Menuju konten utama
Mozaik

Berwisata ke Bromo pada Era Kolonial Tiada Beda dengan Sekarang

Popularitas Gunung Bromo sebagai destinasi wisata mulai meningkat di era kolonial. Sejak dulu terkenal untuk menyaksikan momen matahari terbit.

Berwisata ke Bromo pada Era Kolonial Tiada Beda dengan Sekarang
Header Mozaik Pesona Bromo. tirto.id/Tino

tirto.id - Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh kabar kebakaran yang melalap padang rumput di kawasan wisata Gunung Bromo. Gara-garanya adalah kecerobohan penggunaan suar dalam pemotretan prewedding pada 6 September 2023. Api dari percikan suar itu lantas membesar dan membakar padang rumput hingga hutan di kawasan Bukit Telettubies dan daerah Ngadas.

Pengelola Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) dan pihak-pihak terkait perlu waktu beberapa hari untuk dapat memadamkan kebakaran yang terlanjur meluas itu. Hingga pada 15 September 2023, si jago merah berhasil dijinakkan.

Total kerugian akibat peristiwa ini diperkirakan mencapai puluhan miliar. Itu belum menghitung dampak kerusakan alam Bromo dan proses pemulihannya yang pasti membutuhkan waktu lama.

Peristiwa nahas itu tentu patut sekali disayangkan. Pengelola mesti lebih serius lagi menegakkan aturan dan mengedukasi masyarakat agar hal semacam itu tak terulang di kemudian hari. Di sisi lain, masyarakat juga mesti lebih mengedepankan wisata berkesadaran, bahwa tempat yang mereka kunjungi punya peran penting dalam ekosistem dan kehidupan mereka sendiri.

Rekomendasi Java the Wonderland

Tak bisa dipungkiri bahwa kawasan Gunung Bromo dan TNBTS secara umum merupakan salah satu destinasi wisata favorit para pelancong domestik ataupun asing. Kawasan ini masuk dalam 10 destinasi prioritas pariwisata di Indonesia. Bahkan saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, Bromo telah menjadi salah satu magnet wisata bagi para pelancong asing.

Tak perlu berpusing mencari alasannya. Panorama pegunungan nan indah memang menjadi salah daya tariknya yang utama.

Secara umum, Pulau Jawa sejak lampau memang dikenal sebagai salah satu “rumah” bagi gugus gunung-gunung tropis. Ada banyak gunung yang dapat dikunjungi di Jawa. Vereeniging Toeristenverkeer melalui brosur wisata kolonial Java the Wonderland (1900) merekomendasikan beberapa yang paling memesona, di antaranya dataran tinggi di daerah Buitenzorg-Cianjur-Sukabumi, Gunung Papandayan, Dieng, dan Bromo.

Destinasi yang disebutkan terakhir menjadi yang paling banyak diulas dalam Java the Wonderland. Di awal abad ke-20, rute menuju Bromo yang direkomendasikan adalah melalui Tosari.

Pelancong disarankan memulai perjalanannya dari Surabaya. Dengan berkereta api, turis-turis kolonial lalu menuju Pasuruan dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Setibanya di Stasiun Pasuruan, perjalanan dilanjutkan menuju Tosari yang terletak di ketinggian sekitar 1700 mdpl dengan menggunakan kereta kuda.

Butuh waktu lima jam untuk mencapai Tosari. Perjalanan juga cenderung mendaki sehingga mereka mesti berganti kuda beberapa kali di beberapa titik.

“Kereta dari Pasuruan menuju Puspo akan berganti kuda di Pasrepan dengan biaya 5.50 gulden. Dari Puspo menuju Sanatorium Tosari dapat menggunakan kuda poni yang dilengkapi pelana yang cocok untuk orang-orang Eropa dengan biaya 2 gulden atau dengan tandu yang dapat dipesan sebelumnya,” tulis redaksi Java the Wonderland.

Setelah tiba di Tosari, para pelancong bisa beristirahat lebih dulu di sanatorium seraya menikmati sejuknya udara dan indahnya pemandangan di sana, termasuk Gunung Bromo di kejauhan.

