijaya dalam meniti kursi takhta—di mana ia tidak kunjung juga menyerahkan ujung timur Jawa pada adipati Madura itu.
Sikap ingkar Wijaya diperburuk dengan keberadaan provokator bernama Mahapati yang senantiasa memberikan arahan-arahan yang kurang strategis bagi raja. Wijaya berturut-turut harus menghadapi pemberontakan rekan-rekan seperjuangannya seperti Lembu Sora dan Nambi, lantaran ia sering kali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dianggap kurang memuaskan.
Bahkan, sampai sang Raja Jawa wafat, negara Majapahit yang ia tinggalkan masih dalam kondisi tidak stabil dan ampir runtuh di masa kepemimpinan anaknya.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi