tirto.id - Menjelang akhir 1948 itu, Herman Johannes berbincang serius dengan Letkol Soeharto selaku Komandan TNI yang membawahi wilayah Yogyakarta. Soeharto meminta kepada Herman untuk melakukan tugas yang amat penting sekaligus berbahaya: memasang bom di bawah jembatan Sungai Progo untuk menghalangi pergerakan pasukan Belanda yang kala itu sedang menjalankan agresi militernya.
Soeharto tahu betul, Herman bukan prajurit biasa. Ia pernah menjadi mahasiswa sekolah tinggi teknik bentukan pemerintah kolonial di Bandung, termasuk mempelajari seluk-beluk kontruksi jembatan. Oleh karenanya, Suharto yakin tugas itu bisa ditunaikannya (Julius Pour, Herman Johannes: Tokoh yang Konsisten dalam Sikap dan Perbuatan, 1993:74).
Herman menyatakan siap. Ia segera mempelajari rincian konstruksi jembatan yang melintang di atas Sungai Progo itu sebelum memasang peledak.
Lantas, apakah misi tersebut sukses? Ternyata, gagal!
Aksi Sang Ahli Ledak
Kegagalan itu bukan sepenuhnya salah Herman. Soeharto rupanya luput menghitung waktu. Dua bom di bawah jembatan serta dinamit yang ditempatkan di bagian pondasi belum sempat diledakkan, pasukan Belanda ternyata sudah tiba dan menyeberang. Beruntung, pihak republik sudah menyiapkan siasat cadangan sehingga musuh masih bisa dihambat.
Baca Juga:
- Saat Belanda Membatalkan Sepihak Perjanjian Linggarjati
- Mengenang Gugurnya Rombongan Adisucipto
- Kelahiran TNI Mulanya Tidak Direstui
Kendati gagal di percobaan pertama, pengetahuan dan keahlian Herman ternyata masih dibutuhkan. Januari 1949, ia diminta lagi untuk melakukan tugas yang nyaris sama. Kali ini yang menjadi sasaran peledakan adalah jembatan di daerah Kalasan, dekat Candi Prambanan, yang memisahkan wilayah Yogyakarta dengan Klaten.
Herman memasang bom seberat 250 kilogram di bawah jembatan Sungai Opak itu. Hasilnya? Sukses besar! Begitu pula dengan aksi serupa untuk beberapa jembatan lainnya di sebelah timur dan utara Yogyakarta (Pour, 1993:75). Berkat Herman, satu per satu jembatan penghubung dapat dihancurkan.
Hal ini membuat pasukan Belanda terpaksa berputar haluan dengan menempuh jarak yang lebih jauh untuk bisa memasuki wilayah Yogyakarta. Mereka harus mengelilingi Gunung Merapi dan Merbabu, naik turun bukit di Salatiga, Magelang, juga Purworejo, sebelum menuju sasaran utama, yakni Yogyakarta.
Dan, beberapa pekan setelah itu, terjadilah penyerbuan massal yang dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949 di pusat Kota Yogyakarta. Herman Johannes turut bertempur untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada.
Tentara Multi-Talenta
Herman Johannes ingin menjadi insinyur. Maka dari itu, selepas lulus sekolah menengah atas di Batavia pada 1934, ia langsung lanjut ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS), cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Ini merupakan sekolah tinggi pertama di Hindia Belanda, diresmikan tanggal 3 Juli 1920 (Somadikarta, Tahun Emas Universitas Indonesia, 1999).
Pertengahan Juni 1939, studi Herman sudah mencapai tahap candidaat-ingenieur. Ia sebenarnya hanya butuh satu tahun untuk meraih gelar insinyur sipil. Namun, nasib berkata lain.
Situasi politik dan keamanan yang tidak stabil seiring terlibatnya Belanda dalam Perang Dunia Kedua melawan Jepang membuat perjalanan studi Herman tidak berjalan sesuai harapan. Bahkan, pada 1942, THS akhirnya gulung tikar lantaran Belanda kalah perang dan Indonesia diduduki oleh tentara Dai Nippon.