Penginapan bagi para pelancong sebenarnya tidak hanya tersedia di Tosari. Di Puspo, penginapan juga tersedia, khususnya bagi mereka yang tidak mendapatkan penginapan di Tosari.

“Puspo (630 mdpl) memiliki sebuah hotel kecil. Bagi pengunjung yang menganggap Tosari terlalu dingin atau tidak memperoleh akomodasi di sana, dapat menginap beberapa hari (di Puspo),” tulis J.F. van Bammelen dan G.B. Hooijer yang diterjemahkan B.J. Berrington dan Otto Knaap dalam Guide through Netherlands India (1903, hlm. 85).

Bromo juga menjadi salah satu tujuan wisata dalam paket perjalanan yang ditawarkan oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) atau perusahaan pelayaran di Hindia Belanda. KPM menawarkan dua paket wisata keliling Jawa, yaitu 18 hari dan 25 hari. Dalam buku Visit Java Information for Travellers (1925) yang dibuat KPM, para turis yang mimilih paket wisata 18 hari akan memulai perjalanannya dari Singapura kemudian tiba di Batavia dan mulai berkeliling ke beberapa tempat. Di hari ke-11, para peserta dijadwalkan tiba di Tosari dan keesokan harinya diajak menuju lautan pasir dan melihat kawah Gunung Bromo.

Paket wisata 25 hari juga memulai perjalanannya dari Singapura. Bedanya, para turis akan diajak ke Surabaya terlebih dahulu. Dari Surabaya peserta akan diajak ke Bali. Baru pada hari ke-12, para turis akan melancong di Tosari dan keesokan harinya menuju ke lautan pasir dan melihat kawah Gunung Bromo.

Infografik Mozaik Pesona Bromo

Infografik Mozaik Pesona Bromo. tirto.id/Tino

Bromo yang Memesona

Menurut Java the Wonderland, pelancong yang beruntung adalah mereka yang berkunjung ke Gunung Bromo saat kawahnya sedang aktif. Pasalnya, mereka jadi dapat melihat pemandangan yang nisbi lebih fantastis.

Kesaksian terkait indahnya Bromo misalnya datang dari seorang pelancong bernama Thomas H. Reid. Turis asal Amerika Serikat itu berkesempatan mengunjungi Bromo pada 1907. Saat itu, dia berkesempatan menyaksikan momen matahari terbit dari Bromo.

“Saat kami berdiri di dinding kawah yang sangat besar, menghadap ke lautan pasir, kami menyaksikan pancaran cahaya keemasan yang perlahan memancar dari balik puncak gunung di sebelah timur. Kami merasa perjalanan kami tidak sia-sia,” tulisnya dalam Accros the Equator, A Holiday Trip in Java (1908).

Di awal abad ke-20, menyaksikan momen matahari terbit di Bromo bukanlah perkara mudah. Para turis mesti mengeluarkan ekstra usaha lantara kondisi sarana dan prasarana yang terbatas.

Hingga saat ini, melihat matahari terbit rupanya tetap menjadi daya tarik utama Bromo di mata wisatawan. Ada beberapa tempat untuk dapat menikmati sunrise di Bromo, salah satunya adalah di Pananjakan. Di situlah dulu Reid melihat cahaya keemasan dari balik puncak gunung.

Menurut Reid, jika seseorang melancong ke Tosari, dia mestlah harus sekalian menilik Bromo karena keindahannya tak dapat dilewatkan begitu saja.

Keindahan pemandangan di Bromo juga dicatat dalam beberapa buku yang ditulis oleh beberapa penulis Barat yang sempat berkunjung. Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942 (2019) mencatat tulisan dari Augusta De Wit, seorang penulis kelahiran Sibolga.

“Keindahan alam daerah pegunungan di Jawa pun dibandingkan para pengunjungnya dengan pegunungan di Eropa. De Wit membandingkan bunga-bunga di daerah Tosari dengan bunga-bunga yang tumbuh di pegunungan Alpen,” tulis Sunjayadi.

Baca juga artikel terkait GUNUNG BROMO atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi