tirto.id - Abad ke-10 M menjadi masa yang penting bagi titik balik sejarah peradaban di Jawa. Setelah hampir tiga abad bercokol di Jawa Tengah, Dinasti Śailendra yang perkasa harus tumbang dihempas zaman.
Tumbangnya monarki di jantung Pulau Jawa, di Tanah Mataram terjadi kurang lebih pada periode Raja Dyah Wawa. Setelah pendahulu-pendahulunya menikmati zaman kegemilangan dan ketertiban, Dyah Wawa seakan-akan hilang ditelan misteri.
Boechari dalam “Some considerations of the problem of the shift of Mataram's center of government from Central to East Java in the 10th century A.D.” (2012), mengungkapkan bahwa setelah Wawa berkuasa ujug-ujug muncul nama baru yang mengklaim diri menjadi penguasa, yaitu Sindok.
Berbeda dengan para pendahulunya, Sindok memposisikan pusat pemerintahannya di timur Pulau Jawa. Walau beberapa ahli termasuk Boechari yakin bahwa Sindok masih kerabat Wawa, namun Raja Jawa Timur pertama ini rupanya mengambil nama dinasti baru yang nantinya diteruskan ke beberapa nama raja berikutnya, yaitu Iśana.
Persoalan lain dari periode ini adalah mengenai latar belakang bergesernya lokasi pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sampai sekarang belum ada jawaban pasti mengenai persoalan ini, karena sumber teks dari periode Sindok yang tidak menyebutkan soal ini.
Teori R.W. van Bemmelen dalam The Geology of Indonesia (1949) merupakan pendapat yang paling populer dalam mengeksplanasi permasalahan ini. Menurut geolog Belanda ini sebab dari pergeseran posisi peradaban Jawa terjadi akibat letusan Gunung Merapi yang mematikan.
Sementara itu, B.J.O. Schrieke dalam buku Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia (2016), beranggapan bahwa sebab perpindahan pusat kekuasaan itu adalah bencana ekonomi yang menimpa Pulau Jawa akibat jamaknya pendirian candi.
Berdasarkan dua teori ini, seakan-akan para sarjana sepakat bahwa perpindahan pusat kekuasaan di Jawa terjadi karena bencana yang memaksa. Namun demikian, bencana terbesar di Pulau Jawa pada periode itu nyatanya bukanlah yang terbesar.
Bencana terbesar itu terjadi seabad kemudian, sehingga oleh masyarakat Jawa dikenal sebagai pralaya—kiamat. Dan, raja tangguh yang menghadapi "zaman edan" itu bukanlah Sindok, tapi Airlangga.
Raja yang Bertakhta di Atas Kepala Musuh-Musuhnya
Airlangga bukan seorang Jawa tulen, dalam tubuhnya mengalir darah Bali dari garis ayahnya. Menurut V.H. Witasari dalam Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta (959 Ś): Suatu kajian ulang (2009), Airlangga mengklaim bahwa ibunya adalah Mahendradattā, putri dari Dinasti Iśana yang cantik jelita.
Walau dalam Prasasti Pucangan yang ia keluarkan tidak begitu jelas disebut tokoh yang menjadi ayahnya, namun dengan bantuan prasasti-prasasti dari Bali dapat diidentifikasi bahwa Airlangga adalah anak dari Raja Udayana dari Kerajaan Bali.
Walau takdir menempatkan Bali sebagai tempat kelahirannya, garis hidup politik Airlangga ternyata malah terjadi di tempat kelahiran ibunya di Pulau Jawa. Sebagaimana disebut dalam Prasasti Pucangan, Airlangga muda telah dijodohkan dengan sepupunya dari garis ibu—yang sayangnya tidak disebut namanya. Putri itu dikatakan sebagai anak dari Raja Dharmawangsa Têguh, kakak dari ibu Airlangga.
Prasasti Pucangan menjabarkan dengan detail peristiwa pernikahan politik Bali-Jawa itu, yang disebutkan bahwa Airlangga bertandang ke istana uak-nya untuk menikahi sang putri. Tepat ketika hari-H pernikahan, sekonyong-konyong datang gerombolan pemberontak yang dipimpin Haji Wura Wari.
Konon, istana Dinasti Iśana hancur lebur dilahap amukan pemberontak, sehingga menyebabkan Dharmmawangsa Têguh dan putrinya tewas di tempat. Airlangga yang selamat dalam peristiwa yang diiibaratkan seperti pralaya itu kemudian lari ke hutan dan menjalani laku tapa di hutan bersama abdi kesayangannya yang bernama Narottama.