Baca Juga:
- Muradi Dipenggal Mati Karena Jepang Ingkar Janji
- Cara Membela Tanah Air Ala Gatot Mangkoepradja
- Ulah Belanda Memantik Murka Rakyat Surabaya
Baru setelah proklamasi tahun 1945, Herman melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda. Ia meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Teknik di Yogyakarta dan tamat pada 1946. Sekolah ini nantinya menjadi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT-UGM) dan Herman Johannes termasuk salah satu perintisnya.
Saat itu sekaligus merupakan masa-masa genting bagi kedaulatan RI, apalagi di Yogyakarta yang kemudian berperan sebagai ibukota negara. Belanda, dengan membonceng pasukan Sekutu selaku pemenang Perang Dunia Kedua, kembali ke Indonesia dan berambisi berkuasa lagi.
Menyandang titel insinyur tidak lantas menghalangi Herman untuk turut mengangkat senjata melawan Belanda. Ia bahkan ditunjuk sebagai Kepala Laboratorium Persenjataan markas besar tentara republik atas kapasitasnya sebagai ahli teknik (Ruben Nalenan, Biografi Prof. Dr. W.Z. Johannes, 1979:23).
Selain itu, Herman juga mengajar di Akademi Militer Yogyakarta, sekaligus memimpin gerakan Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK) sebagai ketua. Sunda Kecil adalah istilah untuk menyebut kepulauan Nusa Tenggara. Dan memang dari situlah Herman Johannes berasal.
Dari Timor untuk Indonesia
Herman Johannes dilahirkan di Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), tanggal 28 Mei 1912. Ia sudah merantau ke Jawa sejak usia muda untuk bersekolah di Batavia, hingga memperoleh gelar insinyur di Yogyakarta, serta berperan besar bagi tentara repubik selama perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selepas pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949, karier Herman Johannes melesat tinggi. Tahun 1950, ia ditunjuk untuk menduduki posisi penting sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga RI (Soimun Hp, Prof. Dr. Ir. H. Johannes: Karya dan Pengabdiannya, 1984:77).
Tak cuma di tataran nasional saja Herman Johannes menyumbangkan perannya. Lelaki asli Timor ini bahkan tercatat sebagai anggota Executive Board UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 1954-1957.
Setelah itu, dari tahun 1958 hingga 1962, ia turut mengisi formasi Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang dipimpin oleh Mohammad Yamin. Badan yang dikehendaki langsung oleh Presiden Sukarno ini bertugas menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional (Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, 2006:325).
Herman Johannes terpilih sebagai Rektor UGM pada 1961. Jabatan ini diembannya sampai tahun 1966 atau ketika Indonesia sedang guncang akibat tragedi 30 September 1965. Sejak tahun 1968, ia tercatat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI selama satu dekade ke depan.
Jejak-rekam tokoh asal Timor ini dalam riwayat panjang negara Republik Indonesia memang cukup panjang, dengan beragam sumbangsih yang amat berguna bagi kepentingan nasional, bahkan dunia.
Baca Juga:
- Hamengkubuwana IX Melawan Soeharto dengan Diam
- Brigjen Katamso, Korban Tragedi 1965 di Yogyakarta
- Pardjo, Ajudan Jenderal yang Dua Kali Jadi Menteri
Tidak heran jika pemerintah mengganjarnya dengan seabrek penghargaan, dari Bintang Gerilya (1958), Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan (1961), Satya Lencana Wirakarya (1971), Bintang Mahaputra (1973), hingga Bintang Legiun Veteran RI (1981). Ia juga memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari UGM (1975), serta mendapatkan Anugerah Sri Sultan Hamengkubuwana IX (1991).
Herman Johannes wafat di Yogyakarta tanggal 17 Oktober 1992 dalam usia yang genap menginjak 80 tahun. Atas jasa-jasanya bagi negara, pemerintah RI menetapkan Herman Johannes sebagai Pahlawan Nasional pada 2009.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani