Menuju konten utama
Obituari

Mas Cindhil, Panggung Ini Terlalu Kecil Buatmu

Kisah detik-detik terakhir hidup Gunawan Maryanto, juga sekelumit kenangan tentangnya.

Mas Cindhil, Panggung Ini Terlalu Kecil Buatmu
Aktor film The Science Of Fictions, Gunawan Maryanto berpose usai memenangkan kategori Pemeran Pria Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2020 di Jakarta, Sabtu (5/12/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - “Kalian juga sehat-sehat, ya.”

Itu pesan terakhir Gunawan Maryanto padaku via Whatsapp tertanggal 21 September 2021. Saya menyampaikan laporan akhir donasi buat seorang kawan yang terjerat pinjol dan Cindhil, panggilan akrab Gunawan Maryanto, adalah salah seorang donatur. Saya harus melapor dan berterima kasih.

Sehat selalu mas,” tulis saya dan lantasdia balas dengan kalimat pembuka di atas.

15 hari kemudian, kabar mengagetkan masuk lewat pesan Whatsapp, “Teman², Gunawan Maryanto meninggal. Mendadak. Tadi sesak. Lagi rapat di Garasi, muntah, dibawa ke rs, terus ga ada…”

Kabar dari Fahri Salam itu sampai kepada kami lewat pesan terusan di sejumlah grup Whatsapp, Rabu, (6/10) pukul 20.20 WIB. Mendapati kabar tersebut, istri saya Mutia Sukma menjerit histeris. Saya terpaku di depan komputer. Kami baru pulang dari Keloran, wilayah yang berdekatan dengan Studio Garasi.

Beberapa hari ini, istri saya ingin mampir ke rumah Mas Cindhil yang tak jauh dari studio itu. Setelah kabar duka tersebut masuk, kami tidak akan pernah lagi bertemu tuan rumah jika kelak bertamu ke sana. Saya, sebagaimana orang-orang lain yang juga mengenal Mas Cindhil, tak ingin percaya akan berita itu.

Berdasar analisa dokter,” kata seorang kawan yang berada di rumah sakit tempat Mas Cindhil dirawat, “Mas Cindhil meninggal karena serangan jantung.”

Kami terus berkomunikasi dan informasi valid itu saya bagikan kepada teman-teman dan sejumlah grup WhatsApp.

Malam itu, saya teringat Catur Stanis, aktor bohemian yang juga meninggal mendadak beberapa saat sehabis makan malam. Catur sempat dibawa ke Rumah Sakit Hardjolukito. Semula, saya mengira Mas Cindhil juga mengembuskan napas terakhir di rumah sakit yang sama.

Bukan. Ini Rumah Sakit Ludiro Husodo, di Cokroaminoto, dekat Teater Garasi,” komentar Amara, teman yang sedang di rumah sakit itu, meralat dugaan saya.

Amara tengah menunggu jenazah dimandikan dan akan disemayamkan sementara di Studio Garasi, sebelum esok paginya dibawa ke rumah duka di Karang Malang.

Lemas aku,” tulis Muhidin M. Dahlan di Whatsapp. “Maut ini, maut ini, emang gilak. Lewatnya cepat banget.”

Ada banyak kawan kami, dan tentu kawan yang lain, berpulang dengan sangat cepat dan mendadak. Belum lepas satu kehilangan, kehilangan lain menyerbu. Belakangan, saya merasa demikian kosong mendengar kabar berpulangnya sejumlah nama. Sebagiannya adalah orang dekat dan teman karib.

Bulan lalu, Selasa pagi (7/9), Nurel Javissyarqy—seorang dokumentator, penulis, penggerak komunitas asal Lamongan—meninggal. Sedikit mirip Mas Cindhil, sebelum mangkat pendiri dan admin situs sastra-indonesia.com itu merasakan gejala panas di dada. Sedangkan Roci Marciano, aktor berbakat dan dosen di Surabaya, wafat pada Jumat (13/8) setelah dinyatakan selesai menjalani perawatan intensif di rumah sakit dan tengah bersiap pulang ke rumah.