Dikutip dari tulisan Ninie Susanti, Airlangga: Raja pembaru Jawa Abad XI M (2010), selama pengasingan itu Airlangga rupanya juga turut menggalang kekuatan politik, terutama dari kalangan agamawan Śaiwa dan Buddhis.
Bermodalkan pencitraan sebagai inkarnasi Dewa Wisnu, Airlangga melenggang ke kursi takhta mertuanya pada 1019 M. Klaim diri menjadi inkarnasi Wisnu ini bukan sembarang penghias, karena klaim tersebut pada dasarnya merujuk pada salah satu kepercayaan dalam ajaran Hindu Waisnawa (sekte pemuja Wisnu) yang menganggap bahwa Dewa Wisnu adalah "mesias" sewaktu terjadinya pralaya.
Model pencitraan Airlangga sebagai “pelindung dunia” kelak akan berkali-kali dimanfaatkan dalam kepentingan kampanye politik dan militernya.
Salah satu ungkapan yang monumental adalah bahwa "Airlangga bagaikan Rama, ia yang berhasil bertakhta di atas kepala musuh-musuhnya". Ungkapan ini berhubungan dengan keberhasilan Airlangga dalam mengalahkan seluruh pemberontak dan raja-raja kecil di Jawa Timur pada tahun 1041 M.
Tidak Begitu Ideal
Airlangga diposisikan sebagai Raja Pembaru Jawa. Di dalam bab-bab tertentu di bukunya, Susanti bahkan menempatkan raja ini sejajar dengan raja-raja besar yang entah kebetulan atau tidak hidup sezaman dengan Airlangga.
Raja-raja yang memiliki gaya pemerintahan macam Airlangga itu di antaranya Suryawarman I dari Khmer atau Aniruddha di Burma. Airlangga dipandang memiliki kualitas diri yang mumpuni dalam membangun sistem anyar, seperti sistem birokrasi, ekonomi, dan sosial.
Salah satu yang menjadi trademark kebijakan Airlangga adalah politik balas budi, di mana faksi-faksi politik yang mendukungnya dalam upaya penyatuan Jawa akan diberikan tanah perdikan dari sang raja.
Namun, menurut saya, kadang pemosisian Airlangga sebagai prototipe raja sempurna agak terlalu terburu. Saya dalam "Mempertimbangkan Kembali Raja Pembaru Jawa: Analisis Fungsional pada Gaya Pemerintahan Raja Airlangga pada Abad ke-11 M" (2022), pernah menjabarkan aspek “non ideal” dalam gaya pemerintahan Airlangga dalam pandangan konsep astabrata.Konsep yang terakhir disebut itu merupakan delapan laku yang harus dimiliki oleh seorang Raja Jawa, sesuai dengan sabda Rama dalam naskah Kakawin Ramayana.
Raja yang baik dalam hal ini perlu mengikuti laku delapan dewa, yakni Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila (Vayu), Kuvera, Varuna, dan Agni. Menurut prinsip tersebut, Airlangga seakan-akan luput dalam menjalani laku Dewa Waruna (Laut). Disebut dalam Kakawin Ramayana:
Bhaṭāra baruṇāṅgegem sañjata mahāwisa ya nāgapāśāṅapus. sirāta tuladen ta pāśabrata, kitomapusanaṅ watek durjana.
"Bhatara Waruna menggunakan senjata yang berbisa, yaitu jerat Nagapasa [sebagai] pengikat, dialah yang patut diteladani [sebagai] laku penjerat, kamu [harus] mengikat seluruh penjahat".
Maksud dari kutipan di atas adalah bahwa seorang raja harus mampu memberantas kejahatan dengan “mengikat musuhnya” atau dalam hal ini melakukan pelbagai upaya untuk mencegah terjadinya kembali suatu kejahatan.
Masalahnya, Airlangga selama memerintah lebih gemar menggunakan tindakan represif dibandingkan preventif dalam penanganan tindak pemberontakan. Tak ayal, pemberontak yang pernah ditaklukannya sering kali memberontak kembali di kemudian hari, seperti pada kasus Haji Wengker.
Aspek ini pula yang agaknya juga membenamkan Airlangga di akhir masa pemerintahannya, karena pada akhirnya sang Raja Pembaru Jawa tidak tahu bahwa terdapat musuh dalam selimut. Airlangga harus rela membagi kerajaannya menjadi dua di masa akhir pemerintahannya, akibat ketidaksiapan dalam konflik suksesi.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi