Menuju konten utama

Kabudalan, Eksodus 66 Leluhur Jemaat Gereja Kerasulan Pusaka

Acara tahunan ini digelar untuk mengenang peristiwa kedatangan leluhur mereka ke Rawaselang, “tanah yang dijanjikan”.

Kabudalan, Eksodus 66 Leluhur Jemaat Gereja Kerasulan Pusaka
Kabudalan, Tradisi Tahunan Gereja Kerasulan Pusaka". FOTO/Merari Indah Velicita

tirto.id - Jelang tengah hari, suasana di komplek Gereja Kerasulan Pusaka, Rawaselang, Cianjur, terbilang ramai. Padahal, murid-murid SMP Pusaka, satu-satunya sekolah menengah di Kampung Rawaselang, Kecamatan Ciranjang, sengaja diliburkan.

Hari itu, Selasa, 13 Juni 2023, cuaca cukup cerah. Di ruang guru, Veren Churnia Rottie (25 tahun) terlihat anteng meladeni lima siswi yang keluar masuk menunggu giliran dirias. Alih-alih melakoni perannya sebagai guru BK, penyandang gelar Sarjana Teologi asal Manado itu lebih tepat disebut sebagai make-up artist dadakan.

Sedangkan di aula, belasan laki-laki dewasa berkumpul. Sebagian duduk-duduk ngadu bako, sebagian lagi tampak sibuk menata berbagai hasil bumi untuk dijadikan dekorasi. Di panggung, seperangkat gamelan seolah tak sabar menunggu dimainkan. Di dapur gereja, aktivitas lebih riuh. Puluhan ibu-ibu dan bapak-bapak asyik bercengkerama, di sela kegiatan menyiapkan aneka hidangan.

“Beginilah suasana saban Kabudalan, meriah,” ungkap Yussak Anugrah (42 tahun), guru Bahasa Indonesia SMP Pusaka.

Setelah menyambangi ruang guru, aula, dan dapur, Pak Ucak, sapaan akrab Yussak Anugrah, membawa saya ke ruang utama Gereja Kerasulan Pusaka. Sebuah piano ditempatkan di sisi kiri, tak jauh dari mimbar. Dari area belakang, kami naik ke lantai dua, menuju balkon mungil yang menghadap ruang utama. Puluhan bangku kayu terlihat berderet rapi.

“Nanti duduk di sini saja nemenin aku. Tas bisa kamu simpan di pojokan,” kata Pak Ucak, setibanya di ruangan yang kami tuju.

Pukul dua siang, perayaan Kabudalan resmi dimulai. Di balkon itulah Pak Ucak menjalankan tugasnya sebagai operator. Ia bertanggung jawab memastikan salindia demi salindia berisi lagu gereja dalam bahasa Sunda yang terpampang di layar besar dekat mimbar, sehingga seluruh jemaat bisa menyanyikannya sesuai iringan piano.

Satu jam kemudian, Sedekah Bumi dilangsungkan. Puluhan orang, perempuan dan laki-laki, dewasa dan anak-anak, dalam balutan kebaya dan pangsi berjalan memanggul aneka hasil bumi dari samping gereja ke halaman gereja. Meski treknya pendek belaka, 120 meter, tetap saja acara ini lebih dari cukup untuk dibilang meriah.

Sekelompok anak membawakan tari merak, disusul anak-anak yang lebih belia berjalan menunggangi kuda-kudaan dari pelepah daun pisang. Di belakang mereka, orang-orang dewasa memikul padi, pisang, nangka, kelapa, dan aneka hasil bumi lainnya. Sesampainya di halaman gereja, rombongan yang dipimpin ki lengser—dalam konteks ini: seorang murid SMP Kerasulan Pusaka—disambut tabuhan lisung bertalu-talu dan koor.

Di momen ini saya merasa ada yang istimewa, semacam sinkretisme yang memesona, saat tabuhan lisung, bebunyian khas masyarakat agraris, berpadu dengan langgam kidung gereja yang terdengar sangat modern. Keistimewaan ini kian nyata saat menyimak kidung-kidung yang dinyanyikan lagi-lagi mengandung lirik berbahasa Sunda.

“Meski terkesan artifisial, sebab tidak ada rujukannya dari leluhur, kegiatan helaran ini tetap kami anggap penting. Di samping mengenalkan sejumlah kesenian yang berkaitan dengan tradisi agraris masyarakat Sunda, tradisi leluhur kami, helaran juga diharapkan dapat menorehkan kenangan manis pada diri anak-anak, terutama mereka yang aktif di sanggar,” ungkap Fiki Seloraja (35 tahun), pentolan Lingkung Seni Sunda (LSS) Mekar Asih.

Tradisi Kabudalan

Kabudalan, Tradisi Tahunan Gereja Kerasulan Pusaka'. FOTO/Merari Indah Velicita

Kisah Eksodus Para Leluhur

Tanggal 13 Juni 1903, 120 tahun silam, untuk pertama kalinya Petrus dan 65 orang pengikutnya menginjakkan kaki di tanah Rawaselang, sebuah kawasan rawa-rawa yang dipenuhi pohon hoe selang alias rotan getah (Daemonorops rubra), sebelah utara Ciranjang.

Petrus, nama kecilnya Sadiin, lahir di bilangan Leuwidahu, Tangerang, warsa 1850-an. Beranjak dewasa, Sadiin mencari penghidupan di Batavia dan bertemu dengan Tuan Anthing (1820-1883). Sang Tuan punya nama lengkap Frederik Lodewijk (F.L) Anthing, pensiunan Mahkamah Agung yang kemudian menjadi Penginjil pertama di Tatar Sunda.

Tuan Anthing pula yang mengubah nama Sadiin menjadi Petrus. Sebagai murid Tuan Anthing, Petrus muda pandai menangkap pelajaran dan cekatan dalam bekerja. Sebab itulah Tuan Anthing mengangkat Petrus menjadi pelayannya, sebelum menikahkannya dengan Marianah.

Atas rekomendasi Tuan Anthing, Petrus sempat menjadi Guru Injil dan diamanati jemaat di Bojong Menteng, Baduy, dan Banten. Pada 1883, Tuan Anthing meninggal dalam sebuah kecelakaan trem di Batavia. Peristiwa itu membuat kegiatan di gereja-gereja yang dipimpin Tuan Anthing—tersebar sampai ke Cigelam, Gunung Putri, dan Mauk, kawasan Banten dan Jawa Barat saat ini—berangsur sepi.

Petrus yang seolah kehilangan pegangan memutuskan untuk bekerja sebagai “mantri cacar” di Batavia, lantas menjadi tenaga medis di rumah sakit beri-beri di Bogor. Alih-alih naik jabatan, kedua pekerjaan itu tak sedikit pun membuat Petrus kerasan.

Petrus menghubungi adiknya di Sukabumi, Sariun, yang kemudian menghubungkannya dengan Tuan Simon van Eendenburg, seorang juragan tanah. Eendenburg menawari Petrus menggarap tanah kontrak alias perkebunan, Petrus mengiyakan.

Di bilangan Pangharepan, Cikembar—wilayah yang dikenal sebagai pusat umat Kristen di Sukabumi sejak masa kolonial (1886)—Petrus bertanam palawija: kencur, jahe, kacang kratok, buncis, timun suri, mentimun, dan semangka. Hasilnya lebih dari memuaskan. Petrus dan para petani Cikembar hidup berkecukupan.

Di tengah-tengah masa keemasan menjalani hidup sebagai petani perkebunan, “semangat Tuan Anthing” merembesi diri Petrus. Ia teringat akan jemaat yang ditinggalkan di Bojong Menteng, juga jemaat lain yang berhamburan entah ke mana sepeninggalnya Sang Guru. Pelan-pelan, Petrus mulai mengajak para petani berdiskusi soal agama, hal itu ia lakukan hari demi hari, tak peduli siang ataupun malam.

Di mata Eendenburg, rutinitas baru Petrus dianggap mengganggu kerja-kerja buruh kontrak. Petrus diingatkan untuk tidak melulu mengajak para petani perkebunan mendiskusikan agama, tapi Petrus tak peduli, aktivitasnya jalan terus. Eendenburg kemudian memberi peringatan serius: Petrus bakal diseret ke pengadilan jika masih “nyambi” sebagai Penginjil.

Ancaman van Eendenburg terbukti setelah Rustam, salah seorang pengikut Petrus, dianggap melakukan penghinaan kepada juragan tanah itu. Dalam sebuah pertemuan di gereja, jasad Rustam “kalinggihan” (kerasukan) Roh Suci. Rustam berteriak meminta seluruh jemaat untuk bertaubat dan kembali ke Jalan Tuhan, tak terkecuali van Eendenburg.

Bagi Eendenburg, teriakan Rustam ke arahnya, sekalipun isinya adalah anjuran untuk melakukan pertaubatan, adalah penghinaan. Rustam dilaporkan ke polisi dan dibui, sedangkan Petrus dianggap Eendenburg sebagai ulon-ulon, biang keladi.

Pembatasan dan berbagai intimidasi yang dilakukan Eendenburg membuat Petrus dan pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Cikembar. Meninggalkan pekerjaan dan seluruh aset yang mereka punya, menuju Rawaselang, Ciranjang. Bersama Petrus, tercatat ada 65 anggota lain, perempuan dan laki-laki, orang tua dan remaja, termasuk anak-anak dan bayi, mengikuti eksodus ini.

“Besar kemungkinan, Bapak Petrus memilih pindah ke Rawaselang sebab di sekitar sini ada juga perkampungan Kristen Sunda Palalangon, kampung tetangga. Gereja Palalangon berdiri pada 1900, dibangun oleh pemerintah kolonial, tiga tahun sebelum kedatangan Bapak Petrus dan 65 orang jamaahnya,” ungkap Pak Ucak.

Lewat Kabudalan, artinya Eksodus—peristiwa yang juga diberi tempat khusus dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru—jemaat Gereja Kerasulan Pusaka memperingati peristiwa kedatangan leluhur mereka ke Rawaselang, “tanah yang dijanjikan”, tiap tanggal 13 Juni.

Tradisi Kabudalan

Kabudalan, Tradisi Tahunan Gereja Kerasulan Pusaka'. FOTO/Merari Indah Velicita

Lirik Historis nan Epik karya Anggota Hizbullah

Semua keterangan mengenai sejarah Petrus dan Eksodus di atas saya baca dan dengar dari teks berbahasa Sunda yang dinyayikan jemaah Gereja Kerasulan Pusaka. Dalam salindia yang ditampilkan Yussak, terpampang titimangsa dan nama penulisnya: Pasirsitu, 10 Juni 1956, ttd, Oudste Yotham Marchasan.

Dalam peringatan Catur Windu Jemaat Gereja Kerasulan Pusaka, Februari 1985, tulisan Oudste Yotham Marchasan dikembangkan menjadi buku Sejarah Gereja Kerasulan Pusaka. Pustaka itu ditulis Yotham bersama sepupunya, Rasul Mardi Marchasan.

“Yotham Marchasan (1913-1990), generasi kedua yang tinggal di Rawaselang, adalah seorang guru. Pada masa Revolusi, dia bergabung dengan Laskar Hizbullah Ciranjang,” ungkap Yussak.

Dalam artikel "Kompi Kristen di Batalyon Hizbullah" yang tayang di Historia, penulis sejarah Hendri Jo menyebut Yotham Marchasan dengan julukan Si Macan Gunung Halu. Gunung Halu, sebagaimana Cikembar di Sukabumi, adalah distrik masyarakat Kristen yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda di Cianjur. Rawaselang dan Palalangon, juga Pasirsitu, termasuk wilayah distrik itu.

“Yotham awalnya adalah anggota Pembela Tanah Air (PETA). Ketika militer Jepang kalah perang, dia lantas menggabungkan diri dengan lasykar BBRI Ciranjang pimpinan Mohamad Ali. Namun ketika BBRI dipukul mundur ke arah selatan Ciranjang oleh pasukan Inggris, Yotham yang tertinggal di bagian utara memutuskan untuk bergabung dengan Batalyon III Hizbullah pimpinan Mochamad Basyir,” ungkap Hendri Jo.

Missnetty Marchasan (81 tahun), salah seorang putri Yotham Marchasan, menyebut bahwa ayahnya tak pernah menjadikan faktor agama sebagai tolak ukur membantu sesama, lebih-lebih dalam kepentingan mempertahankan kedaulatan Indonesia.

“Selama orang-orang itu memerangi tentara Inggris dan Belanda, kata dia (Abah Yotham) ya mereka adalah saudaranya,” ungkap Misnetty, dilansir dari Historia.

Terlepas dari hubungan Yotham dengan Batalyon III Hizbullah (yang menyambut kedatangan Yotham dengan suka cita), tulisan Yotham mengenai Kabudalan, yang kemudian dijadikan lagu Gereja, terasa apik sekaligus epik, layaknya sebuah epos.

Dalam syair itu, sejarah leluhur serta kampung halaman disampaikan lewat ungkapan-ungkapan sastrawi, dengan pendekatan travelogue, catatan perjalanan. Poin inilah yang mengingatkan saya kepada naskah klasik Kisah Bujangga Manik, terbit circa akhir abad ke-15.

Syair bikinan Yotham Marchasan dan syair anonimus mengenai Bujangga Manik memang sama-sama berkisah tentang perjalanan, baik secara jasad maupun rohani. Jika Bujangga Manik ditulis dengan sudut pandang orang pertama, Kabudalan ditulis dengan sudut pandang orang ketiga.

Bujangga Manik berkisah tentang seorang Pangeran Pakuan yang sukarela meninggalkan istananya demi menjadi resi pengembara--dengan kata lain, naskah ini bercerita tentang seorang individu--sedangkan Kabudalan adalah potret perjalanan kolektif 66 buruh kontrak yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan keyakinan.

Nama-nama tempat yang termaktub dalam kedua naskah di atas masih bisa dilacak lokasinya hingga hari ini. Bujangga Manik mencatat (atau lebih tepatnya mengabsen) nama-nama tempat di Jawa dan Bali, juga beberapa tempat di seputar daratan Sumatra seperti Lampung, Gunung Rakata, hingga Kedah dan Malaka (baris 1270).

Tradisi Kabudalan

Kabudalan, Tradisi Tahunan Gereja Kerasulan Pusaka'. FOTO/Merari Indah Velicita

Sementara dalam Kabudalan, cakupan geografisnya lebih lokal, hanya melingkupi Cikembar dan Ciranjang. Meski begitu, naskah ini terasa lebih kaya dalam perkara deskripsi, apalagi dengan bertebarannya sejumlah majas di sana sini.

Geus anjog ka kampung Sipon, tinggal mapay jalan désa. Irigasi nu jadi saksi, ngembat-ngembat tangkal juarna […] Teu kacatur abrulan mungkur, nyonggéang ka Pasirnangka. Datang ka dieu mah jalan téh melengkung jiga jalma nu keur pundung.”

Terjemahan bebasnya, “Sesampainya di kampung Sipon, tinggal susuri jalan desa. Irigasi menjadi saksi, pohon johar berderet tinggi […] Tiada cerita rombongan mundur, melenggang ke Pasirnangka. Di sini jalanan melengkung, umpama orang sedang murung.”

Ungkapan di atas tidak hanya sedap dibaca atau didengar, tapi juga punya peran fungsional sebagai panduan menuju Rawaselang. Di samping itu, syair Kabudalan juga punya peran untuk menjaga memori kolektif para penuturnya, jemaat Gereja Kerasulan Pusaka. Dari mana mereka berasal, siapa leluhurnya, dan mengapa berada di kampung halaman yang sekarang, semua terjawab dalam syair bikinan pejuang kemerdekaan Yotham Marchasan.

Ngemutkeun ngalihna nini aki, sakantenan pangucapan sukur. Reh ngaraos ku berkahna Gusti, anu terus henteu liren ngucur.” Artinya, “Mengenang kepindahan nenek kakek, sekalian mengucap syukur. Sebab merasakan berkah Gusti, mengalir tiada henti.”

Lebih Meriah dari Natal

Kini, di sekitar Gereja Kerasulan Pusaka berdiri sembilan gereja lainnya, tersebar di tiga desa antero kecamatan Ciranjang. Keberadaan gereja-gereja itu, yang tak jarang lokasinya berselang-seling berdampingan dengan masjid dan pesantren, menunjukkan bahwa toleransi di kawasan ini bukanlah jargon belaka.

“Tiap gereja punya tradisi sedekah buminya sendiri-sendiri, tapi Kabudalan di Kerasulan Pusaka adalah yang paling khas. Acaranya padat, berlangsung sampai malam, dan yang paling ngangenin, sayur lodehnya juara, gak ada lawan,” ungkap Hesty Yunianty Nainggolan (39 tahun), jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Pasirnangka.

Sekalipun berasal dari gereja yang berbeda, hampir saban tahun Hesty menghadiri Kabudalan. Tradisi Kabudalan memang tak bisa dipisahkan dengan anjangsana, sayur lodeh, dan makan-makan.

Infografik Kabudalan

Infografik Kabudalan. tirto.id/Ecun

Setelah beribadah dan menyanyikan lagu-lagu mengenai sejarah leluhur dan kampung halaman, jemaat Gereja Kerasulan Pusaka akan berkumpul dan makan bersama, sekalian mengundang orang lain di luar jemaat, termasuk para tetangga muslim dan aparat desa.

Hidangan yang disiapkan sejak pagi di dapur gereja—nasi, sambal goreng kentang, mie bihun, dan ayam goreng—disajikan dalam cangkedong. Alas makan dari daun pisang, dibentuk menyerupai huruf U dengan empat sisi sama tinggi.

“Cangkedong adalah siasat orang tua kami dahulu untuk mengakali kurangnya piring saat Kabudalan. Sekarang, cangkedong umumnya dinikmati anak-anak dan remaja. Orang tua dan tamu undangan makan di piring,” ungkap Grace August Setiawan (48 tahun), seksi acara Kabudalan 2023.

Omong-omong soal sayur lodeh, Grace mengamini keterangan Hesty. Menurut Grace, lodeh bagi Gereja Kerasulan Pusaka adalah simbol pesta. Dalam konteks kolektif, sayur lodeh hanya disajikan di dua momen besar warga Rawaselang: Kabudalan dan pernikahan.

“Bahkan untuk menanyakan kapan kamu menikah, orang sini cukup mengatakan kapan ngalodeh (masak sayur lodeh)?” tuturnya.

Dibandingkan dengan Natal, sambung Grace, Kabudalan terasa lebih meriah. Rangkaian acara tidak hanya diisi oleh ibadah dan ramah-tamah, tapi dilengkapi sedekah bumi yang diaplikasikan lewat kegiatan makan bersama, dan belakangan: helaran budaya.

“Biasanya, mereka yang pergi merantau akan pulang kampung saat Kabudalan. Semacam lebaran dalam tradisi orang Islam. Sayangnya, gara-gara pandemi, Kabudalan terhenti dua kali. Efeknya terasa sampai sekarang: perantau yang pulang tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya,” pungkas Grace.

Baca juga artikel terkait CIANJUR atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Irfan Teguh Pribadi