Sering Dimintai Tolong

17 tahun lalu, awal Maret 2004, saya bersama Bang Raudal Tanjung Banua, Nur Wahida Idris, dan Sunlie Thomas Alexander ditraktir makan oleh Zen Hae di sebuah rumah makan di belakang SMKI Yogyakarta, bilangan Bugisan. Selain kami, dua orang dari Teater Garasi menyusul: Dina Oktaviani dan temannya, Cindhil.

Saya masih ingat detail dan sikap tubuh Mas Cindhil. Dia santun dan ramah, sering menunduk, tampak kikuk, tapi antusias ketika bicara. Kami bersalaman, dia menyebutkan nama. Sedangkan saya yang kala itu belum seminggu di Yogya, masih canggung dan sangat pemalu ketemu orang baru, berucap pelan dan terbata-bata.

Setiap kali Mas Cindhil bicara, dia menatap kami bergantian. Saya yang lebih kikuk darinya diam-diam meninggalkan riungan itu dan duduk di pinggir sungai sendirian.

Kelak, saya tahu bahwa orang yang disebut Cindhil itu adalah Gunawan Maryanto. Dia adalah aktor dan sutradara, penulis prosa dan puisi, juga orang penting di Teater Garasi. Meski saya bukan orang Teater Garasi, berkat Cindhil saya jadi sedikit tahu dan dekat dengan rupa-rupa kegiatan teater itu.

Periode berikutnya, kami berteman, meskipun tidak intens. Mas Cindhil adalah orang yang mau menyapa duluan, sekalipun kepada orang yang lebih muda. Dia juga pengingat nama-nama. Cindhil melibatkan saya dalam beberapa kegiatan, antara lain Festival Kebudayaan Yogya (FKY) dan Indonesia Dramatic Reading Festival, baik sebagai panitia maupun peserta.

Saya dan istri berkali-kali memintanya tampil di acara-acara yang biasa kami selenggarakan di Kedai JBS. Setiap kali diminta tolong, Mas Cindhil selalu menyanggupi meski tahu kami tak bakal memberikan honor atau apa pun. Berkali-kali juga dia datang sebagai pengunjung maupun tamu pada acara-acara kecil yang kami gelar. Terakhir, Mas Cindhil menjadi pembicara dalam diskusi film Indonesia-Malaysia awal tahun 2019.

Mas Cindhil adalah seorang pekerja seni yang lengkap. Mula-mula tumbuh bersama sastra Jawa, dia makin berkembang lewat sastra Indonesia. Selain puisi dan cerpen, dia juga menulis naskah drama. Kumpulan puisinya Sejumlah Perkutut Buat Bapak memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa 2010.

Mas Cindhil tampaknya juga menulis novel, tapi belum sempat dipublikasikan.

Kami sempat berencana menerbitkan novelnya di penerbit Circa,” kata Tia Setiadi, penyair dan esais pemilik penerbit Circa. “Tapi belum ada lagi pembicaraan lebih lanjut. Almarhum keburu pergi.”

Kiprah Mas Cindhil di film tak bisa dipandang sebelah mata. Dia sukses memerankan Widji Tukul dalam Istirahatlah Kata-kata dan mendapat penghargaan Usmar Ismail Award 2017. Selain diputar di dalam dan luar negeri, film itu juga mendapat sejumlah penghargaan.

Di tengah pandemi, Mas Cindhil kembali mendapat penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia 2020 untuk film Hiruk Pikuk Si Al-Kisah (The Science of Fictions).

Bakat Mas Cindhil di teater terasah sejak kecil lewat ketoprak dan seni tradisi lainnya. Saat SMA, dia mendirikan Teater Anom bersama anak-anak teater lintas sekolah. Sejak SMA pula dia meninggalkan Karang Malang, kampung halamannya, demi melakoni hidup sepenuhnya dengan berkesenian.

Sebelum tercatat sebagai mahasiswa Sastra Jawa UGM, Mas Cindhil lebih dulu kuliah D3 Ilmu Perpustakaan di kampus yang sama. Keduanya tidak selesai. Mas Cindhil bergabung dengan Teater Garasi sebelum kelompok itu keluar dari kampus dan memberi warna baru bagi dunia teater Indonesia. Sebagai aktor teater berkaliber internasional, Cindhil mendalami semua teknik teater dari realis hingga butoh.

Detik-detik Penghabisan

Studio Garasi penuh orang ketika kami datang, Rabu malam (6/10). Hanya beberapa pelayat yang kami kenal. Luasnya ruang lingkup kesenian yang digeluti Gunawan Maryanto terlihat dari mereka yang berkumpul malam itu.

Sejak dia masuk rumah sakit sampai nisan ditancapkan, orang-orang terus berdatangan. Di media sosial, namanya tertulis di banyak status dan catatan. Membaca semua tulisan orang tentangnya, kami merasa bahwa di mata Mas Cindhil tidak ada teman-temannya yang tidak istimewa.

Malam itu, panggung Teater Garasi menjadi panggung terakhir Gunawan Maryanto. Dia berbaring terbalut kafan dalam peti yang dibuka. Pengunjung maju satu persatu, berdoa dengan cara masing-masing dan raut duka yang tak bisa disembunyikan. Malam itu, kami semua, para pelayat, menjadi aktor untuk pertunjukan yang berat ini.

Saya menemukan penyair dan aktor Shohifur Ridho Ilahi—juga salah seorang panitia FKY 2021, terduduk lemas di kursi panjang. Dia sendirian dan tampak masih terguncang.

Kami rapat dari siang sampai jam tiga sore. Mas Cindhil adalah Direktur Artistik Teater Garasi. Kami membahas program Open Lab yang ingin mendokumentasikan para seniman seni pertunjukan yang sudah sepuh dan terdampak pandemi,” kata Ridho.

Sehabis rapat, Mas Cindhil menyingkir karena merasa perutnya tidak enak. Dia memang belum makan dari pagi dan muntah beberapa kali di kamar mandi. Dadanya panas dan sakit. Dibelikan bubur hanya dimakan beberapa suap.

Aku sempat memijit dan mengerok punggungnya. Kami mengira ini cuma asam lambung saja,” tutur Ridho seraya matanya berkaca-kaca.

Mas Cindhil yang tampak kepayahan kemudian berbaring meringkuk sambil memegangi dada. Makin lama kondisinya makin parah. Setengah jam kemudian, Mas Cindhil dibawa ke rumah sakit oleh Ridho dan Ignatius ‘Clink’ Sugiarto.

Clink Sugiarto duduk di belakang kemudi, Ridho menemani Mas Chindil di kursi belakang. Di perjalanan, semuanya tak banyak bicara. Seturut keterangan Ridho, Mas Cindhil berkali-kali berusaha menahan sakitnya.

Sesampainya di Ludiro Husodo, Mas Cindhil masih bisa jalan dari tempat parkir ke UGD dengan dipapah Ridho. Clink Sugiarto mengurus administrasi. Saat petugas UGD bertanya soal keluhan, mereka menjawab apa adanya: belum makan seharian, dadanya panas, muntah-muntah seperti gejala asam lambung. Tapi dadanya juga terasa sesak.

Di rumah sakit, dia terus muntah-muntah. Karena tidak ada isinya, lama-lama cairan bening itu berubah menjadi merah,” ucap Ridho serak.

Rencananya, Mas Chindil bakal dirujuk ke rumah sakit besar yang fasilitasnya lebih lengkap usai kondisinya stabil. Namun, saturasi oksigennya menurun hingga 80 dan dia makin lemah. Tiap kali muntah, terdengar suara yang memilukan dada.

Hasil pemeriksaan medis menyatakan adanya penyumbatan di jantung. Dokter meminta agar keluarga didatangkan karena Mas Cindhil kritis. Risiko penyakitnya besar, bisa menyebabkan kematian. Dokter memerlukan izin keluarga untuk penanganan lebih lanjut.

Dalam kondisi selemah itu, Mas Cindhil masih sempat memberikan nomor adiknya. Dia duduk bersila dan berusaha untuk tetap tampak kuat,” kata Ridho sambil memperagakan sikap tubuh Mas Cindhil ketika berada di ruang UGD.

Setelah menghubungi keluarga, kabar soal Mas Cindhil di rumah sakit sampai ke banyak orang.

Agus, adik Mas Cindhil, dan keluarga, serta teman-teman lain mulai berdatangan. Kebetulan hari itu ada pembukaan Biennale Jogja XIV di Jogja National Museum yang tidak terlalu jauh lokasinya dari rumah sakit. Setelah pihak rumah sakit berbincang dengan keluarga, tirai UGD ditutup sekira jam 20.00 WIB.

Kondisi makin tegang dan mengharukan. Semua menunggu di luar dengan kecemasan dan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

Kami menangis, situasi makin genting. Waktu berjalan lambat sekali. Kami semua tegang dan terus berdoa. Kemudian dokter keluar menemui Mas Agus, mengabarkan bahwa Mas Cindil sudah tiada. Aku sempat melihat jam di dinding ruang UGD, jam 20.05 WIB saat itu,” papar Ridho, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menggusah air matanya agar tak tumpah.

Malam itu, Gunawan Maryanto pergi selamanya. Kabar kematiannya pun langsung bertebaran dari gawai ke gawai, kemudian sampai kepada kami.

Saya menepuk bahu Ridho yang berusaha tampak tenang di antara pelayat yang terus berdatangan. Keramaian itu berlangsung sampai almarhum dibawa ke Karang Malang—rumah orang tuanya, rumah masa kecilnya. Karang Malang, kampung yang ditinggalkan sejak SMA, memiliki kesan penting bagi seorang Gunawan Maryanto. Hal itu terpercik dalam banyak karyanya, seperti yang terkumpul dalam kumpulan cerpen Bon Suwung.

Di sana pula, dia dimakamkan pada Kamis siang, 7 Oktober 2021. Pusaranya berdekatan dengan makam almarhum bapaknya. Dia menyusul, setelah lebih dulu ditinggal bapak dan dua adiknya.

Dini hari sebelumnya, di antara para pelayat yang terus berdatangan, saya meninggalkan Mas Cindhil diam-diam—seperti kenangan 17 tahun lalu. Sepanjang jalan pulang, saya mengingat malam ketika pertama kali bertemu sosok kurus kecil yang kemudian memberikan pelajaran secara langsung maupun taklangsung itu.

Mas Cindhil, sosok kecil dengan capaian-capaian besar, adalah salah satu orang yang terus menginspirasi saya untuk banyak hal.

Pengalaman personal saya pada akhirnya juga pengalaman banyak orang ketika berhubungan dengan Cindhil. Kami merasa diistemewakan sebagai teman. Halaman-halaman catatan yang tertulis untuknya tak cukup menampung dedikasi dan semangatnya. Dia tidak hanya milik teater, tidak hanya milik sastra, tidak hanya menjadi milik film atau seni rupa. Dia adalah milik semuanya.

Dalam bait puisinya yang berjudul Sajak 4 Seuntai (2015), Mas Cindhil menulis:

puisiku bertualang

tak tahu kapan pulang

mereka pergi

mencarimu di setiap sepi

Ya, Mas Cindhil menemukanku, menemukan banyak orang yang tak habis-habis memujinya. Karyanya akan terus hadir dan dikenang. Kami, kita semua, mengenangnya sebagai orang penting dalam dunia kesenian. Seorang yang luwes dan gampang bergaul, berada di banyak medium kesenian dengan totalitas sama besar.

Selamat jalan, Mas. Kami sungguh-sungguh kehilanganmu. Panggung dunia ini terlalu kecil untukmu.

==========

Indrian Koto adalah penyair dan cerpenis, pemilik Kedai Jual Buku Sastra (JBS).

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Indrian Koto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indrian Koto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi